Mubadalah.id – Di Banjarmasin, ada perempuan ulama terkenal bernama Fatimah. Orang-orang menyebutnya Syekhah Fatimah.
Ia adalah cucu ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari anak perempuannya bernama Syarifah dan Syekh Abdul Wahab Bugis (sahabat Syekh Muhammad Arsyad).
Syekhah Fatimah kita kenal dengan karyanya yang populer, Kitab Perukunan. Meskipun dalam kitab tersebut, nama pengarangnya tertulis Syekh Jamaluddin. Kitab ini menjadi rujukan utama masyarakat Banjar dalam masalah-masalah ibadah.
Hari ini kita semua sangat membutuhkan lahirnya para ulama perempuan dengan seluruh makna keulamaannya.
Kehadiran perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki dalam segala akses kehidupan di ruang domestik maupun publik, bukan dalam rangka untuk melawan laki-laki. Sama sekali tidak.
Mereka bersama kaum laki-laki untuk membangun keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara demi terwujudnya cita-cita bersama: keadilan, kemajuan, kesejahteraan, dan kebahagiaan.
Mereka dibutuhkan untuk memberi makna-makna baru atas kehidupan yang berkemanusiaan. Bangunan relasi antara laki-laki dan perempuan ialah bangunan relasi kesalingan, resiprokal, tabadul, sebagaimana diajarkan teks-teks suci al-Qur’an.
Abu Bakar ar-Razi (w. 865 M), salah seorang dokter dan pemikir besar Islam pada abad pertengahan, menyatakan,
“Tujuan tertinggi untuk apa kita kita ciptakan dan ke mana kita di arahkan bukanlah kegembiraan atas kesenangan-kesenangan fisik, melainkan pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan.”
Al-Qur’an berkali-kali menyerukan manusia di mana saja dan kapan saja untuk berbuat, bertindak, dan memutuskan segala urusan kehidupan secara adil. Keadilan bermakna proporsionalitas. Siapa yang memiliki kapasitas dan kualitas memimpin, ia lah yang berhak memimpin.
Keadilan adalah kebajikan tertinggi. Apabila kehidupan kita hari ini masih belum sudi melihat secara jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, dan jika kita masih terus mengabaikan.
Bahkan mengingkari fakta bahwa sebagian perempuan lebih unggul daripada sebagian laki-laki, secara intelektual maupun spiritual. Maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan. []