• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tafsir Gender Nasr Hamid Abu Zayd

Abu Zayd terkenal karena tafsir humanistiknya, yang menantang pandangan umum tentang al-Qur'an, sehingga memicu kontroversi dan perdebatan

Fadlan Fadlan
24/12/2024
in Figur
0
Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd

1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir Muslim berdarah Mesir, penulis dan salah satu teolog liberal terkemuka dalam sejarah pemikiran Islam. Abu Zayd yang terkenal dengan gagasan-gagasan liberalnya ini lahir di Quhafa, Provinsi Tanta, Mesir, pada 10 Juli 1943. Sejak usia 8 tahun, Abu Zayd telah menghafalkan 30 juz al-Qur’an.

Dia menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Kairo, mulai dari S1 sampai dengan S3. Selain itu, dia juga pernah mendapatkan beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Midlle Eastern Studies of Pensylivania Philadelphia, Amerika Serikat.

Abu Zayd terkenal karena tafsir humanistiknya. Dia menantang pandangan umum tentang al-Qur’an, yang memicu banyak kontroversi dan perdebatan. Akibat gagasannya itu, dia menuai banyak kebencian. Bahkan jabatan profesornya pun tertolak oleh Universitas Kairo.

Karena merasa dia tidak lagi masyarakat Mesir terima, Abu Zayd pun terpaksa meninggalkan Mesir. Dia pergi ke Belanda, negara yang nantinya membesarkan namanya di dunia intelektual. Namun begitu, dia kemudian diam-diam kembali ke Mesir di mana dia akhirnya menutup usianya.

Membaca Status Perempuan dalam al-Qur’an

Untuk menilai pendekatan interpretatif Abu Zayd, ada baiknya kita menganalisis bagaimana ia menerapkannya pada pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang al-Qur’an katakan tentang status perempuan.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Abu Zayd menegaskan bahwa untuk memahami posisi al-Qur’an kita perlu mempertimbangkan “status perempuan dan posisi mereka dalam masyarakat sebelum Islam. Bukan hanya membandingkan antara wacana al-Qur’an dan angan-angan kita tentang status perempuan.” Dia menganggap bahwa wacana al-Qur’an mengenai status perempuan muncul dalam lingkungan yang benar-benar patriarki.

Abu Zayd mengklaim bahwa wahyu Tuhan beradaptasi dengan cakrawala budaya dan pemahaman penerima wahyu. Dalam hal ini masyarakat Arab abad ke-7. Inilah yang menyebabkan wacana patriarki secara tidak langsung menyusup ke dalam wahyu Tuhan. Misalnya tentang masalah poligami.

Tentang Poligami

Abu Zayd menegaskan bahwa poligami, “adalah praktik yang populer dalam masyarakat sebelum Islam. Jadi merupakan kesalahan besar dan kesalahan akademis yang parah untuk menganggap poligami sebagai bagian dari wahyu Tuhan, [hanya] karena itu disebutkan oleh al-Qur’an.”

Selain itu, menurut Abu Zayd, secara sejarah poligami hanyalah solusi sementara untuk masalah sosial yang muncul setelah perang Uhud. Perang ini menyebabkan kesyahidan Muslim yang banyak dari mereka. Sementara sebagian dari mereka merupakan kepala keluarga—suami dan ayah. Kematian banyak Muslim tersebut mengakibatkan naiknya jumlah anak anak yatim dan janda. Inilah alasan mengapa al-Qur’an mengizinkan umat Islam saat itu untuk mempraktikkan poligami. Abu Zayd menulis:

“Ayat al-Qur’an yang dianggap menetapkan poligami pada dasarnya membahas masalah anak yatim, yang membutuhkan perlindungan dan hak asuh setelah kehilangan orang tua mereka dalam perang Uhud (3 H/625 M). Ketika umat Islam kalah telak dan 10% dari pasukannya terbunuh, meninggalkan anak-anak mereka. Konteks sejarah, serta konteks tekstual, mengungkapkan bahwa izin yang al-Qur’an berikan adalah menikahi ibu (janda) anak yatim atau anak perempuan yatim. Jika khawatir tidak dapat memberikan perlindungan dengan baik, terutama jika salah satu dari mereka mewarisi sejumlah harta.”

Abu Zayd menekankan bahwa al-Qur’an tidak menentang poligami dan tidak pula menjadikan poligami sebagai hukum. Melainkan, poligami hanyalah solusi praktis dari al-Qur’an untuk masalah historis saat itu, yakni masalah anak yatim. Oleh karena itu, seorang penafsir harus menafsirkan kembali hukum-hukum al-Qur’an tentang poligami dalam konteks saat ini.

