Mubadalah.id – Beberapa pekan di awal tahun ini, kita disibukkan dengan vaksinasi. Diluar segala bentuk kesibukan vaksinasi tesebut, ada hal yang menjadi sorotan publik hingga menjadi bahan pembicaraan yang tidak kalah ramainya dan menjadi headline dimana-mana. Peristiwa tangan gemetar dr. Abdul Muthalib.
Peristiwa tangan gemetar pernah saya alami. Detail kejadian itu masih sangat jelas dan akan selalu melekat dalam memori otak saya. Kala itu saya dan teman-teman melaksanakan latihan ujian praktik kesenian tingkat sekolah dasar. Kami diminta guru kesenian maju ke depan kelas satu per satu untuk menyanyikan salah satu lagu nasional dengan membawa lembar teks lagu tersebut.
Saat tiba giliran maju ke depan, saya mulai mengangkat teks sekira jarak satu jengkal tangan dari pengelihatan saya dan mulai menarik nafas sebagai ancang-ancang mengeluarkan suara. Alangkah terkejut ketika mendengar suara saya bergetar.
Sejurus kemudian, dengan tanpa bisa saya kendalikan, tangan bergetar cukup keras. Saya mencoba menggenggam erat lembar teks lagu tersebut berharap getaran tangan mereda, namun lembar teks lagu tersebut justru semakin bergetar kuat.
Hari itu menjadi hari menyedihkan bagi saya. Teman-teman memandang saya dengan pandangan yang tak lagi biasa. Beberapa dari mereka menjadikan itu sebagai olok-olokan sepanjang masa. Bahkan hingga sekarang, masih saja ada yang mempertanyakan mengapa peristiwa tangan bergetar itu bisa terjadi.
Mungkin kasus dr. Abdul Muthalib dan saya berbeda. Jika melihat track record, banyak yang menyimpulkan bahwa tangan gemetar bukan karena minimnya pengalaman namun lebih kepada yang dihadapi adalah orang nomor satu di Indonesia.
Hal ini juga disampaikan pada media secara langsung oleh dr. Abdul Muthalib sesaat setelah proses vaksinasi. Mengutip dari arikel m.liputan6.com, dr. Abdul Muthalib menyampaikan, “Beliau (Pak Presiden) orang pertama Indonesia (yang divaksin), ada rasa (gemetar) juga tapi itu tidak menjadi halangan”. Sedangkan pada kasus yang saya alami, ini murni tentang minimnya pengalaman dan kemampuan manajemen diri yang buruk.
Semenjak kejadian tangan gemetar saat sekolah dasar tersebut, saya memvonis itu sebagai salah satu kekurangan saya. Vonis tesebut semakin menjadi-menjadi saat saya menyadari bahwa kekurangan tersebut bersifat genetis yang saya dapatkan dari bapak.
Ketika beranjak dewasa, hari-hari saya lalui dengan kekhawatiran tangan gemetar. Saya begitu mengafirmasi vonis-vonis ini dengan kuat dalam alam bawah sadar saya. Pikiran terasa dihantui bayang-bayang kejadian tidak menyenangkan masa kecil itu. Alhasil, saat harus tampil dihadapan khalayak dan menjadi sorotan, pengalaman buruk masa kecil tersebut seringkali terulang.
Selama ini, kekurangan dipandang sebagai sesuatu hal yang buruk. Kekurangan didefinisikan dengan “tidak mempunyai (sesuatu yang diperlukan)”. Hal ini menyebabkan seseorang merasa terpuruk. Sebagaimana tangan gemetar yang pernah saya alami.
Secara umum, seseorang yang pernah mengalami kejadian menyedihkan, seperti tangan gemetar, yang membuat dirinya terpuruk, akan melalui lima fase dalam dirinya. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Elisabeth Kubler Ross. Mengutip dari artikel Tirto.id berjudul “Mengenal Lima Tahapan dalam Kesedihan, dari Marah hingga Depresi”, lima tahapan tersebut adalah penolakan diri (self denial), marah (anger), penawaran (bergaining), depresi (depression) dan penerimaan diri (self acceptance).
Pada muaranya, kunci utama dari penyelesaian akan hal-hal buruk yang pernah menimpa adalah penerimaan diri. Salah satu langkah penerimaan diri adalah menerima kekurangan atau hal buruk yang pernah terjadi sebagai sesuatu yang nyata, ada dalam diri kita. Langkah selanjutnya adalah move on dari kekurangan atau hal buruk tersebut dengan memperbaiki diri.
Dua langkah tersebut saya dapatkan dari salah satu channel youtub “Frame & Sentences”. Dalam konten yang berjudul “How to Move on History”, pemilik akun yang mengangkat isu-isu politik, sejarah dan hukum dengan ringan ini mengajak kita menyelam kedalam pengalaman kolektif bangsa Jeman. Bagaimana kekejaman Adolf Hitler meninggalkan pengalaman kolektif buruk dalam ingatan bangsa Jerman dan sayatan tajam yang melukai bangsa seluruh dunia. Alangkah tidak termaafkan kekejaman tersebut di mata dunia.
Namun apa yang dilakukan bangsa Jeman? Mereka tidak pernah sekalipun menolak fakta sejarah tersebut. Mereka menerima hal buruk yang ditinggalkan masa lalu. Sebagai bentuk menolak lupa dan penerimaan terhadap peristiwa buruk tersebut, bangsa Jerman membangun Monumen Holocaust yang didedikasikan untuk para korban pembantaian oleh tentara Nazi Jerman. Dengan cara penerimaan seperti inilah, bangsa Jerman bangkit dan mulai menata hidup.
Dari cerita tersebut, kita dapat gambarkan bahwa orang-orang dengan pengalaman buruk atau kekurangan yang ada dalam dirinya masing-masing, seperti tangan gemetar, sangat perlu berdamai dengan dirinya sendiri. Menyadari bahwa dirinya memiliki kekurangan dan berhenti menyalahkan kekurangan itu. Letakkan segala sesuatunya. Bahwa tidak peduli kekurangan itu ada dari dalam diri atau dari luar diri, fokuskan diri pada perbaikan ke depan. []