Mubadalah.id – Hampir pasti tidak ada seorang ulama pun, paling tidak dari rujukan kitab-kitab di atas, yang menganjurkan perkawinan poligami dengan bersandar pada ayat 3 surat an-Nisa.
Yang paling mungkin dikatakan sebagai penganjur adalah kelompok az-Zahiri, yang dipelopori Imam Dawud az-Zahiri (Dawud bin Ali bin Khalaf, 201-270H/816-884M). Itupun tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena seperti dikutip Imam ar-Razi.
Kelompok ini mendasarkan pada ayat ketiga dari surat an-Nisa tersebut hanya untuk anjuran perkawinan biasa, bukan poligami. Karenanya tidak bisa kita katakan bahwa az-Zahiri menganjurkan poligami dengan dasar ayat an-Nisa tersebut.
Seperti pada paparan di atas, kebanyakan ulama tafsir justru memasang pagar pembatas terhadap praktik poligami. Pemagaran ini mengindikasikan bahwa poligami bukan sesuatu yang direkomendasikan ulama pada kitab-kitab tafsir tersebut.
Jika kebanyakan para ulama tafsir tidak merekomendasikan poligami, pertanyaannya mengapa praktik poligami banyak masyarakat muslim awal lakukan, termasuk para sahabat dan tabi’in.
Sangat jelas bahwa praktik poligami yang beberapa orang lakukan dari masyarakat muslim awal, bukan karena poligami ada di dalam al-Qur’an. Tetapi karena budaya yang mereka warisi dari para leluhur.
Poligami merupakan salah satu praktik yang marak orang-orang lakukan pada masa penurunan al-Qur’an. Poligami pada pra-Islam, bahkan mereka praktikkan dengan tanpa pertimbangan apapun terhadap perempuan, apalagi perlindungan dan perhatian terhadap mereka.
Masyarakat Arab pada saat itu melakukan kawin poligami dengan tanpa batasan, baik batasan kuantitas perempuan yang korban poligami, maupuan kualitas relasi perkawinan bersama mereka.
Praktik inilah yang kemudian al-Qur’an kritik. Dan ayat an-Nisa yang ketiga, turun dalam konteks sosial masyarakat yang memiliki pandangan kelumrahan terhadap poligami. []