“Dalam konteks sosial saat ini”, Abu Zayd menegaskan, “poligami merupakan penghinaan terhadap perempuan dan anak-anak yang lahir dalam keluarga.” Maka dari itu, kita harus menganggap poligami sebagai sesuatu yang terlarang untuk kita praktikkan dalam konteks saat ini.

Makna Qawwamūn

Abu Zayd menambahkan bahwa dalam konteks historis kemunculan al-Qur’an, laki-laki anggapannya sebagai “qawwamūn”. Secara harfiah kita terjemahkan sebagai wali bagi perempuan, karena laki-laki adalah penjamin utama pendapatan keluarga.

Allah menganggap sebagian orang lebih unggul tergantung pada posisi sosial-ekonomi dan kontribusi finansial mereka terhadap rumah tangga. Oleh karena itu, gagasan bahwa laki-laki adalah “qawwamūn” bagi perempuan (tersebutkan dalam An-Nisa’ ayat 34) tidak boleh kita pahami di luar konteks kemunculan al-Qur’an itu sendiri.

Abu Zayd berpendapat bahwa penggunaan kata ganti dalam surat An-Nisa’ ayat 34—قَوَّامُوْنَ —dapat merujuk kepada laki-laki maupun perempuan. Ayat tersebut—dan ayat-ayat berkaitan—tidak selalu merujuk pada superioritas inheren satu jenis kelamin atas yang lain. Tetapi lebih berdasarkan pada kualitas tertentu yang dapat kedua jenis kelamin miliki dalam konteks sosial-ekonomi yang berbeda.

Untuk memahami ayat tersebut dalam konteks saat ini, kita perlu beranjak dari apa yang ayat tersebut maksudkan bagi penerima wahyu langsung (atau apa yang Abu Zayd identifikasi sebagai ‘makna’ ayat tersebut). Ini membuka kemungkinan interpretasi baru bagi Abu Zayd bahwa “dalam struktur sosial kita hari ini, perempuan dapat dianggap sebagai qawwamūn.”

Masalah Warisan

Abu Zayd berpendapat bahwa metodologi serupa juga harus kita terapkan dalam kaitannya dengan masalah warisan. Baginya, meskipun al-Qur’an menetapkan bahwa perempuan harus menerima setengah bagian warisan daripada laki-laki. Tetapi jangan lupa bahwa hal ini diwahyukan pada saat perempuan sama sekali tidak memiliki hak waris.

Norma budaya masyarakat Arab pra-Islam tidak mengizinkan perempuan untuk menerima warisan, karena warisan adalah milik anak laki-laki tertua. Tetapi karena perempuan sekarang dianggap setara dengan laki-laki, mereka juga harus memiliki hak waris yang sama.

Olehnya, bagi Abu Zayd, rahasia di balik ayat al-Qur’an tentang warisan adalah terdapat wacana progresif yang ingin al-Qur’an capai secara perlahan. Al-Qur’an bergerak menuju peningkatan status perempuan dalam konteks budaya masyarakat Arab abad ke-7 yang sama sekali tidak memberikan jaminan hak apapun terhadap perempuan.

Kesimpulan

Kesimpulan yang Abu Zayd buat tentang isu-isu perempuan adalah bahwa posisi perempuan dapat “ditafsirkan ulang sesuai dengan apa yang terungkapkan melalui signifikansi historis dan kontekstualnya untuk mengungkap implikasinya dan, oleh karena itu, untuk membina prinsip dasar kesetaraan.”

Posisi perempuan yang terungkap dalam al-Qur’an, secara umum, relatif dan secara historis progresif. Kesalahpahaman beberapa konsep al-Qur’an yang berhubungan dengan status perempuan disebabkan oleh de-kontekstualisasi ayat-ayat perempuan yang dilakukan oleh para penafsir laki-laki.

Abu Zayd mengatakan bahwa “jika kita menyadari hal tersebut, kita berada dalam posisi yang lebih baik untuk menyatakan bahwa… kesetaraan dalam pernikahan adalah hal yang mungkin.”

Abu Zayd menyimpulkan bahwa jika para penafsir mampu memahami al-Qur’an melampaui makna literal ayat-ayatnya yang membahas hak-hak perempuan dan makna yang dipahami oleh penerima wahyu pertama (masyarakat Arab abad ke-7). Kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut dalam konteks sosial-historis, mereka akan mencapai pemahaman yang baik tentang kesetaraan gender. []

Tags: islamNasr Hamid Abu ZaydPemikiran FilsafatsejarahTafsir Gender
Fadlan

Fadlan

Penulis lepas dan tutor Bahasa Inggris-Bahasa Spanyol

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Rasuna Said

Meneladani Rasuna Said di Tengah Krisis Makna Pendidikan

5 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version