Mubadalah.id – Ada pengalaman menarik saat suatu hari diundang sebagai narasumber acara dakwah di sebuah stasiun tipi lokal. Begitu masuk studio, suasana temaram. Kulihat ada properti berupa sayur-sayuran dan bumbon dapur. Mirip sajen gitu deh! Terus terang ada rasa tidak nyaman karena jarang berada di situasi mistis seperti ini.
Ndak Tentu
Kuingat dulu pernah baca tulisan Cak Nun. Judulnya lupa tapi soal filosofi hidup orang Madura dengan kata kunci “Ndak Tentu”. Poinnya adalah tidak semua asumsi masyarakat umum itu selalu benar.
Misalnya meninggal di Kota Suci itu ndak tentu baik. Bukankah orang bisa saja meninggal di sana pas melakukan ma’shiat? Orang sedekah banyak juga belum tentu baik. Bukankah sedekah banyak bisa juga hasil korupsi? Model2 gitu deh! Kesadaran seperti ini sering melahirkan logika tak terduga alias ndak umum.
Dikotomi
Nah filosofi “Ndak Tentu” ini lumayan melekat di pikiranku. Ia mengajarkan untuk menghindari cara memahami ayat atau realitas sosial secara tunggal kemudian melakukan generalisasi. Juga, melatih keterampilan untuk melihat berbagai kemungkinan makna ayat atau makna sebuah fenomena sosial.
Pada akhirnya filosofi Ndak Tentu ini menuntunku untuk berani mencari ragam kemungkinan pemahaman atas ayat-ayat yang kerap dimaknai secara bias gender. Lalu akhirnya ketemu pemahaman yang adil gender. Tidak hanya sebatas pemahaman, tapi juga paradigma dan metode pemahaman yg lain atas al-Quran agar spirit keadilan pada perempuannya tidak menguap.
Filosofi Ndak Tentu ini juga penting sekali untuk menghindari cara berfikir dikotomis atau hitam putih. Termasuk dalam beragama. Maka, konsep Titik Tengah, Tawassuth, Tawazun, atau Moderasi Beragama sesungguhnya memerlukan filosofi ini.
Kalau bukan hitam, ndak tentu putih dan kalau ndak putih belum tentu hitam. Masih banyak warna selain hitam dan putih, taiye? Ada merah, kuning, bu-abu, dll. Masing-masing warna pun ada gradasinya. Bahkan biru dan hijau juga ndak tentu masuk kategori warna, tapi cuma gradasi. Tidak ada warna hijau, adanya biru daun, atau sebaliknya tidak ada warna biru yang ada hijau langit.
Nah, dalam acara dakwah tipi yang disponsori oleh pengobatan alternatif di atas, filosofi Ndak Tentu ini kupakai.
Pada umumnya, masyarakat memandang bahwa ikhtiyar sembuh ke “orang pintar”, baik dukun maupun figur spiritual melalui air atau sayuran dan bumbon tertentu itu syirik. Sebaliknya, ikhtiar sembuh ke dokter melalui obat-obatan itu tidak syirik. Ndak tentu, gais!
Kalau kita meyakini yang menyembuhkan kita adalah Allah, sedangkan tokoh spiritual maupun air dan ramuannya hanyalah media, maka selamat kita karena ndak syirik. Sebaliknya, kalau kita meyakini dokter dan obat-obatanlah yang menyembuhkan kita, bukan Allah, maka hati-hati kita bisa jatuh syirik.
Hormati
Apakah semua sesajen itu syirik? Ndak Tentu, tergantung cara kita memosisikan diri dan lainnya sebagai sesama makhluk dan memosisikan Allah sebagai Khalik. Yakni, apakah sesajen itu dipakai sebagai sarana untuk menyembah pada sesama makhluk ataukah hanya sarana berbagi rejeki pada sesama makhluk, akan menentukan.
Apakah jika syirik menurut kita pasti syirik juga dalam keyakinan orang lain? Ndak tentu! Karena cara mengenali dan menamai Dzat Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta antara satu umat beragama dengan umat agama lain bisa berbeda.
Apakah jika kita membiarkan sesajen berarti membiarkan syirik terjadi dan kita berdosa? Ndak tentu!
Kalau kita membiarkan sesajen untuk menghormati umat agama lain menjalankan keyakinannya yang berbeda dengan kita, sebagaimana kita juga ingin umat agama lain menghormati keyakinan kita yang berbeda dengan mereka, tentu tidak! Kita bisa saling tidak setuju dengan keyakinan umat agama lain dan pada saat yang sama juga saling menghormati. Hormat tidak selalu berarti setuju.
Keyakinan beragama itu tak terukur, sangat personal dan dinamis. Jangankan kayakinan atau iman orang lain, iman kita juga ndak tentu stabil. Dang-kadang naik karena tambah tebel (yazidu), tapi dang-kadang juga turun karena berkurang (yanqushu).
Tentu
Tentu saja dalam beragama juga melibatkan tindakan yang terukur dan lebih bisa dipastikan. Yakni, apakah sesuai dengan cita-cita agama atau tidak untuk:
- Mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta, khususnya bagi pihak lemah dan rentan dilemahkan dalam relasi apapun;
- Menyempurnakan akhlak mulia manusia, khususnya akhlak pihak kuat dan dominan pada pihak yang lemah atau rentan dilemahkan dalam relasi apapun;
Perbedaan apapun, termasuk keyakinan agama, tidak boleh menjadi alasan untuk menistakan/ bersikap zalim, karena musuh agama yang sesungguhnya adalah kezaliman itu sendiri, baik dilakukan oleh umat agama lain, maupun sendiri. Sebaliknya, puncak pencapaian dalam beragama adalah keagungan dan keluhuran budi pekerti umatnya, baik kepada sesama manusia, sesama umat agama yang sama, beda, bahkan tidak beragama, bahkan sesama makhluk.
Bagaimana dengan menendang sesajen? Ku setuju dengan mbak Alissa Q. Wahid: “Boleh saja kita meyakini bahwa sesajen itu tidak boleh. Yang tidak boleh itu adalah mengambil hak orang lain untuk mengimani hal yang berbeda.”
Btw, apakah sujud ke Ka’bah itu syirik? Ndak tentu juga!
Kalau sujudnya menyembah Ka’bah atau berhala-berhala yang kala itu ada di dalamnya, tentu saja syirik! Tapi kalau sujudnya itu menyembah Allah (Rabba Hadzal Bait), sedangkan hanya caranya saja menghadap ke Ka’bah seperti kita lakukan dalam shalat, tentu tidak dong deh ah!
Semoga kita bisa menjaga diri dari menuhankan apapun dan siapapun selain Allah walau tanpa menamainya Tuhan, dan dari melakukan kezaliman apapun, apalagi atas nama keyakinan agama. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamien. Terimakasih ya orang Madura! Wallahu A’lam bish-Shawab. []