Mubadalah.id – Salah satu Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menceritakan bahwa Siti Hajar adalah ibu luar biasa hebat.
Semangatnya untuk survive bersama bayi Ismail di tengah padang pasir tanpa air, tanpa suami dan keluarga adalah madrasah pertama bagi Ismail untuk menyerap nilai-nilai cinta.
Kemudian, pengorbanan, perjuangan dan kekuatan keyakinan akan adanya pertolongan Allah asal manusia berusaha tanpa putus asa. Zamzam yang abadi menjadi buah dari itu semua.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah mengungkapkan, ketika Ismail dititahkan untuk disembelih pun, lagi-lagi Siti Hajar berani menyembelih kepedihan hatinya sendiri.
Pasalnya, ia harus melepas putra terkasih yang betul-betul menjadi permata hati.
Hal yang sungguh amat melakukannya bagi seorang ibu pengasih di manapun. Semua sikap Hajar yang luar biasa dan bahkan berbeda dari rata-rata itu tentu menjadi madrasah hidup bagi Ismail.
Tak heran jika di usia tujuh tahun Ismail sudah sedemikian matang yaitu siap di sembelih sebagai bentuk ketaatan pada orang tua dan kepasrahan total kepada Allah. Hal yang tak ada pada anak-anak lain seusianya.
Di Balik Kehebatan Ibu Nabi Musa
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits itu menyampaikan, Asiyah ibu angkat Nabi Musa dan Yuhanidz (ada yang menyebutnya Yukabad) ibu kandungnya adalah dua ibu hebat di balik kehebatan Nabi Musa.
Tanpa dua orang ini, kata Nyai Badriyah, bayi Musa akan mengalami nasib sama dengan bayi laki-laki yang lahir saat itu, Fir’aun terbunuh. Dengan kepasrahan total Yuhanidz melarung bayi Musa ke Sungai Nil.
Asiyah, istri Fir’aun, menemukannya dan menjadikannya anak angkat setelah meluluhkan hati Fir’aun. Ia hidup di istana ibu angkatnya, dan ikut menyusu kepada ibu kandungnya tanpa sepengetahuan Fir’aun karena bayi Musa tak mau menyusu selain kepada Yuhanidz.
Asiyah dan Yuhanidz pun telah menjadi perisai hidup, pengasuh dan pendidik Musa yang sejati di titik pusat kekuasaan Fir’aun yang zalim. (Rul)