Mubadalah.id – Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi merumuskan bahwa Pemotongan dan/atau Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis adalah hukumnya haram.
Menurut para ulama KUPI tindakan P2GP yang dilakukan tanpa alasan medis, jelas menjadi perbuatan yang jelas membahayakan.
Terlebih jika melakukan tindakan P2GP itu pada klitoris, hal itu justru dapat merusak banyak jaringan syaraf dan pembuluh darah sehingga menyebabkan komplikasi jangka panjang hingga kematian.
“Hukum melakukan tindakan Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis adalah haram (QS. Al-Ahzab, 33: 58),” kata kata Dr. Hj. Fatmawati Hilal, salah satu Juru Bicara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II dalam diseminasi hasil kongres di Jakarta, pada Selasa, 7 Maret 2022.
Oleh sebab itu, Fatmawati juga meminta semua pihak bertanggungjawab mencegah tindakan P2GP yang membahayakan tanpa alasan medis. Terutama anggota keluarga, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, pemerintah, dan media.
Menurut Fatmawati tindakan mencegah P2GP juga sudah sesuai dengan perintah Islam seperti di dalam al-Qur’an surat at-Tahrim, 66: 6 dan al-Baqarah, 2:195.
“Hukum menggunakan wewenang sebagai keluarga, tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pelukaan dan/atau pemotongan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah wajib (QS. al-Taubah, 9:71),” jelasnya.
Dasar Keharaman P2GP
Ketetapan hukum keharaman tindakan P2GP oleh ulama KUPI ini berdasarkan tiga konsep kunci, yaitu keadilan hakiki, mubadalah, dan ma’ruf melalui 7 alur sistematika penulisan, yaitu 1) deskripsi masalah (tashawwur) dan persoalan (as’ilah)nya, 2) dasar-dasar hukum (adillah).
3) analisis yang mendasari keputusan (istidlal). 4) sikap dan pandangan keagamaan. 5) rekomendasi (taushiyah). 6) referensi (maraji’) dan 7) lampiran-lampiran (mulhaqat).
Selain itu, untuk diketahui bahwa KUPI adalah forum musyawarah keagamaan yang memproduksi pandangan keagamaan dalam merespon persoalan kemanusiaan, dan kebangsaan. Serta kesemestaan berdasarkan persoalan dan pengalaman perempuan, atau berdampak langsung pada kehidupan perempuan.
Bahkan KUPI merefleksikan gerakan eksistensi ulama perempuan yang bersifat intelektual, kultural, sosial dan spiritual. (Rilis)