Memangnya sejak kapan ada aturan wali Allah harus dari kalangan laki-laki?
Mubadalah.id – Pertanyaan itu sekilas melintas di benak saya, tatkala membaca komentar netizen Facebook atas esai saya berjudul Empat Wali Perempuan di Gorontalo yang dimuat di Iqra ID. Pasalnya, beberapa komentar agak mengolok-olok. Ada yang mengatakan, kalau “perempuan” mungkin yang dimaksud adalah wali kelas. Seakan dia tidak yakin atau malah tidak terima jika ada perempuan wali.
Esai saya yang mengangkat sosok empat perempuan–Putri Eiko, Putri Keyia, Putri Udo, dan Putri Sahara–sebagai perempuan wali memang agak mengejutkan sebagian kalangan. Bahkan, ada yang sampai mengatakan tulisan tersebut mendegradasi (memerosotkan) budaya Gorontalo. Respon yang amat disayangkan, sebab jika memang terdapat ruang bagi perempuan dalam tradisi kewalian (dan keulamaan) Gorontalo, itu bukan degradasi budaya, melainkan bukti adanya keadilan relasi dalam struktur sosial keagamaan Gorontalo.
Alih-alih dijadikan gerbang awal diskursus perempuan dalam pentas kewalian/keulamaan, sebagian kalangan malah menjadikannya sebagai bahan olok-olokan.
Saya tidak menanggapi komentar para netizen tersebut, sebab saya paham bahwa bagi sebagian kalangan narasi perempuan wali terasa masih asing bahkan tabu, layaknya narasi perempuan ulama maupun ulama perempuan. Namun, hal itu bukan berarti membenarkan kalau tidak adanya ruang bagi perempuan dalam tradisi kewalian/keulamaan Nusantara.
Dalam sejarah Islam dunia, banyak sosok perempuan wali yang bisa ditemukan. Misalnya, Kurdiyah binti ‘Amr, perempuan dari Basrah yang menjadi wali dengan jalan mendapat hikmah hidup saat menjadi pelayan perempuan wali bernama Sya’wanah al-Ubullah. Atau, contoh lain yang paling terkenal adalah Rabiah al-Adawiyah. Hal demikian juga berlaku dalam sejarah Islam Nusantara.
Dan beruntung dengan adanya gerakan semisal KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), Ulama Perempuan Center, dan berbagai media, seperti Mubadalah ID, yang turut mengangkat tema-tema seputar perempuan dalam ruang keulamaan, sehingga narasi-narasi perempuan ulama menjadi makin akrab di telinga. Dan, semakin banyak sosok perempuan dengan kapasitas keulamaan dan bahkan dikeramatkan yang semakin dikenal.
Peradaban Islam Nusantara sejatinya tidak memarjinalkan ruang perempuan. Banyak perempuan wali (perempuan ulama yang dikeramatkan) dalam sejarah Nusantara, tidak hanya empat perempuan yang disebutkan dalam tulisan saya, melainkan juga masih ada banyak lagi. Namun, nama-nama mereka kian buram dalam panggung sejarah.
Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Setidaknya ada dua sebab (ini juga sekaligus menjadi tantangan) yang dapat menyebabkan sosok-sosok perempuan namanya kian buram dalam sejarah. Yaitu, paradigma yang keliru terhadap ruang perempuan dan cara pandang terhadap metodologi penulisan sejarah yang kurang ramah terhadap tokoh-tokoh pinggiran (tidak tertulis dalam teks sejarah).
Tabayyun Pasinringi dalam esainya di Magdalene berjudul Buku Sejarah Melenyapkan Perempuan dalam Islam menjelaskan bahwa, “Narasi sejarah sangat bergantung pada cara penulis yang mendeskripsikannya. Karenanya, perspektif penulis sejarah, umumnya laki-laki dan lekat dengan nilai-nilai patriarki, juga ikut memengaruhi cara perempuan tersebut ditulis.”
Perempuan seakan hanya dikonstruksi sebagai the second sex, pelengkap rasa semata. Paradigma keliru tentang perempuan, yang menurut Desma Yulia dalam artikelnya Perspektif Gender dalam Historiografi Indonesia, sebagai sangat menghambat kemajuan penulisan sejarah perempuan, sebab “…anggapan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah perempuan adalah persoalan-persoalan domestic. Sementara urusan keilmuan dianggap berhubungan dengan dunia public yang (sering disalah kaprahkan) identik dengan dunia pria.”
