Sabtu, 27 Desember 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Natal

    Makna Natal Perspektif Mubadalah: Feminis Maria Serta Makna Reproduksi dan Ketubuhan

    Kekerasan di Kampus

    IMM Ciputat Dorong Peran Mahasiswa Perkuat Sistem Pelaporan Kekerasan di Kampus

    Kekerasan di Kampus

    Peringati Hari Ibu: PSIPP ITB Ahmad Dahlan dan Gen Z Perkuat Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Kampus

    KUPI yang

    KUPI Jadi Ruang Konsolidasi Para Ulama Perempuan

    gerakan peradaban

    Peran Ulama Perempuan KUPI dalam Membangun Gerakan Peradaban

    Kemiskinan Perempuan

    KUPI Dorong Peran Ulama Perempuan Merespons Kemiskinan Struktural dan Krisis Lingkungan

    Kekerasan Seksual

    Forum Halaqah Kubra KUPI Bahas Kekerasan Seksual, KDRT, dan KBGO terhadap Perempuan

    Gender KUPI

    Julia Suryakusuma Apresiasi Peran KUPI dalam Mendorong Islam Berkeadilan Gender

    sikap ambivalen

    Julia Suryakusuma Soroti Ancaman Kekerasan Seksual dan Sikap Ambivalen terhadap Feminisme

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Taubat Ekologis

    Saatnya Taubat Ekologis dan Kembalikan Sakralitas Alam

    Perempuan Disabilitas

    Kasus Gowa dan Rapuhnya Perlindungan bagi Perempuan Disabilitas

    Era Scroll

    Hidup di Era Scroll: Masihkah Kita Memiliki Fokus Utuh?

    Ikan Asin

    Mengubah Limbah Ikan Asin Menjadi Pakan Mandiri

    Parenting Anxiety

    Parenting Anxiety: Ketika Mengasuh Anak Berada di Bayang-bayang Parenting Goals

    Perempuan Disabilitas Berlapis

    Diskriminasi Berlapis Perempuan Disabilitas di Negara yang Belum Inklusif

    Agus Buntung

    Menulis Terminologi “Agus Buntung” Di Media Online, Inklusikah? 

    Tambang Ilegal

    Tambang Ilegal: Kejahatan Ekologi yang Menghancurkan Alam dan Keselamatan Rakyat

    Manunggaling Kawula Gusti

    Manunggaling Kawula Gusti, Pengakuan Inklusivitas dalam Sufisme Jawa

    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Penciptaan Manusia

    Logika Penciptaan Manusia dari Tanah: Bumi adalah Saudara “Kita” yang Seharusnya Dijaga dan Dirawat

    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
  • Tokoh
    • All
    • Profil
    Kebudayaan

    Pidato Kebudayaan dalam Ulang Tahun Fahmina Institute Ke 25

    Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    Idulfitri

    Khutbah Idulfitri: Mulai Kehidupan Baru di Bulan Syawal

    Sa'adah

    Sa’adah: Sosok Pendamping Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  

    Tahun Baru 2025

    Do’a Tahun Baru 2025

    Umi Nyai Sintho' Nabilah Asrori

    Umi Nyai Sintho’ Nabilah Asrori : Ulama Perempuan yang Mengajar Santri Sepuh

    Rabi'ah Al-'Adawiyah

    Sufi Perempuan: Rabi’ah Al-‘Adawiyah

    Ning Imaz

    Ning Imaz Fatimatuz Zahra: Ulama Perempuan Muda Berdakwah Melalui Medsos

    Siti Hanifah Soehaimi

    Siti Hanifah Soehaimi: Penyelamat Foto Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato yang Sempat Hilang

  • Monumen
  • Zawiyah
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Natal

    Makna Natal Perspektif Mubadalah: Feminis Maria Serta Makna Reproduksi dan Ketubuhan

    Kekerasan di Kampus

    IMM Ciputat Dorong Peran Mahasiswa Perkuat Sistem Pelaporan Kekerasan di Kampus

    Kekerasan di Kampus

    Peringati Hari Ibu: PSIPP ITB Ahmad Dahlan dan Gen Z Perkuat Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Kampus

    KUPI yang

    KUPI Jadi Ruang Konsolidasi Para Ulama Perempuan

    gerakan peradaban

    Peran Ulama Perempuan KUPI dalam Membangun Gerakan Peradaban

    Kemiskinan Perempuan

    KUPI Dorong Peran Ulama Perempuan Merespons Kemiskinan Struktural dan Krisis Lingkungan

    Kekerasan Seksual

    Forum Halaqah Kubra KUPI Bahas Kekerasan Seksual, KDRT, dan KBGO terhadap Perempuan

    Gender KUPI

    Julia Suryakusuma Apresiasi Peran KUPI dalam Mendorong Islam Berkeadilan Gender

    sikap ambivalen

    Julia Suryakusuma Soroti Ancaman Kekerasan Seksual dan Sikap Ambivalen terhadap Feminisme

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Taubat Ekologis

    Saatnya Taubat Ekologis dan Kembalikan Sakralitas Alam

    Perempuan Disabilitas

    Kasus Gowa dan Rapuhnya Perlindungan bagi Perempuan Disabilitas

    Era Scroll

    Hidup di Era Scroll: Masihkah Kita Memiliki Fokus Utuh?

    Ikan Asin

    Mengubah Limbah Ikan Asin Menjadi Pakan Mandiri

    Parenting Anxiety

    Parenting Anxiety: Ketika Mengasuh Anak Berada di Bayang-bayang Parenting Goals

    Perempuan Disabilitas Berlapis

    Diskriminasi Berlapis Perempuan Disabilitas di Negara yang Belum Inklusif

    Agus Buntung

    Menulis Terminologi “Agus Buntung” Di Media Online, Inklusikah? 

    Tambang Ilegal

    Tambang Ilegal: Kejahatan Ekologi yang Menghancurkan Alam dan Keselamatan Rakyat

    Manunggaling Kawula Gusti

    Manunggaling Kawula Gusti, Pengakuan Inklusivitas dalam Sufisme Jawa

    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Penciptaan Manusia

    Logika Penciptaan Manusia dari Tanah: Bumi adalah Saudara “Kita” yang Seharusnya Dijaga dan Dirawat

    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
  • Tokoh
    • All
    • Profil
    Kebudayaan

    Pidato Kebudayaan dalam Ulang Tahun Fahmina Institute Ke 25

    Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    Idulfitri

    Khutbah Idulfitri: Mulai Kehidupan Baru di Bulan Syawal

    Sa'adah

    Sa’adah: Sosok Pendamping Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  

    Tahun Baru 2025

    Do’a Tahun Baru 2025

    Umi Nyai Sintho' Nabilah Asrori

    Umi Nyai Sintho’ Nabilah Asrori : Ulama Perempuan yang Mengajar Santri Sepuh

    Rabi'ah Al-'Adawiyah

    Sufi Perempuan: Rabi’ah Al-‘Adawiyah

    Ning Imaz

    Ning Imaz Fatimatuz Zahra: Ulama Perempuan Muda Berdakwah Melalui Medsos

    Siti Hanifah Soehaimi

    Siti Hanifah Soehaimi: Penyelamat Foto Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato yang Sempat Hilang

  • Monumen
  • Zawiyah
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Soeharto dan Situasi Epistemik Bangsa

Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah membawa kita ke dalam pusaran persoalan yang kian rumit sebagai ujian moral bagi ingatan kolektif bangsa.

Ahmad Thohari Ahmad Thohari
12 November 2025
in Publik
0
Soeharto

Soeharto

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bisma Yang Agung, putra Dewi Gangga, yang telah bersumpah membujang seumur hidup, menjadikan pengabdian seluruh hidupnya hanya kepada Dinasti Kuru sebagai janji kewajiban. Ia tak memiliki motivasi kepentingan pribadinya sendiri, apakah benar-benar bisa kita anggap mulia dan terbebas dari dosa?

Apakah nilai kewajiban yang ia ambil itu tak luput dari bias dan noda? Dan dalam semua itu, apakah ia lantas serta merta bisa tergelari Pahlawan?

Mari kita berpikir. Simaklah dialog epic—saya menyebutnya demikian—antara Bisma dan Krisna saat perang Baratayuda. Di serial Mahabarata yang dulu rutin tayang di ANTV, dialog tersebut menyuguhkan pemahaman tidak mainstream untuk kita pahami kembali.

Kerucut yang kiranya dapat kita pahami dari dialog tersebut ternyata keterikatan janji kewajiban dan keteguhan Bisma dalam memegang sumpahnya justru menjadi penghalang bagi seluruh kesejahteraan manusia dan takdirnya.

Terlepas dari interpretasi macam-macam tentang kemenangan pihak Pandawa berkat politisasi kesadaran yang Krisna lakukan terhadap panglima-panglima perang pihak Kurawa, termasuk yang dilakukan terhadap Bisma.

Ada satu benang merah pelajaran yang sungguh-sungguh harus kita pahami dari setiap dialog epic yang selalu menyertai gugurnya panglima-panglima tersebut. Bahwa seluruh nilai kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan haruslah kita pahami dari sudut pandang nasib hidup umat manusia secara menyeluruh—bukan dari golongan, apalagi dinasti.

Relasi Kuasa

Sampai saat ini, kita sadari atau tidak, logika berpikir kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan yang kita pahami serta lakukan hampir seluruhnya bersifat golongan dan penuh relasi kuasa. Prinsipnya sudah bisa kita tebak: dari atas ke bawah.

Seperti kebiasaan tokoh-tokoh pejabat kita yang gemar sekali melakukan pembangunan atas nama pemerintah demi nasib baik hidup rakyat, tetapi justru mereka lakukan dengan mengintervensi cara berpikir rakyat. Alhasil, capaian pembangunan hanya tampak berhasil secara statistik-kuantitatif. Sedangkan secara substantif-kualitatif nasib rakyat tetap gitu-gitu aja. Bahkan semakin memprihatinkan.

Dialog epic antara Bisma dan Krisna, saya pikir sedang memberi pengetahuan dan mengajari kita bahwa sosok Bisma, yang keagungannya menggema di seluruh wilayah Arya, ternyata juga dapat mengalami bias egoistis.

Menganggap serta-merta janji dan sumpahnya itu adalah sebuah jalan kemuliaan memperjuangkan keadilan. Padahal, janji serta sumpahnya tersebut justru membelenggunya mengambil keputusan penting. Malah membikin nasib seluruh umat manusia mati sia-sia, hingga perang besar terjadi.

Kekeliruan Bisma terletak pada ketidaktahuan dan kekolotannya memahami janji serta sumpahnya. Oleh karenanya, boleh kita katakan, Bisma merupakan potret dari keagungan tokoh yang gagal memahami keadilan bagi seluruh nasib rakyat gara-gara sumpah dan janjinya sendiri.

Barangkali Bisma tidak secara langsung dan sengaja merusak kesejahteraan manusia dan takdirnya. Namun, ia tetaplah bersalah. Ia tergelincir masuk terjebak pamrih atas janji dan sumpahnya sendiri. Padahal, janji dan sumpah haruslah membebaskan, bukan malah membelenggu. Melanggar janji dan sumpah demi (membebaskan) nasib hidup seluruh umat manusia adalah hal yang tidak pernah Bisma lakukan.

Problem Bisma dan Gelar Pahlawan Soeharto

Mari kita refleksikan problem Bisma tersebut pada kabar terkini bertepatan peringatan Hari Pahlawan 2025. Jika Bisma sebagai seorang Dewata Agung yang memilih menihilkan kesenangan pribadinya masih saja implisit menjadi penyebab kehancuran kesejahteraan manusia dan takdirnya. Meski tanpa tersadari dan ia sengaja.

Pertanyaannya, lantas bagaimana dengan tokoh yang jelas-jelas teridentifikasi (terang-terangan) menjadi dalang bagi melayangnya ratusan ribu nyawa manusia demi pamrih kesejahteraan hidup hanya untuk anak-turunnya sendiri?

Soeharto tentu saja bukan Bisma. Sangat jauh untuk kita perbandingkan, lebih-lebih kita samakan. Hanya saja ada sambungan nilai yang dapat kita refleksikan sangat mendasar. Terutama dalam upaya bangsa ini memahami motivasi, cara main, dan dampak-dampak dari setiap tindakan yang dilakukan tokoh-tokohnya bagi nasib hidup umat manusia dan takdirnya. Dengan cara demikian itulah seharusnya bangsa ini memahami figur Soeharto pula.

Ujian Moral Ingatan Kolektif Bangsa

Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional hari lalu telah membawa kita ke dalam pusaran persoalan yang kian rumit sebagai ujian moral bagi ingatan kolektif bangsa.

Baiklah, tidak dapat kita nafikan, bilamana Soeharto dianggap pernah membawa stabilitas ekonomi dan terkenal sebagai “bapak pembangunan”. Tapi ingatlah baik-baik bahwa pembangunan ala modern yang kawin-mawin dengan kapitalisme selalu menciptakan cost kemanusiaan yang serius.

Toh, capaian baiknya sangat tak seberapa daripada kerusakan kemanusiaan yang dihasilkan. Mulai dari menindas kebebasan, membungkam oposisi, memperkaya kroni, dan membiarkan pelanggaran HAM berat tanpa pernah ada pertanggungjawaban. Khususnya yang terjadi pada tragedi 1965–1966.

Lalu penembakan misterius, hingga pembantaian di Timor Timur. Lagi-lagi belajar dari sosok Bisma, bahwa cara terbaik membangun logika pahlawan—secara moral dan historis—haruslah terukur. Bukan semata-mata dari hasil fisik yang diberikan, melainkan lebih pada cara dan nilai-nilai yang kita perjuangkan.

Apa yang kita warisi sebagai bangsa dari sosok Soeharto hampir seluruhnya adalah luka sejarah yang tak pernah berkenan mempertanggungjawabkan diri. Jadi, kalau negara memberi gelar “pahlawan nasional” tanpa pernah menuntaskan kebenaran sejarah dan keadilan bagi korban, itu bagai menulis ulang sejarah bangsa dengan tinta manipulasi. Penghargaan semacam itu jelas berpotensi menghapus luka publik. Bahkan, ada gejala melegitimasi kekuasaan otoritarian masa lalu sebagai “prestasi”.

Situasi Epistemik Bangsa

Mari kita elaborasi agak filosofis. Hannah Arendt, ketika menulis banality of evil, merefleksikan figur Eichmann untuk menjelaskan lahirnya kejahatan bisa terjadi dari kepatuhan yang tidak berpikir. Dalam maksud ini, ketidakmampuan berpikir (sekaligus ketidaktahuan) adalah modal strategis bagi cara rezim melahirkan dan merawat kejahatan demi kekuasaan yang langgeng.

Kalau kita tarik dalam sosok Soeharto dan situasi politik (pengetahuan) Indonesia, kita bisa menyaksikan sendiri sesuatu yang jauh lebih sistemik dan berbahaya. Bahwa bukan sekadar banalitas kejahatan yang terjadi, tapi instrumentalisasi kejahatan.

Dengan kata lain, kekerasan, penindasan, dan kebohongan (epistemik) tidak lagi dapat kita pahami sebagai produk sampingan kekuasaan. Melainkan telah menjadi pondasi kekuasaan itu sendiri: menjadi “alat rasional” negara.

Jadi kalau Arendt melihat banalitas kejahatan sebagai hasil dari hilangnya kemampuan berpikir kritis, maka di negeri ini kita bisa melihat kelakuan pemerintah yang secara sadar dan sengaja justru memproduksi kondisi tersebut.

Cara yang pemerintah lakukan adalah dengan memanipulasi ingatan kita atas sejarah bangsa. Ketika simbol utama rezim otoritarianisme semacam itu terangkat kembali dengan memakaikan baju “kepahlawanan.” Maka, sebetulnya telah terjadi proses re-normalisasi kejahatan masa lalu yang sedang diupayakan.

Merawat Daya Kritis terhadap Sejarah Bangsa

Pola yang sebetulnya umum kita jumpai karena terlampau sering dilakukan. Negara, dengan segala instrumen kekuasaannya, hampir selalu berupaya bahu-membahu menulis ulang moral publik dengan mengotak-atik fakta-fakta sejarah bangsa dengan cara tidak adil. Sampai pada upaya itu berhasil dilakukan, maka terjadilah sophisticated evil: kejahatan yang sadar diri dan terstruktur rapi.

Tak hanya itu saja. Situasi pengetahuan kebangsaan kita juga semakin genting ketika sosok Marsinah diangkat pula sebagai pahlawan berbarengan dengan figur Soeharto. Jelas ini bukan sekadar ironi moral, tetapi merupakan penghinaan yang membalik moral.

Marsinah adalah representasi filosofis-emansipatif tentang situasi pengetahuan dan ketidakadilan bangsa. Menyandingkan sosok Marsinah dengan figur represif yang menjadi dalang di balik pembunuhannya justru sedang menyuguhkan “kolase sinis” khas produk psudo-nationalism.

Alarm bahaya epistemik sudah berbunyi. Situasi pengetahuan bangsa sedang genting—dan terus akan genting. Kita jangan sampai kehilangan diri dan harus terus merawat daya kritis terhadap sejarah bangsa. Jadi, mulai dari sekarang segera kita teguhkan hati: ini bukan hanya soal sikap moral, tetapi sekaligus upaya menggugat dan menemukan status ontologis pikiran bangsa. []

 

Tags: bangsaHari Pahlawanpahlawan nasionalsejarahSoeharto
Ahmad Thohari

Ahmad Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari, lulusan mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, punya minat kajian di bidang filsafat, sosial dan kebudayaan. Asal dari Ngawi, Jawa Timur.

Terkait Posts

Ratu Saba'
Figur

Ratu Saba’ dan Seni Memimpin ala Perempuan

24 Desember 2025
Catatan Kaki
Personal

Perempuan Bukan ‘Catatan Kaki’ dalam Kehidupan

20 Desember 2025
Keulamaan Perempuan dalam
Publik

Jejak Panjang Keulamaan Perempuan dalam Sejarah Islam

20 Desember 2025
Kepemimpinan Perempuan
Publik

Kepemimpinan Perempuan Mengakar dalam Sejarah Indonesia

19 Desember 2025
Krisis
Aktual

Di Halaqah KUPI, GKR Hemas Tekankan Peran Ulama Perempuan Hadapi Krisis Bangsa

14 Desember 2025
Kerusakan Ekologi
Aktual

Kerusakan Ekologi adalah Dosa Struktural Bangsa

10 Desember 2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Manunggaling Kawula Gusti

    Manunggaling Kawula Gusti, Pengakuan Inklusivitas dalam Sufisme Jawa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sulitnya Ruang Aman Bagi Perempuan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Ilegal: Kejahatan Ekologi yang Menghancurkan Alam dan Keselamatan Rakyat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Diskriminasi Berlapis Perempuan Disabilitas di Negara yang Belum Inklusif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus Gowa dan Rapuhnya Perlindungan bagi Perempuan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Saatnya Taubat Ekologis dan Kembalikan Sakralitas Alam
  • Kasus Gowa dan Rapuhnya Perlindungan bagi Perempuan Disabilitas
  • Hidup di Era Scroll: Masihkah Kita Memiliki Fokus Utuh?
  • Mengubah Limbah Ikan Asin Menjadi Pakan Mandiri
  • Parenting Anxiety: Ketika Mengasuh Anak Berada di Bayang-bayang Parenting Goals

Komentar Terbaru

  • honyroom pada Apakah Benar Nabi Muhammad Menikahi Aisyah Umur 6 Tahun?
  • Laura Khan pada Kemiskinan yang Berwajah Perempuan dan Pentingnya Menolak Kepemimpinan Maskulin
  • http://igenplan.ru/forum/user/100422/ pada Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan
  • Margaret1395 pada Saatnya Taubat Ekologis dan Kembalikan Sakralitas Alam
  • tkslot pada Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Account
  • Home
  • Khazanah
  • Kirim Tulisan
  • Kolom Buya Husein
  • Kontributor
  • Monumen
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Rujukan
  • Tentang Mubadalah
  • Zawiyah
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID