“Pilihan sekolah, kuliah, kerja, pasangan, bahkan asupan makan harus sesuai aturan orang tua sedari kecil sampai dewasa. Hmmm kok gitu ya?”
Mubadalah.id – Bersyukurlah kita yang sedari kecil masih hidup berdampingan dengan orang tua. Namun wajarkah bila cara orang tua mendidik justru menimbulkan bekas amarah di hati? Toxic parents adalah sebuah pola pengasuhan yang secara sadar maupun tidak sadar membuat anak tumbuh dari luka pengasuhan, trauma, cemas, atau efek psikologis lain pada anak. Misalnya orang tua menetapkan standar sangat tinggi dari kemampuan anak pada umumnya, over kontrol, terlalu abai dan lengah. Ataupun menggunakan kekerasan fisik, verbal atau parahnya seksual untuk membuat mereka patuh.
Menjadi toxic parents bukan hanya dialami pada orang tua yang memiliki gangguan mental saja. Namun memungkinkan terjadi pada orang tanpa mental disorder yang suka menghukum anak atas ekspektasi yang harus terpenuhi atau kesalahan yang anak perbuat. Terkadang, orang tua terlalu ikut campur pada gaya hidup, karier, dan hubungan anak hingga merasa rendah diri (insecure). Akibatnya tidak jarang ia murung, depresi, mudah marah atau egois dalam bergaul.
Beberapa alasan kemungkinan toxic parents:
Perbedaan alasan memiliki anak
Pada umumnya orang yang menikah karena ingin melanjutkan keturunan, namun ada juga yang tidak ingin memiliki anak (childfree). Alasan mempunyai anak juga beragam dari ingin membangun keluarga, meneruskan kewarisan, hanya karena suka dengan anak-anak, tidak ingin kesepian, meningkatkan status sosial, atau bisa juga tanpa tujuan.
Perbedaan motivasi memiliki anak mempengaruhi cara pandang orang tua terhadap anak. Orang tua yang telah lama sendiri dan mendambakan anak, mungkin saja akan memikirkan matang-matang keinginan anak untuk sekolah atau bekerja di luar kota. Artinya di masa dewasa anak-anak akan meninggalkan mereka.
Kurangnya empati dalam keluarga
Empati adalah kemampuan untuk mendengar dan memahami perasaan orang lain. Misalnya pertanyaan simple tentang apa yang seseorang rasakan, memberi perhatian dengan saling bertanya tentang apa yang anak lakukan di keseharian mereka. Toxic parents selalu fokus pada pemenuhan keinginan mereka dan menuntut anak untuk mengutamakan kepentingan orang tua dahulu. Karena empati adalah kemampuan, maka itu bisa kita pelajari dan kita biasakan. Misalnya pertanyaan sederhana “sudah makan belum?”
Hidup di zaman yang berbeda
Sosial media sangat gencar di era sekarang, yang mungkin saja di era orang tua bahkan internet belum masif seperti saat ini. Itu mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, bereaksi, atau merespon informasi. Orang tua terkadang menegur interaksi anak dengan ponsel tanpa tahu sebenarnya apa yang sedang anak lakukan.
Kesalahpahaman yang tercipta membuat debat kecil muncul. Terlebih selama pandemi Covid-19 yang menuntut semua aktifitas secara daring (Learning from Home/LFH), yaitu belajar mandiri dari rumah. Orang tua toxic sering mencampuri privasi anak atau tidak membolehkan mereka memutuskan pilihan sendiri. Hanya karena alasan mereka lebih tua sehingga lebih banyak pengalaman, bahkan karena pembedaan gender.
Mengenai pola asuh, satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah Surat Ali Imran (keluarga Imran). Hal ini adalah keistimewaan dan menekankan pentingnya pembinaan keluarga yang dapat kita teladani dari potret keluarga Imran. Namun tidak menyinggung Imran sebagai kepala keluarga, akan tetapi istri Imran dan putrinya, Maryam. Surat ini mengajarkan kepada kita bahwa keberhasilan sebuah keluarga tidak terlepas dari dukungan anggota keluarga yaitu kerja sama antara orang tua dan anak tanpa adanya sifat “toxic”.
Teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail juga mengajarkan pentingnya komunikasi dalam keluarga, kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan perintah Tuhan. Pendidikan keluarga oleh Luqman juga mengenalkan bahwa pendidikan pertama yang anak peroleh adalah berasal dari orang tuanya. Selain itu, pesan Luqman kepada anaknya yang dapat kita jadikan pedoman adalah meneguhkan aqidah dengan menjauhi perbuatan yang menyekutukan Tuhan, berbakti pada orang tua, dan tulus dalam beribadah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Muhammad saw, manusia terbaik sepanjang masa, menggunakan metode pendidikan keluarga dengan karakter (akhlaq).
Hampir semua orang tua toxic katakan bahwa mereka mencintai anak dengan sepenuh hati, tapi pernahkah kita berpikir bahwa cinta lebih dari sekedar mengekspresikan perasaan dan cara bertindak? Berdamai dengan orang tua toxic memang bukan hal yang mudah, sangat butuh kesabaran untuk memahami apa ketakutan terbesar mereka yang khawatir bakal terjadi.
Perlu dialog dengan sopan santun, waktu dan cara komunikasi yang lebih baik untuk menemukan titik temu dan alternatif pilihan bersama-sama. Pilihan untuk menghapus dendam dan memaafkan memang butuh proses, selama batas sebuah kesalahan masih bisa kita perbaiki, maka tidak ada salahnya untuk saling memperbaiki hubungan. It’s not easy to be parents, saling memahami satu sama lain dan menumbuhkan sikap empati bisa kita mulai untuk menghidupkan fungsi keluarga yaitu kasih sayang. (bebarengan)