• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Tiga Langkah Menyikapi Hadis-Hadis Misoginis

Hadis-hadis yang secara tekstual tidak ramah terhadap perempuan seringkali dijadikan rujukan normalisasi terhadap beban gender yang ditimpakan kepada perempuan

Arina Al-Ayya Arina Al-Ayya
24/08/2021
in Khazanah
0
Hadis

Hadis

755
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Rujukan utama umat Islam adalah al-Qur’an dan Hadis. Secara tekstual, jelas bahwa keduanya ‘terbatas’. Keterbatasan ini tidak lain adalah karena berhentinya penurunan wahyu dan wafatnya Rasulullah sebagai pihak yang menghasilkan sumber hukum. Hal ini -seperti dikatakan oleh Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qirā’ah Mubādalahnya- sudah disadari oleh para ulama terdahulu.

Keterbatasan nash ini tidak diimbangi dengan masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang mengiringi tiap masa dan tempat yang berbeda. Para ulama pun hadir sebagai pihak yang mengerahkan segenap intelektualitasnya sebagai bentuk ijtihad untuk menjawab tiap persoalan dengan mengkomparasikan terhadap sumber hukum berupa nash yang terbatas.

Kepekaan ulama terdahulu terkait keterbatasan sumber hukum ini agaknya belum menjadi solusi yang seratus persen bisa menjawab persoalan dengan sempurna. Masalah selanjutnya terletak pada nash itu sendiri, yang di tulisan ini lebih dikerucutkan lagi pada nash berupa hadis. Sebagai salah satu sumber rujukan Islam, hadis berperan banyak dalam terbentuknya legitimasi hukum.

Sementara itu, banyak ditemukan hadis yang secara tekstual berupa teks yang tidak ramah terhadap perempuan. Hadis-hadis seperti ini bisa dilacak pada kitab-kitab induk hadis, sebut saja Shahih Bukhari. Di dalamnya terdapat beberapa hadis-hadis yang misalnya saja menyebutkan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok, perempuan sebagai makhluk pembawa sial dan pembawa fitnah. Agaknya hadis-hadis tersebut sudah sangat akrab di telinga kita sebagai bentuk normalisasi terhadap beban gender yang ditimpakan kepada perempuan.

Islam sendiri adalah agama yang mempunyai mabadi (prinsip umum) rahmatan lil ‘alamin. Hadirnya Islam bisa diartikan sebagai sebuah semangat akan kesetaraan. Sebelum datangnya Islam, kawasan Jazirah Arab sebagai tempat pertama kali dialamatkannya al-Qur’an bukanlah kawasan yang hampa budaya, justru disana sudah sarat akan berbagai budaya, Kondisi yang seperti ini sayangnya tidak diimbangi dengan keadaan moral mereka.

Banyak terdapat budaya yang sejatinya merendahkan satu jenis kelamin tertentu di kehidupan sosial mereka. Dituturkan oleh Nasaruddin Umar, hal itu dipengaruhi oleh kondisi geografis, topografis, demografis, klimatologis, dan beberapa aspek yang berhubungan dengan ekologi yang menyebabkan dominannya satu jenis kelamin di atas jenis kelamin yang lain.

Baca Juga:

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Kita bisa menilik sejarah dimana pada saat itu, sangat lazim ditemukan kasus pembunuhan terhadap anak perempuan. Perempuan saat itu sama sekali tidak mendapat warisan, bahkan lebih parahnya perempuan itu sendiri yang diwariskan. Datangnya Islam pun selanjutnya seakan membawa perubahan bagi nasib perempuan. Tidak sedikit juga ditemukan nash yang justru hadir karena keluh kesah sahabat perempuan. Maka sudah sewajarnya, jika dikatakan bahwa jiwa Islam adalah semangat kesetaraan akan seluruh entitas.

Dalam gagasannya, Amina Wadud menyebutkan istilah berupa Tawhidic Paradigm. Istilah ini dimaknainya sebagai pengesaan terhadap Allah. Artinya, Allah adalah Dzat tertinggi. Selain Allah, maka mereka setara dan tidak ada hierarki lagi di antaranya. Faqihuddin Abdul Kodir menambahkan dengan menyebut adanya sikap merendahkan terhadap pribadi lain sebagai perbuatan syirik sosial.

Melihat pernyataan-pernyataan sebelumnya, maka malah menjadi sesuatu yang janggal jika Islam yang sejatinya sangat ramah akan kesetaraan justru menyuguhkan hadis berupa hukum yang tidak adil bagi perempuan. Menanggapinya, saya menambahkan gagasan dari Nur Rofiah yang berkata bahwa Islam sama sekali tidak membawa ketimpangan, namun pemahaman akan Islam saja yang membawanya.

Oleh karenanya dalam menyikapi adanya hadis yang secara tekstual berbentuk misoginis ini, sangatlah perlu adanya reinterpretasi terhadapnya. Reinterpretasi ini harus diawali dengan pelacakan kembali terhadap hadis-hadis yang akan menjadi rujukan sumber hukum. Pelacakan ini menitikberatkan pada latar belakang periwayatan hadis, periwayat hadis, hingga pada tingkat keshahihan hadis. Kita pun juga harus mempertimbangkan keadaan mengenai tempat dan masa dimana hadis itu muncul. Bisa saja hadis tersebut hadir untuk menyikapi masalah yang spesifik pada tempat dan masa tertentu saja dan tidak bisa digeneralisir.

Mengadopsi alur kerja interpretasi mubadalah dari Faqihuddin Abdul Kodir, langkah pertama dalam menyikapi hadis-hadis yang secara tekstual misoginis adalah dengan merujuk kembali pada prinsip umum Islam, seperti rahmatan lil ‘alamin dan akhlaqul karimah, yang mana prinsip-prinsip inilah yang menjadi pondasi pemaknaan ulang pada langkah berikutnya.

Langkah kedua adalah dengan menghilangkan subjek. Jika subjek dalam hadis adalah perempuan, maka subjek pun dihilangkan tanpa mengubah predikatnya. Konteks hadis ini kemudian dipahami tanpa menitikberatkan pada subjeknya. Langkah ketiga adalah dengan menjadikan subjeknya menjadi diberlakukan pula untuk laki-laki sebagai lawan jenis kelaminnya. Di sini terciptalah konsep kesalingan (mubadalah) di antara laki-laki dan perempuan. []

Tags: amina wadudFaqihuddin Abdul KodirGenderHadiskeadilanKesetaraanMubadalahperempuanQira'ah MubadalahTafsir Haditstafsir mubadalah
Arina Al-Ayya

Arina Al-Ayya

Mahasiswi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait Posts

Jilbab dan Hijab

Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

2 Juni 2025
Perempuan Memakai Jilbab

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

2 Juni 2025
Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Jilbab Menurut Ahli Tafsir

2 Juni 2025
Makna Hijab dalam

Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

2 Juni 2025
Hijab

Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

1 Juni 2025
Jilbab

Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

1 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID