• Login
  • Register
Jumat, 13 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Seolah-olah Tidak Resmi: Sejarah Perempuan dan Rezim yang Ingin Menulis Ulang Sejarah Indonesia

Kita bisa memilih untuk terus menuliskan sejarah perempuan Indonesia. Membuat suara-suara masa silam perempuan terus bergema.

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
12/06/2025
in Publik
0
Sejarah Perempuan

Sejarah Perempuan

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Istilah sejarah resmi (official history) muncul dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Pasalnya, proyek historiografi (penulisan sejarah), yang akan pemerintah garap melalui program Kementerian Budaya, ini untuk menghasilkan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang merupakan sejarah resmi.

“Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan ‘sejarah resmi’ (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” Demikian kutipan dari draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia, sebagaimana dilansir dari Tempo.co; “Menyoal Penggunaan Istilah Resmi dalam Revisi Naskah Sejarah” (28/05/2025).

Sejarah Perempuan yang Menjadi Tidak Resmi, “Seolah-olah”

Penggunaan istilah sejarah resmi dalam historiografi Indonesia bukan tanpa soal. Apa yang pemerintah maksud dengan sejarah resmi itu? Jika maksudnya adalah sejarah yang ditulis dalam SNI, atau buku Sejarah Nasional Indonesia, kita sudah mengenal istilah sejarah nasional yang, sebagaimana Taufik Abdullah dalam Sejarah Lokal di Indonesia, merujuk pada sejarah dari wilayah yang kini kita sebut Republik Indonesia.

Dalam penggunaan term sejarah nasional itu muncul juga istilah sejarah lokal, yang merujuk pada sejarah di level daerah atau tingkat lokal. Efek biner istilah seperti itu dapat pula terjadi pada penggunaan istilah sejarah resmi. Kalau ada sejarah resmi, maka seakan-akan ada sejarah tidak resmi (unofficial history).

Dan, sebab kita tidak dapat mengakomodasi semua sejarah dalam satu proyek historiografi, akan ada banyak sejarah Indonesia yang tidak tertulis dalam buku sejarah resmi pemerintah. Absennya sejarah-sejarah itu bukan karena tidak cukup penting. Tapi, sebagaimana John Arnold dalam Sejarah, seperangkat minat dan gagasan dapat memerangkap sejarawan, dalam kasus ini minat dan gagasan rezim selaku pemilik proyek akan sangat memengaruhi penulisan ulang sejarah Indonesia.

Baca Juga:

Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima

Menolak Lupa, Tragedi Sejarah Kekerasan terhadap Perempuan

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Dalam kondisi ini, kita akan menyaksikan banyak sejarah perempuan Indonesia yang tidak masuk dalam buku sejarah resmi pemerintah. Sebab, berdasarkan minat dan gagasan rezim selaku pemiliki proyek serta sejarawan terlibat sebagai penulis proyek, itu tidak cukup penting (bagi mereka) untuk masuk dalam jilid-jilid buku sejarah resmi.

Maka, sejarah-sejarah perempuan, yang menurut mereka tidak sejalan dengan “…orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air,” sebuah penghalusan bahasa untuk tidak menyebut kepentingan penguasa, menjadi seolah-olah sejarah yang tidak resmi.

Dilema Sejarah dalam Tafsir Sejarah Resmi oleh Rezim

Tentu kita dapat, dan perlu, mempersoalkan urgensi penggunaan istilah sejarah resmi. Dan, tidak ada salahnya juga untuk, kita mencurigai penggunaan istilah sejarah resmi dapat menjebak pada tafsir tunggal atas sejarah yang boleh dan tidak boleh.

Ketika penggunaan istilah ini bermuara pada penafsiran rezim terhadap mana sejarah yang resmi dan tidak resmi, yang nantinya bakal menjadi mana yang boleh dan tidak boleh, itu masalah. Sebab, sebagaimana Arnold, sejarah itu perdebatan. Ada begitu banyak celah, masalah, kontradiksi, dan ketidakpastian yang dapat membuat para sejarawan berdebat.

Perdebatan itu menjadi makin rumit, ketika rezim dengan kepentingannya masuk menghegemoni sejarah. Menjadi bukan tidak mungkin, di hari depan akan ada pembatasan atas penyebaran narasi sejarah yang boleh dan tidak boleh. Sebab, rezim memiliki penafsiran sejarah yang mereka sebut resmi.

