Mubadalah.id – Syariat adalah jalan atau cara manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. Syariat mirip dengan thariqah (tarekat). Tarekat juga merupakan cara atau jalan menuju Tuhan.
Syariat merupakan jalan Tuhan berdimensi eksoterik (lahiriyah), sementara thariqah berdimensi esoterik (batin). Kaum Muslimin menyebut syariat sebagai aturan atau hukum Tuhan.
Menurut al-Qur’an, para utusan Tuhan diberikan cara, jalan, atau aturan yang berbeda-beda untuk menghampiri Tuhan.
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya: “Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. al-Maa’idah (5): 48).
Ayat ini, menurut Ibnu Jarir at-Thabari, guru para ahli tafsir, menunjukkan bahwa syariat para nabi tidak selalu sama, tetapi berbeda-beda sesuai dengan konteks dan karakter kebudayaannya.
Ibnu Jarir at-Thabari mengutip ucapan Imam Qatadah as-Sadusi (w. 117 H), ahli tafsir generasi pasca sahabat, mengatakan bahwa ad-diinu wahid wasy syarii’ah mukhtalifah (agama adalah satu, tetapi syariat berbeda-beda).
Syariat para nabi dan utusan Tuhan berbeda-beda, tetapi sama dalam keimanan, kepercayaan, dan keyakinannya kepada Tuhan yang Maha Esa.
Hal-hal lain yang sama dengan keimanan adalah prinsip-prinsip yang ada dalam semua agama Tuhan atau yang disebut sebagai ma’lum minad diin bidh dharurah.
Seperti kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya membunuh, berzina, merampok, dan lain-lain yang merupakan kejahatan kemanusiaan. Seluruh agama meyakini semua prinsip ini.
Muhammad al-Madani mengatakan bahwa dalam bidang akidah, Syari’ (Allah Swt dan rasul-Nya) menyampaikannya dalam bentuk kalimat berita.
Syari’ adalah mukhbir (pembawa atau penyampai berita). Syari’ menyampaikan segala sesuatu menurut apa adanya, apa yang sesungguhnya, misalnya bahwa Allah Swt adalah Maha Esa. []