• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tradisi Baratan: Menyambut Keberkahan Ramadan dengan Kearifan Lokal Jepara

Tradisi ini erat kaitannya dengan sosok Ratu Kalinyamat yang merupakan patriot dan pemimpin dalam mengusir penjajah dari Jepara.

Rasyida Rifa'ati Husna Rasyida Rifa'ati Husna
27/02/2025
in Pernak-pernik
0
Tradisi Baratan

Tradisi Baratan

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Negara kita terkenal dengan banyak sekali kearifan tradisi dan budaya lokal dalam menyambut bulan suci Ramadan. Termasuk salah satunya adalah tradisi Baratan yang berasal dari kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.

Tradisi ini erat kaitannya dengan sosok Ratu Kalinyamat. Dia merupakan patriot dan pemimpin dalam mengusir penjajah dari Jepara serta memiliki pengaruh besar.

Asal-usul Tradisi Baratan

Pada zaman dahulu, Ratu Kalinyamat sering mengikuti kegiatan doa di Desa Kriyan, Purwogondo, Kalinyamatan, Jepara. Pada malam Nisfu Syakban, Ratu Kalinyamat pulang ke rumah setelah berdoa bersama pada malam hari. Jalan yang hendak terlewati oleh Ratu Kalinyamat sangat gelap sehingga masyarakat setempat merasa kasihan dan bergotong royong membuat oncor untuk menerangi jalan Ratu Kalinyamat.

Oncor adalah lampu yang terbuat dari ujung bluluk (kelapa kecil), kemudian bagian bulatnya kita beri minyak jarak atau minyak lainnya. Kemudian, lampu terpasang di depan rumah warga untuk menerangi jalan setapak yang Ratu Kalinyamat lewati.

Tradisi tersebut kemudian berlanjut dan turun menurun menjadi tradisi Baratan masyarakat Jepara. Yakni berupa karnaval arak-arakan lampion tradisional (impes) setiap 15 Syakban atau 15 hari sebelum Puasa Ramadan.

Baca Juga:

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Gelaran kegiatan ini sangat meriah. Begitu pula antusiasme warga mayarakat setempat dalam menyambut acara ini. Tradisi ini masih senantiasa terlaksana setiap tahun, di mana masyarakat meyakini sebagai upaya nguri-nguri warisan leluhur untuk generasi yang akan datang.

Kata “baratan” berasal dari bahasa Arab, yaitu “baraah”. Artinya keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan. Sebagaimana tradisi ini merupakan upaya dalam menyambut datangnya bulan Ramadan, di mana merupakan bulan yang kaya akan keberkahan.

Di samping itu, sebagai wujud penghormatan warga Jepara kepada Ratu Kalinyamat yang pada masa pemerintahannya membangun masjid Mantingan sebagai tempat pendidikan dan ibadah bagi penduduknya.

Ritual Karnaval Arak-Arakan dalam Menyambut Bulan Ramadan

Baratan biasanya terlaksana bakda shalat Isya’ yang dimulai dengan berbagai ritual sebelum karnaval arak-arakan. Yaitu tiga hari sebelumnya dengan puasa dan ziarah ke makam Ratu Kalinyamat.

Di samping itu, panitia yang bertugas juga melakukan beberapa ritual meliputi kendi pitu (tujuh) yang berfungsi sebagai banyu panguripan, manaqib harus 7 orang, polo pendem, ayam (pitik tulak), sego jumput pitu, sayur janganan pitu, dan khizib. Kemudian tepat di malam hari sebelum berlangsungnya pesta arak-arakan, warga berkumpul di masjid untuk salat berjamaah kemudian membaca Yasin dan doa bersama.

Selanjutnya ada makan bersama (bancaan) nasi puli. Kata puli berasal dari “afwu lii”, yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang kita tumbuk halus dan kita makan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar. Pemaknaan dari makanan khas tersebut merupakan simbol permohonan ampun kepada Allah dan permohonan maaf kepada sesama manusia, serta berusaha tidak mengulangi kesalahan kembali.

Kegiatan tersebut kita lakukan dengan harapan terciptanya tali silaturrahim di antara masyarakat. Setelah berakhirnya acara doa dan makan nasi puli bersama yakni setelah Isya, para warga berbondong-bondong menuju ke tempat terselenggaranya perayaan tradisi Baratan. Yakni untuk menyaksikan arak-arakan rombongan Ratu Kalinyamat dari Desa Robayan, Desa Kriyan, Desa Bakalan yang terdapat tembok benteng Kerajaan Kalinyamat dan berkahir di pendopo kecamatan.

Dalam iring-iringan tersebut tokoh Ratu Kalinyamat diiringi oleh beberapa barisan arak-arakan. Pada barisan pertama, terdapat berbagai macam barongan untuk melambangkan perwujudan setan atau hal buruk yang diusir Ratu Kalinyamat karena umat muslim hendak melaksanakan Puasa Ramadan.

Menjaga Tradisi dan Warisan Sejarah

Kemudian menyusul sekelompok prajurit laki-laki maupun perempuan, juga para dayang Ratu Kalinyamat yang membawa penerangan berupa lampu lampion. Rombongan lain berperan sebagai santri dengan memakai baju putih-putih lengkap dengan serban, sebagai pengikut Sultan Hadlirin (suami Ratu Kalinyamat).

Ada juga barisan Ibu-Ibu Berkebaya membawa tumpeng Puli yang berbentuk unik yang sebelumnya telah didoakan oleh tokah agama. Kemudian Puli itu mereka bagi-bagikan ke masyarakat. Selebihnya diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti di antaranya sebagai perwakilan dari setiap desa di Kecamatan Kalinyamatan, dan dari kalangan warga yang memakai kostum bertema pakaian adat Jawa atau Arab.

Peserta dari kalangan anak-anak adalah perwakilan dari seluruh SD, SMP, dan SMA se-Kalinyamatan. Mereka semua membawa lampion dan meneriakan yel-yel ritmis pesta Baratan yang sudah ada sejak zaman dulu. “Tong tong jik tong jeder, pak kaji nabuh jeder” dan sebagian melantunkan saalawat Nabi. Penampilan team yang menarik dari segi keunikan bentuk impes atau lampion, kostum yang bagus, dan sesuai tema zaman Jawa Kuno, serta kekompakan tim akan mendapatkan hadiah.

Tradisi Baratan yang telah masyarakat Jepara lestarikan dalam aspek sosial budaya dan agama sesungguhnya memiliki nilai-nilai positif dalam membangun masyarakat. Di antara nilai-nilai tersebut adalah spirit keagamaan, persatuan, dan silaturrahim dalam kegiatan doa dan makan bersama. Serta semangat gotong royong masyarakat dalam membantu sesama.

Masyarakat Jepara juga memperlihatkan rasa hormat yang mendalam terhadap Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan yang berjasa. Sehingga dengan melestarikan tradisi ini, mereka menjaga tradisi dan sejarah yang telah lama ada. Selain itu memperkenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya. Tujuannya agar identitas budaya Jepara tetap terjaga. Wallah a’lam. []

Tags: JeparaRatu KalinyamatsejarahSyiar IslamTradisiTrdaisi Baratan
Rasyida Rifa'ati Husna

Rasyida Rifa'ati Husna

Terkait Posts

Wuquf Arafah

Makna Wuquf di Arafah

5 Juni 2025
Aurat

Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

5 Juni 2025
Batas Aurat

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Fikih Ramah Difabel

Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

5 Juni 2025
Batas Aurat Perempuan

Dalil Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

4 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fikih Ramah Difabel

    Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID