Mubadalah.id – Secara bahasa, Islam adalah perdamaian. Jadi, seharusnya, norma Islam cukup terang benderang adalah mewujudkan perdamaian. Bukan sebaliknya. Misi Nabi Saw, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an, juga kasih sayang untuk semesta alam (QS. Al-Anbiya, 21: 107). Ayat sejenis ini juga banyak sekali. Artinya, ini sudah cukup untuk menegaskan bahwa Nabi melarang menyakiti warga non-Muslim. Tidak melulu Muslim belaka.
Beberapa teks hadits yang memuat ajaran umum juga bisa menjadi landasan larangan menyakiti non-muslim ini. Sebutlah misalnya pernyataan Nabi Saw bahwa menyakiti diri atau orang lain adalah haram dalam Islam (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 2430). Ketika ada seseorang yang bertanya: “Apakah misi utama kerasulan?, Nabi Saw juga menjawab: “Menyambung persaudaraan, membuat aman dan damai perjalanan, memelihara kehidupan, dan memberantas kemusyrikan” (Musnad Ahmad, no. hadits: 17290).
Misi Kerasulan Nabi
Pernyataan Nabi Saw dalam Musnad Ahmad ini cukup benderang. Bahwa, memang, misi kerasulan Nabi Muhammad Saw adalah menguatkan relasi persaudaraan, mewujudkan segala upaya perdamaian, dan membangun kehidupan. Di samping, mengenai ketauhidan kepada Allah Swt. Dalam ungkapan lain, segala bentuk perilaku buruk dan menyakiti siapapun, secara prinsip, adalah bukan bagian dari ajaran Nabi Saw. Sehingga, teks hadits ini bisa menjadi landasan bahwa Nabi Saw melarang menyakiti warga non-muslim.
Namun, seringkali nalar kita lebih sering terbawa emosi dan terpengaruh otak reptelian, yang mudah membenci dan berhasrat menyakiti. Di antara kita, seringkali, mudah membuat dalih untuk menyakiti orang lain, dengan alasan sesat, kafir, atau non-muslim. Padahal, dengan siapapun, kita masih terikat dengan norma-norma prinsip Islam di atas: berbuat baik dan tidak menyakiti. Kepada siapapun. Termasuk kepada warga yang non-muslim.
Karena otak reptilian ini, sebagian kita seringkali tidak puas dengan norma-norma umum dalam Islam. Banyak di antara kita yang bertanya dan mencari-cari adakah dalil yang secara khusus melarang menyakiti warga non-muslim. Untungnya ada dan cukup banyak teks hadits bahwa Nabi Saw melarang menyakiti warga non-muslim. Ada hadits dalam Sahih Bukhari, dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, dan yang lain.
Teks-teks hadits ini menggunakan istilah ahl adz-dzimmah (yang memiliki perlindungan) dan mu’ahad (yang memiliki perjanjian aman) bagi non-muslim yang hidup dan berelasi secara baik dengan umat Islam. Dalam istilah negara bangsa sekarang, mungkin lebih tepat dengan sebutan warga negara (muwathin), baik yang muslim maupun yang non-muslim. Kalangan Nahdlatuk Ulama (NU), untuk isu ini, mengenalkan istilah ukhuwwah wathoniyah (persaudaraan dalam satu bangsa) dan ukhuwwah insaniyah (persaudaraan sebagai satu manusia). Di samping ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan dalam satu Islam).
Nabi Melarang Menyakiti Non Muslim
Dalam sebuah hadits, misalnya, ada pernyataan Nabi Saw bahwa seseorang yang membunuh warga non-muslim, dia tidak akan mencium bau surga, apalagi memasukinya. Sahih Bukhari, dan beberapa kitab hadits lain, menggunakan istilah mu’ahad dalam teks ini (Sahih Bukhari, no. hadits: 3202; Sunan Abu Dawud, no. hadits: 2762; dan Sunan Ibn Majah, no. hadits: 2788). Riwayat lain, ada yang menggunakan istilah ahl adz-dzimmah (Sunan Nasa’i, no. hadis: 4766 dan Musnad Ahmad, no. hadits: 23598).
Apakah Nabi Saw hanya melarang membunuh saja dan membolehkan sesuatu yang lebih ringan? Tentu saja tidak. Ada teks lain dari Sunan Abu Dawud yang menegaskan bahwa Nabi Saw melarang menyakiti warga non-muslim dalam segala bentuk kezaliman dan keburukan. Teks tersebut menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah, bahwa barangsiapa yang berbuat zalim kepada warga non-muslim, atau mengurangi haknya, atau membebaninya lebih dari kemampuanya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan darinya, maka aku (Nabi Muhammad Saw) akan menjadi lawanya kelak di hari kiamat”. (Sunan Abu Dawud, no. hadits: 3054).
Tentu saja, Nabi Muhammad Saw tidak hanya berkata. Namun, juga memiliki teladan dalam hal berelasi secara baik dengan warga non-muslim. Nabi Saw, sejak kehidupan di Mekkah sebelum kenabian, setelah kenabian, dan terus sampai di Madinah dan hingga akhir hayat, memiliki akhlaq terpuji sebagai al-amin. Yaitu, yang amanah, dipercaya, baik hati, dan suka menolong kepada semua orang, termasuk mereka yang tidak beragama Islam.
Tinggal pertanyaan ke kita: Siapkah kita untuk terus meneladani akhlak terpuji Nabi Muhammad Saw ini?
Semoga kita semua bisa menjadi penerus cita-cita Nabi Saw dalam kehidupan kita sekarang. Khususnya di Indonesia, yang berbagai suku, agama, ras, bahasa, dan identitas politik, atau golongan. Untuk terus menguatkan persaudaraan, mewujudkan kedamaian, dan membangun kehidupan. Inilah visi, misi, dan cita-cita kerasulan Nabi Muhammad Saw. Shallalahu ‘alaihi wa sallam. []