Mubadalah.id – Permasalahan ekonomi sering kali menjadi tolak ukur dalam keretakan rumah tangga seseorang. Derajat sosial menjadi polemik yang saat ini menggerus ketimpangan urusan antara suami dan istri.
Bagaimana tidak? Seiring naiknya derajat sosial atau status sosial perempuan. Maka jerat-jerat kekangan laki-laki dalam relasi suami istri yang timpang seperti melepas tali kekang yang menjerat setelah sekian lama.
Diskursus Guru Gugat Cerai Suami Usai Pelantikan PPPK
Fenomena ini berdasarkan pada contoh akurat dalam kasus guru di beberapa daerah berbondong-bondong menggugat cerai suami usai mendapatkan SK pelantikan PPPK. Alasan yang orang luar pahami agar bisa menghakimi tentunya karena mereka saat ini merasa lebih mandiri secara finansial daripada suami, sehingga upaya menggugat cerai suami merupakan keegoisan semata dari para perempuan.
Di mata orang luar, keputusan para guru tersebut seperti pendeskripsian Zainuddin dalam penggambaran perempuan: “Demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya. Walau pun kecil, kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang. Berenang di dalam emas, bersayap uang kertas.”
Namun, yang tidak pernah orang luar pikirkan ialah, bagaimana jika keputusan tersebut memang perempuan ambil saat mereka merasa berani. Status sosial yang memadai membuat mereka berani mengambil keputusan yang mungkin saja sudah sejak lama ingin mereka realisasikan tapi tidak menemukan solusi dan waktu yang tepat. Sehingga, kasus guru beramai-ramai gugat cerai suami merupakan kasus yang sudah terbaca sejak lama.
Ketidaksetaraan Peran dalam Rumah Tangga
Peran istri yang bergantung pada suami sudah tidak lagi relevan. Pada kasus ini, sebelum menjadi guru PPPK, tentunya para istri sudah menjadi guru honorer, yang berbeda dengan PPPK, nominal gajinya tak seberapa.
Ini berarti, para istri telah mengambil peran sebagai pencari nafkah kedua dalam rumah tangga. Yang artinya, peran suami menjadi sejajar sebagai pemberi nafkah. Itu pun jika suami memiliki pekerjaan dan masih memberikan kewajiban nafkah pada istri dan anak dalam rumah tangga.
Dalam banyak kasus, ketika istri mengambil peran sebagai pekerja, para suami melupakan perannya sebagai pemberi nafkah, sehingga ikut bergantung pada penghasilan istri yang tidak seberapa dan tidak melakukan apa-apa.
Beban Ganda Perempuan
Beban ganda yang istri miliki juga menjadi faktor penting dalam kedudukan status sosial. Di mana para istri telah lelah bekerja seharian, sepulang ke rumah tak dapat dukungan mental berkat pembagian peran yang tidak adil dan timpang.
Selesai mengajar seharian, tentunya guru juga sangat lelah. Pulang ke rumah mendapatkan beban harus menyelesaikan urusan domestik rumah tangga dan mengurus anak tanpa adanya inisiatif bantuan dari suami. Padahal sejatinya, kepentingan rumah tangga dan mengurus anak bukan saja urusan istri, tapi merupakan kewajiban suami dan istri.
Bukan salah perempuan jika budaya patriarki merata di Indonesia. Merupakan sebuah kewajaran, jika para perempuan yang merasa mapan dan mandiri ingin lebih berdikari. Daripada harus tunduk pada budaya patriarki dalam rumah tangga yang tiada habisnya.
Relasi dalam Rumah Tangga
Arin Setyowati, Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya mengatakan, terdapat faktor struktural yang patut kita cermati dalam kemandirian finansial perempuan. Namun, perubahan finansial ini tak selalu diiringi dengan penyesuaian relasi dalam rumah tangga.
“Bukan soal istri yang lupa diri setelah mapan, tapi karena relasi rumah tangga gagal beradaptasi dengan perubahan ekonomi. Uang bukan biang konflik, melainkan katalis yang memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan dalam relasi.”
Sebagai publik, kita tidak seharusnya ikut serta menyalahkan perempuan. Dan dengan senang hati mengatakan mental perempuan mental matre dan hanya subjektif masalah keuangan semata. Banyak yang bisa menjadi akar permasalahan perceraian selain status sosial, salah satunya ialah ketidaksetaraan peran dan beban ganda bagi perempuan dalam rumah tangga. []