Mubadalah.id – Waktu terus berjalan dan perubahan adalah hal yang niscaya. Waktu tidak akan berhenti meski kita memutuskan untuk duduk diam tak melakukan apapun. Waktu juga akan terus berjalan saat kita terlalu sibuk bekerja keras.
Dalam upaya berdamai dengan waktu, kadang kita merasa waktu berjalan lambat dan membosankan terutama jika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan. Kadang, kita juga merasa waktu tersedia sangat sedikit sehingga batas waktu 24 jam dalam sehari rasanya kurang. Namun demikian, entah kita sedang tergeletak bermalas-malasan ataupun bekerja keras berpacu dengan waktu, waktu hakikatnya terus berjalan.
Mengejar Waktu
Bermalas-malasan artinya kita dengan suka rela melepaskan tiap detik yang terlewat dalam hidup untuk tidak melakukan apapun, mengisi buku sejarah kehidupan dengan lembaran kosong. Sedang bekerja terlalu keras, artinya kita tidak memberi ruang untuk tubuh menikmati dan menghayati waktu yang berharga untuk mencipta momen indah yang hanya bisa kita ciptakan sekali pada saat ini.
Kadang, kita menyesal mengapa menyia-nyiakan waktu sehingga saat orang lain sudah berprestasi melangkah dan berlari ratusan mil, kita masih tertinggal dan bertahan di tempat. Kadang, kita merasa kehilangan waktu karena terlalu rajin dan bersemangat mengejar kesibukan. Sampai kehilangan momen untuk menikmati waktu dengan orang-orang terkasih atau dengan diri sendiri menikmati kehidupan dengan nafas yang tenang dan damai.
Keseimbangan memang kita perlukan dalam kehidupan, termasuk dalam hal memanfaatkan waktu. Mengisi waktu dengan hal-hal bermanfaat sangatlah penting. Namun hal-hal bermanfaat tersebut tidak boleh membuat kesadaran kita menurun dan kehilangan kesempatan untuk menikmati hidup. Ruang kontemplatif dalam kehidupan ini harus kita sediakan, agar kita dapat memanfaatkan waktu tanpa kehilangan penghayatan dan pemaknaan.
Momen Perayaan Ulang Tahun
Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk memperingati perayaan sekali setiap tahun ini. Bagi sebagian orang, perayaan ulang tahun adalah hal yang penting dan dinanti. Namun bagi sebagian lain merupakan alarm yang cukup menakutkan dan dihindari.
Remaja usia belasan, akan sangat menikmati momen ulang tahun ini, sebab di momen itulah biasanya mereka menjadikannya sebagai ajang berkumpul dengan kawan-kawan seusia atau keluarga. Mendapatkan hadiah, ucapan selamat, dan doa-doa. Bagi para remaja, menjadi dewasa adalah cita-cita indah, karena usia peralihan remaja ke dewasa merupakan usia paling gemilang dalam siklus kehidupan manusia.
Agaknya, usia memang mempengaruhi cara seseorang dalam menghayati dan melakukan selebrasi. Masa muda adalah masa paling bersinar dalam hidup. Karena masa muda adalah masa paling sehat, bugar, pikiran dan keberanian masih penuh dan melimpah, dan ada perasaan di alam bawah sadar bahwa saat seseorang muda, ia masih jauh dari masa tua, usia lanjut. Ketakutan akan hari tua tidak akan terlalu dirasakan, karena ada banyak hal dan misteri yang belum dipecahkan, mengalihkan perhatian.
Sementara orang dengan usia lanjut, menyadari dengan pasti bahwa mereka telah berada dalam usia yang rentan. Uban sudah tumbuh, pandangan mulai kabur, badan mulai sering masuk angin, dan banyak sekali kemampuan fisik dan psikis yang sudah tidak terlalu prima. Jauh seperti saat masih muda. Orang dengan usia lanjut sudah menyadari bahwa beberapa aspek kehidupannya melemah dan itu menimbulkan kecemasan yang cukup serius. Sehingga hari ulang tahunpun terasa seperti alarm darurat yang menakutkan dan menggelisahkan.
Ketakutan akan hari tua sejatinya dialami oleh semua orang, hanya saja intensitasnya berbeda. Dan bagaimanapun kita mencoba menghindar, hari itu pasti akan tiba juga, menghampiri kita semua. Kecemasan menghadapi hari tua tidak lepas dari kecemasan akan melemahnya fungsi akal dan kejernihan pikiran (pikun), menjadi lemah, tidak bertenaga, dan yang terakhir adalah ketakutan akan tidak berfungsinya organ tubuh yang berakhir dengan kematian.
Usia; Ketakutan dan Harapan
Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti siapapun akan hari tua. Namun tulisan ini adalah upaya refleksi tentang waktu, dan memahami kenyataan dan fakta bahwa usia adalah hal yang pasti akan berubah dan bertambah. Sejalan dengan hukum waktu yaitu terus berjalan, tidak bisa kita ubah dan tidak ada jeda.
Siapapun akan takut ketika membicarakan tentang waktu, usia tua, apalagi kematian. Namun demikian, mengingat tentang hari tua akan membuat siapapun yang masih muda menjadi lebih giat mempersiapkan bekal untuk hari tua. Merencanakan finansial dan menjaga kesehatan sebaik-baiknya. Menuntut ilmu sebagai bekal hidup bermasyarakat, dan melatih berbagai skill dalam rangka kelak mengisi hari tua.
Demikian dengan mengingat kematian, akan menjadikan pemahaman kita akan hakikat kehidupan semakin meningkat. Mengingat kematian (tafakkur), seperti kata Imam al-Ghazali, akan menambah keimanan dan menjadi motivasi seseorang untuk giat beribadah dan berbuat baik.
Mengingat Kematian
Dengan mengingat kematian, kesadaran kita akan segala bentuk hal yang bersifat materi dan duniawi, seperti harta benda, jabatan, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, hanyalah sesuatu yang fana yang akan berakhir menyatu dengan tanah. Sehingga kita tidak akan bergantung dan bersikap takabur atas amanah harta, jabatan, kekuasan dan rupa tersebut.
Mengingat kematian berlaku untuk siapa saja. Tua dan muda. Karena usia adalah rahasia Tuhan yang kita tidak tahu kapan datangnya. Mengingat kematian menjadi obat hati, yang ikut serta memperkokoh dan melandasi arah gerak tingkah laku kita di dunia menjadi lebih baik.
Menurut para sufi, sikap takut (khauf) haruslah kita iringi dengan raja’ (harap) agar ketakutan menjadi konstruktif. Agama Islam memfasilitasi segala bentuk harapan, bahwa pintu pertobatan senantiasa terbuka, dan Allah swt Maha Pengampun. Harapan dan kesempatan untuk memperoleh ampunan dan kebahagiaan masih terbentang lebar. Kita memang tidak bisa menghindari ketakutan akan kematian. Namun kita punya daya, pedoman, dan pegangan untuk menghadapinya.
Usia, Kedewasaan, dan Penghormatan
Kendati ada kecemasan-kecemasan tentang pertambahan usia, namun setiap memasuki jenjang usia tertentu, kita memiliki privilese. Anak-anak memiliki privilese yaitu disayangi oleh yang lebih tua. Anak muda memiliki privilese dimaklumi segala bentuk kecerobohannya. Sedang usia tua memiliki privilese mendapat penghormatan dari yang lebih muda. Rasa sayang, permakluman, dan penghormatan ini juga diatur oleh agama, adat istiadat dan budaya.
Semakin tua usia seseorang, semakin dewasalah pikiran dan sikapnya. Setidaknya itulah yang diharapkan dari tahap perkembangan individu dewasa. Orang yang sudah tua, adalah orang yang telah mengalami puluhan tahun usia kehidupan. Asam garam pengalaman telah mereka tempuh, jadi meskipun millenials dan Gen Z merasa lebih pintar dan menguasai beberapa aspek kehidupan, mereka belum mencapai pengalaman berharga sebanyak para orang tua, atau generasi X dan Boomers.
Menghormati dan menghargai orang tua, selain karena itu merupakan ajaran agama dan moral budaya. Juga merupakan penghormatan terhadap kualitas “pengalaman”; jalan panjang kehidupan yang sudah mereka tempuh. Mereka telah melalui masa dari zaman belum ada listrik, era lentera minyak tanah, era lampu petromaks, hingga kini era listrik dan gas elpiji.
Pengalaman dan penempaan yang mereka lalui telah menjadikan mereka sebagai generasi yang matang, kaya akan pengalaman—dan pengetahuan. Terlebih jika kita melihat berbagai peristiwa sejarah dan kondisi sosial politik semasa mereka muda.
Memahami Nilai Kehidupan
Selain itu, kita mesti melihat segala jenis peran mereka dalam masyarakat yang telah melewati masa menjadi remaja, dewasa, berkiprah, menikah, mengurus anak, bekerja, bermasyarakat, melalui banyak hal dalam hidup. Kepada orang yang telah melewati jenjang kehidupan yang panjang, sebagai anak muda yang barangkali baru menjalani sepertiga siklus kehidupan mereka. Maka kita berkewajiban menghormati mereka, menghormati karena mereka adalah orang tua, guru kehidupan, orang yang sudah melalui ribuan pengalaman.
Satu-satunya hal yang harus kita lakukan dalam hidup, apapun kondisinya, apapun keadaannya, adalah menikmati tiap momen kehidupan dengan penuh kesadaran. Bahwa hidup ini nyata dan berharga. Pemahaman akan nilai kehidupan akan membantu kita dalam menghadapi kecemasan akan pertambahan usia.
Salah satu cara untuk menjadikan hidup di masa tua tetap berkualitas adalah dengan mencoba hal-hal baru dan bergabung dengan komunitas orang seusia yang bersemangat menjalani hidup. Berfokus pada apa yang bisa kita lakukan hari ini dan menyedikitkan berpikiran negatif.
Melihat Teladan pada yang Lebih Tua
Usia memang tidak ada yang tahu, takdir adalah rahasia Tuhan. Namun demikian, kita memiliki pilihan untuk menjalani tiap detik dan menit dengan penuh rasa syukur. Sebab, kehidupan sendiri adalah berkat. Tidak semua yang terlahir diberi kesempatan hidup, apalagi sampai usia tua.
Melihat teladan pada orang yang lebih tua, merupakan langkah lain untuk memperoleh ketenangan, menjadi tatag dan teguh menghadapi masa tua. Banyak sosok yang telah mencapai usia lanjut namun pancaran matanya masih sangat bersinar, bersemangat, dan bersukacita menjalani hidup.
Orang-orang yang demikian, pasti dalam jiwanya telah tertanam pemahaman mendalam tentang arti kehidupan dan kematian. Sehingga masa tua terasa biasa saja, sama seperti jenjang usia lain, yang harus ia jalani sebaik-baiknya seperti masa muda. Ketabahan dan keteguhan semacam itu merupakan hasil sintesis dari pemahaman, penerimaan, dan keyakinan tingkat tinggi. Kepada merekalah kita mesti belajar.
Kehidupan adalah Sarana
Urip mung mampir ngombe. Hidup hanyalah aktivitas mampir minum. Demikian bunyi pepatah Jawa. Namun dalam proses mampir ini kita akan bertemu banyak hal. Dan kenyataan yang paling penting, meski dalam pepatah tersebut “kehidupan dunia” disebut hanya mampir, namun tempat mampir ini ternyata yang akan menjadi penentu nasib kita di alam selanjutnya.
Dunia ini adalah alat yang menjadi sarana mengumpulkan bekal menuju alam abadi. Jadi meski di permukaan terlihat hanya mampir, persinggahan sejenak, tak terlalu ada artinya, secara hakikat kehidupan ini sangat serius. Pencapaian tertinggi atau terendah seseorang di akhirat, ditentukan oleh apa yang kita lakukan di tempat mampir ini.
Pepatah tersebut juga ingin menunjukkan pada kita bahwa kehidupan di dunia adalah senda gurau, yang fana dan akan binasa. Agar kita tidak hanyut dalam tempat singgah dan mampir ngombe ini. Harus senantiasa ingat bahwa kehidupan manusia yang sesungguhnya ada di alam akhirat yang abadi.
Hidup ini hanya sekali, dan meski hanya mampir, akan lebih bagus jika kita menghiasi aktivitas mampir ini dengan penuh kualitas. Mencipta kenangan baik dan indah di tempat yang di ampiri (bumi) untuk kemudian melanjutkan perjalanan dan kembali ke kampung halaman kita yang asli (surga), dengan bahagia. Selamat mampir ngombe, salingers. Selamat menua dan menyejarah dengan percaya diri. []