Selain itu, masih sebagaimana Arnold, sejarah adalah sebuah proses. Sebagai hasil dari historiografi, sejarah tidak pernah benar-benar berakhir. Mengambil contoh SNI, misalnya. Setelah edisi sampul hijau cetakan pertama tahun 1975, terbit edisi sampul biru untuk cetak ulang tahun 1981-1983. Pada tahun 2008, terbit edisi pemutakhiran SNI. Dan, pada tahun 2012, terbit Indonesia dalam Arus Sejarah yang merupakan buku sejarah nasional 9 jilid terpisah dari SNI 6 jilid. Sekarang, pemerintah ingin menulis ulang sejarah Indonesia.

Dalam proses-proses penulisan sejarah yang tidak pernah benar-benar berakhir itu, ada sejarah yang sebelumnya tidak masuk SNI, kemudian masuk. Seperti, SNI edisi 2008 menambahkan pembahasan sejarah gerakan perempuan dan pemuda, yang tidak ada dalam SNI edisi sebelumnya.

Nasib Sejarah Perempuan dalam Proyek Penulisan Ulang Sejarah

Kondisi ini juga berlaku pada proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Sejarah yang rezim hari ini pandang sebagai sejarah resmi, besok lusa boleh jadi direvisi sebagai sejarah tidak resmi. Pun, sebaliknya.

Namun soalnya bukan hanya pada proses perkembangan studi sejarah, melainkan pada upaya rezim ingin menafsirkan mana sejarah yang resmi. Support negara memang harus kita akui dapat membantu perkembangan studi sejarah. Akan tetapi, sejarah juga dapat menjadi rumit, ketika penguasa punya kepentingan ingin menghegemoni kerja penulisan sejarah.

Mengatakan penulisan ulang sejarah Indonesia tidak akan memberi sumbangan terhadap perkembangan studi sejarah perempuan, itu kesimpulan yang terlalu buru-buru. Sebab, ya, proyek ini masih dalam rancangan. Namun, terlalu berharap banyak juga tidak usah.

Saya kira, masih akan banyak suara-suara perempuan dari masa lalu yang tetap sulit terdengar. Terlebih, ketika sejarah perempuan, yang tidak masuk dalam sejarah resmi pemerintah, seolah-olah menjadi sejarah tidak resmi.

Itu juga bukan berarti kemunduran bagi her-storiography (penulisan sejarah perempuan) di Indonesia. Penguasa boleh saja menulis sejarah yang menurut kepentingan mereka adalah resmi.

Namun, saya kira, itu tidak akan memerangkap mereka yang ingin menyuarakan sejarah perempuan pada kondisi, yang Abdullah bahasakan, “pokoknya kita setuju saja”. Kita bisa memilih untuk terus menuliskan sejarah perempuan Indonesia. Membuat suara-suara masa silam perempuan terus bergema, meski dalam nada seolah-olah itu sejarah tidak resmi. []

Tags: Her-story NusantaraPenulisan Ulang Sejarah IndonesiaSejarah NasionalSejarah PerempuanSejarah Resmi
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Nikel Raja Ampat

Penambangan Nikel di Raja Ampat: Ancaman Nyata bagi Masyarakat Adat

12 Juni 2025
Tanah Papua

Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua

12 Juni 2025
Kak Owen

Kak Owen Hijaukan Bogor Lewat Aksi Menanam 10.000 Pohon

12 Juni 2025
Pancasila

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

12 Juni 2025
Financial Literacy

Melek Financial Literacy di Era Konsumtif, Tanggung Jawab atau Pilihan?

11 Juni 2025
Raja Ampat

Kelompok Waifuna: Perempuan-perempuan Penjaga Laut Raja Ampat, Papua Barat

11 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Perempuan

    Seolah-olah Tidak Resmi: Sejarah Perempuan dan Rezim yang Ingin Menulis Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kak Owen Hijaukan Bogor Lewat Aksi Menanam 10.000 Pohon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyulam Spiritualitas dan Rasionalitas: Belajar Menyebut Nama Tuhan dari Perempuan Abad 16

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penambangan Nikel di Raja Ampat: Ancaman Nyata bagi Masyarakat Adat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyemarakkan Ajaran Ekoteologi ala Prof KH Nasaruddin Umar
  • Prinsip Penghormatan dan Kasih Sayang Jadi Fondasi untuk Berelasi Antar Manusia
  • Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang
  • Penambangan Nikel di Raja Ampat: Ancaman Nyata bagi Masyarakat Adat
  • Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID