Mubadalah.id – Solidaritas terhadap perjuangan perempuan atau yang biasa disebut “ukhuwah nisaiyah” sesungguhnya telah mendapatkan dasar legitimasi agama dalam bentuknya yang paling mendasar dan genuine.
Al-Qur’an beberapa kali menyatakan tentang kesederajatan perempuan dan laki-laki. (QS. an-Nisaa’ (4): 1: al-Ahzab (33): 35: al-Hujuraat (49): 13). Bahkan, dengan sangat tegas, kitab suci ini menyatakan:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah (9): 71).
Firman tersebut sudah jelas menyatakan bahwa Tuhan menuntut orang-orang beriman untuk bertindak secara bersama-sama dalam suasana saling mendukung. Termasuk saling berbagi rasa, dan melakukan solidaritas bagi kerja-kerja kebudayaan, politik, sosial, dan spiritual.
Kemudian, pernyataan ini dielaborasi dengan bahasa yang lebih tegas oleh Nabi Saw:
“Hubungan interaksi sosial orang-orang beriman adalah bagaikan satu bangunan atau satu tubuh. Jika salah satu di antara bagian-bagian tubuhnya menderita, maka akan menderita pula bagian tubuhnya yang lain.” (HR. Bukhari).
Solidaritas seperti ini menurut lanjutan ayat tersebut akan menjamin kehidupan yang baik dan sejahtera di sisi Tuhan. (QS. at-Taubah (9): 72).
Solidaritas untuk perempuan (ukhuwah nisaiyah) dalam sejarah kehidupan kaum muslimin awal telah muncul sebagai sebuah gerakan. Ini tampak ketika para istri Nabi Saw secara bersama-sama datang kepada beliau untuk mempertanyakan hak-hak mereka dalam segala aktivitas kehidupan bersama.
Asma binti Yazid
Suatu hari, Asma binti Yazid al-Anshariyah datang kepada Nabi Saw. mewakili teman-teman perempuannya, “Aku datang kepada Anda sebagai delegasi dan mewakili kaum perempuan. Aku tahu pasti bahwa Tuhan mengutus Anda untuk membawa kebenaran kepada kaum laki-laki dan perempuan.”
Kemudian, Asma menyampaikan sejumlah fakta sosial kaum laki-laki berkaitan dengan peran-peran sosial, politik, dan ekonomi mereka. Asma, putri Abu Bakar, kemudian menggugat privilege kaum laki-laki seperti ini. “Lalu apa hak dan peran kami untuk hal-hal tersebut, wahai Nabi?” kata Asma.
Terhadap kritik tersebut, Nabi Muhammad Saw. meresponsnya dengan baik. Kepada para sahabatnya, beliau mengatakan, “Lihat, tidak ada kata-kata yang lebih baik dari seorang perempuan seperti kata-kata perempuan ini.”
Solidaritas perempuan juga dikemukakan secara lebih ekspresif oleh Khansa binti Khidam. Ia dipaksa oleh ayahnya untuk menikahi sepupunya. Padahal ia tidak menyukainya. Nabi Saw. menyuruh sang ayah untuk menyerahkan urusan itu kepada anaknya.
Kemudian Khansa menyatakan, “Meskipun aku kemudian mau menikahinya, tetapi aku ingin mendeklarasikan kepada publik perempuan bahwa keputusan akhir tentang Pilihan hidup ada di tangan perempuan, bukan ayahnya.”
Maka adalah jelas bahwa memaksa anak perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak ia sukai, bukanlah jalan yang baik. Pernikahan adalah sebuah transaksi yang harus dilandasi oleh saling rela antara kedua belah pihak. []