Mubadalah.id – Istilah sejarah resmi (official history) muncul dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Pasalnya, proyek historiografi (penulisan sejarah), yang akan pemerintah garap melalui program Kementerian Budaya, ini untuk menghasilkan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang merupakan sejarah resmi.
“Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan ‘sejarah resmi’ (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” Demikian kutipan dari draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia, sebagaimana dilansir dari Tempo.co; “Menyoal Penggunaan Istilah Resmi dalam Revisi Naskah Sejarah” (28/05/2025).
Sejarah Perempuan yang Menjadi Tidak Resmi, “Seolah-olah”
Penggunaan istilah sejarah resmi dalam historiografi Indonesia bukan tanpa soal. Apa yang pemerintah maksud dengan sejarah resmi itu? Jika maksudnya adalah sejarah yang ditulis dalam SNI, atau buku Sejarah Nasional Indonesia, kita sudah mengenal istilah sejarah nasional yang, sebagaimana Taufik Abdullah dalam Sejarah Lokal di Indonesia, merujuk pada sejarah dari wilayah yang kini kita sebut Republik Indonesia.
Dalam penggunaan term sejarah nasional itu muncul juga istilah sejarah lokal, yang merujuk pada sejarah di level daerah atau tingkat lokal. Efek biner istilah seperti itu dapat pula terjadi pada penggunaan istilah sejarah resmi. Kalau ada sejarah resmi, maka seakan-akan ada sejarah tidak resmi (unofficial history).
Dan, sebab kita tidak dapat mengakomodasi semua sejarah dalam satu proyek historiografi, akan ada banyak sejarah Indonesia yang tidak tertulis dalam buku sejarah resmi pemerintah. Absennya sejarah-sejarah itu bukan karena tidak cukup penting. Tapi, sebagaimana John Arnold dalam Sejarah, seperangkat minat dan gagasan dapat memerangkap sejarawan, dalam kasus ini minat dan gagasan rezim selaku pemilik proyek akan sangat memengaruhi penulisan ulang sejarah Indonesia.
Dalam kondisi ini, kita akan menyaksikan banyak sejarah perempuan Indonesia yang tidak masuk dalam buku sejarah resmi pemerintah. Sebab, berdasarkan minat dan gagasan rezim selaku pemiliki proyek serta sejarawan terlibat sebagai penulis proyek, itu tidak cukup penting (bagi mereka) untuk masuk dalam jilid-jilid buku sejarah resmi.
Maka, sejarah-sejarah perempuan, yang menurut mereka tidak sejalan dengan “…orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air,” sebuah penghalusan bahasa untuk tidak menyebut kepentingan penguasa, menjadi seolah-olah sejarah yang tidak resmi.
Dilema Sejarah dalam Tafsir Sejarah Resmi oleh Rezim
Tentu kita dapat, dan perlu, mempersoalkan urgensi penggunaan istilah sejarah resmi. Dan, tidak ada salahnya juga untuk, kita mencurigai penggunaan istilah sejarah resmi dapat menjebak pada tafsir tunggal atas sejarah yang boleh dan tidak boleh.
Ketika penggunaan istilah ini bermuara pada penafsiran rezim terhadap mana sejarah yang resmi dan tidak resmi, yang nantinya bakal menjadi mana yang boleh dan tidak boleh, itu masalah. Sebab, sebagaimana Arnold, sejarah itu perdebatan. Ada begitu banyak celah, masalah, kontradiksi, dan ketidakpastian yang dapat membuat para sejarawan berdebat.
Perdebatan itu menjadi makin rumit, ketika rezim dengan kepentingannya masuk menghegemoni sejarah. Menjadi bukan tidak mungkin, di hari depan akan ada pembatasan atas penyebaran narasi sejarah yang boleh dan tidak boleh. Sebab, rezim memiliki penafsiran sejarah yang mereka sebut resmi.
Selain itu, masih sebagaimana Arnold, sejarah adalah sebuah proses. Sebagai hasil dari historiografi, sejarah tidak pernah benar-benar berakhir. Mengambil contoh SNI, misalnya. Setelah edisi sampul hijau cetakan pertama tahun 1975, terbit edisi sampul biru untuk cetak ulang tahun 1981-1983. Pada tahun 2008, terbit edisi pemutakhiran SNI. Dan, pada tahun 2012, terbit Indonesia dalam Arus Sejarah yang merupakan buku sejarah nasional 9 jilid terpisah dari SNI 6 jilid. Sekarang, pemerintah ingin menulis ulang sejarah Indonesia.
Dalam proses-proses penulisan sejarah yang tidak pernah benar-benar berakhir itu, ada sejarah yang sebelumnya tidak masuk SNI, kemudian masuk. Seperti, SNI edisi 2008 menambahkan pembahasan sejarah gerakan perempuan dan pemuda, yang tidak ada dalam SNI edisi sebelumnya.
Nasib Sejarah Perempuan dalam Proyek Penulisan Ulang Sejarah
Kondisi ini juga berlaku pada proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Sejarah yang rezim hari ini pandang sebagai sejarah resmi, besok lusa boleh jadi direvisi sebagai sejarah tidak resmi. Pun, sebaliknya.
Namun soalnya bukan hanya pada proses perkembangan studi sejarah, melainkan pada upaya rezim ingin menafsirkan mana sejarah yang resmi. Support negara memang harus kita akui dapat membantu perkembangan studi sejarah. Akan tetapi, sejarah juga dapat menjadi rumit, ketika penguasa punya kepentingan ingin menghegemoni kerja penulisan sejarah.
Mengatakan penulisan ulang sejarah Indonesia tidak akan memberi sumbangan terhadap perkembangan studi sejarah perempuan, itu kesimpulan yang terlalu buru-buru. Sebab, ya, proyek ini masih dalam rancangan. Namun, terlalu berharap banyak juga tidak usah.
Saya kira, masih akan banyak suara-suara perempuan dari masa lalu yang tetap sulit terdengar. Terlebih, ketika sejarah perempuan, yang tidak masuk dalam sejarah resmi pemerintah, seolah-olah menjadi sejarah tidak resmi.
Itu juga bukan berarti kemunduran bagi her-storiography (penulisan sejarah perempuan) di Indonesia. Penguasa boleh saja menulis sejarah yang menurut kepentingan mereka adalah resmi.
Namun, saya kira, itu tidak akan memerangkap mereka yang ingin menyuarakan sejarah perempuan pada kondisi, yang Abdullah bahasakan, “pokoknya kita setuju saja”. Kita bisa memilih untuk terus menuliskan sejarah perempuan Indonesia. Membuat suara-suara masa silam perempuan terus bergema, meski dalam nada seolah-olah itu sejarah tidak resmi. []