Sebagian orang masih berpikir kalau dunia perempuan seakan dibatasi dengan dinding dapur. Sementara, ruang keulamaan, lebih-lebih kewalian, itu tempat yang pantas hanya untuk kaum laki-laki. Sehingga, alih-alih mengangkat sosok perempuan sebagai ulama atau wali, memikirkan saja sudah terasa sebagai tabu. Corak pikir patriarkis demikian, jika sampai menghiasi kepala sejarawan, maka hal itu amat disayangkan. Sebab, dapat menghalangi upaya mengangkat sosok-sosok perempuan dalam panggung sejarah.
Challenge lainnya dalam mengangkat sosok perempuan adalah cara memandang metodologi penulisan sejarah. Menurut Luh Putu Sendrawati dalam artikelnya Pemetaan Tema-tema Sejarah Androgynous dalam Sejarah Indonesia bahwa, “Ketersediaan fakta sejarah yang terbatas membuat penulisan sejarah sangat tergantung dari ada tidaknya jejak sejarah yang ditinggalkannya. Fakta sejarah yang tersedia selama ini didominasi oleh fakta berupa aktivitas pria. Ini lah yang menjadi faktor utama mengapa penulisan sejarah hanya mengedepankan fakta tentang pengalaman pria.”
Data terkait sosok perempuan hebat yang “terpinggirkan” dalam sejarah banyak didapatkan dari sumber lisan. Itu pun semakin sedikit orang-orang tua yang mengetahui cerita mereka. Kondisi ini makin diperparah dengan paradigma “sebagian” sejarawan yang memutlakkan dokumen sebagai sumber sejarah. Banyak yang menikmati nostalgia menelusuri tokoh-tokoh yang nama mereka memang mudah ditemukan dalam sumber tertulis.
Nadya Karima Melati dalam bukunya Membicarakan Feminisme menjelaskan, “Sejarah lisan dipandang sebagai alternatif yang potensi distorsinya tinggi. Padahal, dokumen yang dianggap netral tanpa distorsi membuat sejarah tidak ramah pada orang-orang pinggiran karena dokumen hanya merangkum pusat kekuasaan pelaku administrasi.
Barang tentu pelaku administrasi dan pelaku sejarah harus dilihat dengan analisis gender: mereka semua adalah lelaki…. Pemujaan terhadap dokumen sebagai sumber primer meminggirkan perempuan yang berada di pinggiran kekuasaan sehingga sejarah perempuan tidak tertuliskan, kecuali perempuan-perempuan yang berada di lingkaran kekuasaan.”
Kritik pemutlakkan dokumen sebagai sumber sejarah juga datang dari Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, bahwa dokumen cenderung hanya memuat kejadian penting menurut kepentingan pembuatnya. Hal ini sudah barang tentu kian memburamkan eksistensi tokoh-tokoh perempuan yang memang sangat jarang terdapat dalam sumber tertulis, dan hanya banyak didengar dari tutur para orang tua.
Maka dari itu, penulisan sejarah “pinggiran” harus coba keluar dari paradigma dokumen sebagai sumber mutlak. Kekurangan sumber tertulis dapat ditutupi dengan adanya sumber lisan. Dan, sumber lisan tidak serta merta kalah otentik dibanding sumber tulisan. Bahkan, sebagaimana Dudung Abdurrahman dalam bukunya Metodologi Penelitian Sejarah Islam, kalau dalam kondisi tertentu sumber lisan bisa jadi lebih otentik dibanding sumber tulisan. Semisal, di mana, sumber lisan yang sudah ahli atau pelaku tradisi dapat memberikan informasinya dengan baik.
Pada dasarnya, upaya untuk mengangkat sosok-sosok perempuan dalam panggung sejarah Nusantara harus terus digiatkan. Meski dalam keterbatasan sumber lisan, namun hal itu menjadi ikhtiar penting, untuk mengabadikan sosok-sosok perempuan. Sebab, kita harus sadar bahwa sejarah bukan hanya tentang kaum lelaki. Banyak perempuan yang juga pantas ditulis, tapi sayangnya nama mereka kian buram dalam pentas sejarah Nusantara. []