Mubadalah.id – Ibu saya kerap memutar radio gelombang tertentu di pagi dan sore hari. Beliau sangat senang mendengar tausiah yang diputar tiap menjelang magrib, banyolan ustad bintang tamu talkshow tersebut kadang membuat suasana belajar lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Sesekali ibu saya ikut tertawa, namun kadang juga ia diam dan berwajah masam meski humor seksis terus disiarkan.
Ibu, sama sekali tidak memahami konsep mubadalah atau kesetaraan. Namun baginya, mendengar tausiah yang humor seksis tentang bagaimana perempuan di atas ranjang, sangat membuat ia tidak nyaman. Saya yakin pembaca juga demikian. Tak jarang kita temui diskusi majelis ta’lim, tausiah di radio, atau pengajian masjid, gemar menyelipkan humor seksis yang menyudutkan perempuan.
“Istri harus melayani Suami, kalau janda ya jangan melayani suami orang,” komentar narasumber itu berkelakar. “…memang Ibu masih kumpul sama suami?” lanjutnya bertanya. Labeling janda sebagai seseorang yang berbahaya, ditambah dengan pertanyaan yang bersifat pribadi adalah kartu merah bagi para pendakwah. Nyatanya komentar atau humor seksis memang rajin muncul, dan terus dibudayakan. Hal ini tentu karena dominasi patriarki pada struktur agama Islam sangat kuat.
Manusia dengan otak patriarki cenderung menganggap perempuan sebagai makhluk nomor sekian, maka dari itu perempuan takkan marah dan tak harusnya melawan jika direndahkan, atau jadi bahan ejekan. Pendakwah patriarki bukan hanya menjangkit laki-laki, perempuan juga bisa menjadi agen penerus. Miris, jika mengingat Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin, harus ternodai oleh manusia-manusia patriarkis di dalamnya.
Karena penasaran dengan fenomena ini, saya sempat melakukan survey kecil pada media sosial pribadi tentang pernahkah kawan online saya mengalami hal serupa? dari 12 voters, 92% diantaranya pernah mendengar humor seksis di pengajian. 8% lainnya mengaku belum pernah mendengar. Sungguh statistik yang timpang. Meski angka ini tak mewakili jumlah penduduk di indonesia, namun yang bisa saya simpulkan humor seksis pada tausiah tidak sedikit jumlahnya.
Saya lalu mengkonfirmasi pernyataan salah satu voters tentang dimana ia mendengar humor tersebut dan bagaimana responnya terhadap hal tersebut. Dina (bukan nama asli) sempat mendengar candaan itu ketika ia mengikuti ceramah bulan puasa tahun lalu. Bagi Dina membicarakan seks dan perilaku perempuan terhadapnya sebagai bahan candaan sungguh tidak menyenangkan. Humor seksis itu secara langsung mengubah perempuan sebagai objek, alat pemuas bagi laki-laki (suami).
Sebagai perempuan, tentu ia sangat geram, dan sebagai muslimah hal ini tak mampu ia lupakan. Ada yang salah dalam Islam sebagai komunitas agama. Subordinasi perempuan yang harusnya menjadi fokus penyelesaian masalah justru menjadi euforia, atau sekedar pencair suasana.
Berbeda dengan Sinta (bukan nama asli), teman sejawat yang langsung menceritakan pengalamannya saat melihat polling saya ini, terlihat menggebu-gebu. Tensinya masih meninggi ketika ia mulai bercerita soal candaan seksis yang tiba-tiba keluar dari tokoh agama favoritnya. Ia mengaku terkejut saat mendengar guyonan bagaimana perempuan dibingkai layaknya barang murah, dan mudah untuk digapai.
Humor seksis selalu mengantarkan persepsi kita pada betapa perempuan bukanlah manusia yang mempunyai pikiran, perasaan, dan nilai sebagai manusia. Tak ada unsur jenaka dalam becandaan seksis. Selain itu, banyaknya humor yang terus beredar menunjukkan bahwa PR Islam sebagai komunitas untuk mewujudkan nilai agama yang rahmatan lil alamin, masih jauh dan perlu segera diraih.
Perempuan memiliki hak untuk mengutarakan pendapat dan pikiran. Jika pembaca kebetulan terlahir perempuan dalam hirarki kelompok Islam patriarki, jangan takut untuk bersuara. Protes, kritik, beri saran, pada setiap oknum yang masih melanggengkan budaya tersebut. Pemikiran seorang muslim sangat dibutuhkan, karena islam bukan tentang laki-laki saja. dan sebagai sebuah agama Ia kerap mengajarkan kita untuk saling menghargai dan mengasihi sesama umat manusia.
Lalu sebagai bagian dari kelompok, bisakah kita hentikan kebiasaan buruk ini? siapkah kita tinggalkan budaya tak sehat yang menyakiti dan menyudutkan perempuan? Mampukah kita adil sejak dalam pikiran? Tentu bisa, dimulai dari diri kita sendiri, dan orang-orang disekitar kita. Bangun lingkungan yang aman bagi perempuan dan laki-laki. Kita dorong para pendakwah agar menyampaikan tausiah yang bebas dari humor seksis. Saya yakin, menonton kartun lebih bisa menghibur daripada mendengarkan ceramah yang tidak bermutu. []