Mubadalah.id – Bayangkan kita sedang duduk sore-sore, menatap berita yang berseliweran di layar ponsel. Ada potret warga negara ribuan orang di Pati, berdesakan di jalan, berteriak menolak kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB-P2). Sebagian membawa poster, sebagian lainnya hanya bermodalkan suara serak.
Kalau kita lihat lebih dekat, wajah-wajah itu bukan wajah “perusuh”, melainkan ibu-ibu penjual warung, bapak petani, remaja yang seharusnya masih di kelas. Mereka turun ke jalan karena merasa pemerintah hanya bisa mengumumkan, bukan mengajak bicara. Padahal, pajak itu menempel di dapur, di sepetak sawah, di biaya sekolah anak.
Aku tertegun melihatnya. Di layar itu, jelas sekali bahwa warga tidak sedang “cari ribut.” Mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang paling dasar: hak untuk didengar. Dan mungkin di sinilah letak masalah paling besar negeri ini: jarak antara pemerintah dan rakyat terasa semakin lebar.
Filsuf politik Hannah Arendt pernah menulis, “Power corresponds to the human ability not just to act but to act in concert.” Kekuasaan hanya sahih ketika dijalankan bersama rakyat, bukan di atas rakyat. Jika pemerintah berjalan sendiri, tanpa rakyat, yang lahir bukan lagi kekuasaan, melainkan dominasi.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri: apa kita selama ini keliru dalam mendefinisikan pemerintah? Kalau kita menyebut dan menganggap mereka “penguasa,” maka yang tumbuh adalah bahasa perintah. Tetapi jika sejak awal kita menyebut mereka “pengabdi publik” atau abdi negara “pengemban amanah,” mestinya bahasa yang keluar adalah mendengar dan melayani.
Kesenjangan
Beberapa hari setelah kisah Pati itu, linimasa kembali ramai oleh perdebatan soal gaji dan tunjangan anggota DPR. Angka-angka bertebaran: Rp69 juta, Rp100 juta, Rp12 juta hanya untuk tunjangan beras, Rp7 juta untuk bensin. Pimpinan DPR buru-buru mengklarifikasi, tapi publik sudah terlanjur menyerap satu hal: jurang itu nyata.
Di saat yang hampir bersamaan, muncul pula video viral yang memuat suara seorang menteri menyebut guru sebagai “beban negara.” Belakangan terbukti palsu, hasil rekayasa digital. Namun pertanyaannya: mengapa begitu banyak orang mudah percaya?
Jawabannya sederhana, karena ada luka lama. Guru honorer yang bertahun-tahun menunggu sertifikasi, gaji yang tak cukup untuk kontrakan, fasilitas pendidikan yang timpang. Hoaks itu menemukan tanah subur karena realitasnya memang retak.
Nelson Mandela, tokoh anti-apartheid dan Presiden Afrika Selatan pertama yang dipilih secara demokratis, pernah berkata: “A nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones.” Bangsa, katanya, tidak diukur dari cara ia memperlakukan pejabatnya, melainkan bagaimana ia memperlakukan rakyat kecilnya.
Kutipan itu terasa mengiris ketika kita menyaksikan betapa sulitnya guru, petani, atau buruh mendapat pengakuan dan kesejahteraan yang layak, sementara pejabat negara begitu mudah menambahkan tunjangan.
Kalau kita pikir-pikir, semua kegaduhan ini bukan sekadar soal kebijakan yang salah hitung. Ia adalah juga soal definisi. Pemerintah itu panggung atau bengkel?
Jika panggung, maka pejabat berdiri di atas, mendapat sorak-sorai dan lampu sorot. Kita hanya jadi penonton, menunggu “pertunjukan” selesai. Tetapi jika bengkel, pejabat dan rakyat duduk sejajar, sama-sama kotor tangan oleh oli, sama-sama memperbaiki mesin besar bernama negara.
Bayangkan kalau seorang pejabat berani memperkenalkan diri begini:
“Saya abdi negara pengemban amanah rakyat. Tugas saya mendengar, menghitung, menjelaskan, dan mengubah haluan bila warga menolak.”
Bukankah kalimat sederhana itu bisa meruntuhkan jurang yang lebar?
Dan kita sebagai rakyat pun perlu menata ulang cara pandang. Kalau kita terus mengagungkan jabatan publik seolah ia abdi negara dengan mahkota tertinggi, kita justru ikut membesarkan jarak. Padahal, semua orang bekerja. Bedanya, pejabat bekerja dengan mandat rakyat dan uang publik. Maka standar etiknya harus lebih tinggi, bukan sebaliknya.
Al-Qur’an pun mengingatkan hal serupa. Dalam surah An-Nisa ayat 58, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ayat ini seakan menegaskan: jabatan publik bukanlah mahkota, melainkan amanah. Dan amanah, dalam bahasa iman, bukan untuk diagung-agungkan, melainkan untuk dipertanggungjawabkan.
Aku jadi ingat laporan Edelman Trust Barometer 2025. Laporan itu menulis bahwa mayoritas warga dunia kini diliputi grievance, perasaan bahwa institusi hanya melayani yang sudah kuat. Indonesia memang relatif tinggi tingkat kepercayaannya, tapi tren ini tetap terasa di sini. Kita mudah marah, mudah curiga, karena ada luka yang tidak sembuh-sembuh.
Kalau begini, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, pemerintah perlu mengembalikan proses kebijakan ke meja warga. Bukan sekadar “sosialisasi setelah keputusan jadi,” tapi dialog sebelum diputuskan. Kedua, transparansi angka dan logika kebijakan harus jadi standar komunikasi. Rakyat bisa menerima pahit kalau mereka jelaskan secara jujur. Ketiga, perlindungan ruang kritik harus terjaga: demonstrasi bukan musuh, melainkan vitamin demokrasi.
Di sisi lain, rakyat pun perlu belajar menantang dengan data, bukan hanya dengan amarah. Karena marah tanpa data mudah terpatahkan, sementara data adalah bahasa yang membuat kekuasaan tak bisa mengelak.
Akhirnya, aku, seorang rakyat yang baru saja belajar ini, percaya bahwa politik tidak seharusnya menjadi drama di panggung yang jauh. Ia harus kembali menjadi ruang kemanusiaan: tempat kita bisa lelah, marah, tapi juga percaya dan berharap.
Mungkin cerita Pati, kontroversi gaji DPR, atau hoaks tentang guru hanya sepotong cermin. Tapi dari potongan-potongan itu kita bisa belajar: negara ini akan selalu rapuh jika definisinya keliru. Selama pejabat kita pandang sebagai penguasa, rakyat akan merasa jadi penonton.
Tapi ketika pejabat berani menyebut dirinya abdi negara pengemban amanah, dan rakyat berani memperlakukan pejabat bukan sebagai raja melainkan sebagai pekerja publik, maka jurang itu pelan-pelan bisa menyempit.
Dan pada akhirnya, bukankah yang kita rindukan adalah negara tanpa panggung. Sebuah bengkel bersama, tempat rakyat dan pengemban amanah bekerja sejajar, memperbaiki mesin besar bernama Indonesia? []