Tulisan ini berawal dari keraguan saya terhadap salah satu pernyataan bahwa talak termasuk anugrah Tuhan terhadap laki-laki. Sehingga ketika sebuah pernikahan tidak bisa lagi dipertahankan maka suami bisa menceraikan istrinya dengan ucapan “talak”, baik itu secara jelas ataupun samar.
Selain itu, masyarakat sering memahami kalau talak hak mutlak seorang suami seperti banyak terjadi di salah satu desa di Garut. Di sana saya melihat beberapa perempuan yang ditalak suaminya karena hal-hal yang sebenarnya bisa dibicarakan dengan baik-baik. Misalnya, setelah menikah sang istri tidak mahir dalam mengerjakan urusan domestik, atau menolak untuk melakukan hubungan badan dan hal lainnya. Dengan pikiran kalau talak hak mutlak suami, laki-laki dengan mudah menganggap pernikahan tidak layak untuk dipertahankan.
Tetapi sebaliknya, jika seorang istri merasa tidak nyaman dengan sikap, prilaku suami dan pernikahan yang tengah dijalaninya, ia tidak berhak bahkan dianggap tidak wajar untuk menuntut cerai.
Padahal dalam hal ini ada ulama yang berpendapat bahwa pendapat kalau talak hak mutlak suami itu tidak tepat. Urusan talak harus dikembalikan kepada qadhi (hakim) dan suami tidak bisa menjatuhkan talak semaunya seperti yang banyak terjadi pada saat ini.
Senada dengan itu, KH Husein Muhammad juga sependapat dengan pandangan ulama tersebut. Adanya keabsahan cerai dengan melalui proses di pengadilan merupakan salah satu cara agar perempuan mendapatkan hak-haknya untuk melakukan pembelaan diri.
Sebab ketika suami menjatuhkan talak kapan saja yang dia mau dan dalam keadaan apapun, itu akan memberikan ancaman tersendiri bagi perempuan. Seperti stigma negatif dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya.
Bahkan seringkali karena perempuan selalu dianggap pihak yang bersalah dalam kasus perceraian, ia tidak berhak mendapatkan hak asuh anaknya.
Wahai para netizen, kalian bisa bayangkan bagaimana rasa sakitnya diperlakukan seperti itu kan? Sakit. Iya pasti sakit.
Seperti kasus yang terjadi pada tetangga saya yang menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Alhasil dalam pernikahannya sering sekali terjadi pertengkaran bahkan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya.
Selama bertahun-bertahun ia mencoba bertahan karena alasan kasihan pada kedua anaknya. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk minta cerai dan pulang ke rumah orangtuanya.
Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya yang bukan hanya sering berkata kasar, memukul dan mengejek penampilannya, tetapi juga menuduh istrinya selingkuh dengan laki-laki lain.
Lalu bebaskah perempuan tersebut? Jelas tidak, setelah dia berusaha memberanikan diri untuk meminta cerai, ia juga harus menerima anggapan negatif dari tetangga dan keluarganya karena dianggap tidak bisa menjaga kerukunan keluarga.
Astagfirulloh, menurut saya itu cara pandang yang salah. Mengingat penyebab perceraian berdasarkan data Badan Peradilan Agama adalah adanya praktik poligami yang tidak sehat, krisis akhlak, faktor ekonomi, ketiadaan sikap bertanggung jawab, kurangnya keharmonisan, alasan politis, kekejaman jasmani dan mental, gangguang pihak ketiga, pernikahan di bawah umur, pelangsungan kawin paksa, kondisi cacat biologis dan adanya kecemburuan.
Jadi, jelas perceraian terjadi bukan karena istri tidak mampu melayani suami dengan baik dan menjaga kerukunan rumah tangganya. Karena soal tanggung jawab rumah tangga adalah kewajiban bersama.
Saya setuju dengan pendapatnya Buya Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan. Bahwa dalam urusan rumah tangga ada yang disebut dengan mu’asyarah dalam relasi seksual juga relasi kemanusiaan.
Dengan cara memperlakukan pasangan dengan baik akan menciptakan sikap saling menghargai dan menghormati. Bukan saling menyakiti apalagi sampai memutuskan hubungan pernikahan dengan alasan talak hak mutlak suami.
Maka suami ataupun istri harus saling mengerti, memahami dan saling menerima keadaan satu sama lain. karena Islam mengajarkan pernikahan sebagai ikatan yang memiliki tujuan mulia yaitu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tujuan tersebut tidak akan tercapai jika tidak ada kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berumah tangga.[]