Mubadalah.id – Negara kita terkenal dengan banyak sekali kearifan tradisi dan budaya lokal dalam menyambut bulan suci Ramadan. Termasuk salah satunya adalah tradisi Baratan yang berasal dari kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
Tradisi ini erat kaitannya dengan sosok Ratu Kalinyamat. Dia merupakan patriot dan pemimpin dalam mengusir penjajah dari Jepara serta memiliki pengaruh besar.
Asal-usul Tradisi Baratan
Pada zaman dahulu, Ratu Kalinyamat sering mengikuti kegiatan doa di Desa Kriyan, Purwogondo, Kalinyamatan, Jepara. Pada malam Nisfu Syakban, Ratu Kalinyamat pulang ke rumah setelah berdoa bersama pada malam hari. Jalan yang hendak terlewati oleh Ratu Kalinyamat sangat gelap sehingga masyarakat setempat merasa kasihan dan bergotong royong membuat oncor untuk menerangi jalan Ratu Kalinyamat.
Oncor adalah lampu yang terbuat dari ujung bluluk (kelapa kecil), kemudian bagian bulatnya kita beri minyak jarak atau minyak lainnya. Kemudian, lampu terpasang di depan rumah warga untuk menerangi jalan setapak yang Ratu Kalinyamat lewati.
Tradisi tersebut kemudian berlanjut dan turun menurun menjadi tradisi Baratan masyarakat Jepara. Yakni berupa karnaval arak-arakan lampion tradisional (impes) setiap 15 Syakban atau 15 hari sebelum Puasa Ramadan.
Gelaran kegiatan ini sangat meriah. Begitu pula antusiasme warga mayarakat setempat dalam menyambut acara ini. Tradisi ini masih senantiasa terlaksana setiap tahun, di mana masyarakat meyakini sebagai upaya nguri-nguri warisan leluhur untuk generasi yang akan datang.
Kata “baratan” berasal dari bahasa Arab, yaitu “baraah”. Artinya keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan. Sebagaimana tradisi ini merupakan upaya dalam menyambut datangnya bulan Ramadan, di mana merupakan bulan yang kaya akan keberkahan.
Di samping itu, sebagai wujud penghormatan warga Jepara kepada Ratu Kalinyamat yang pada masa pemerintahannya membangun masjid Mantingan sebagai tempat pendidikan dan ibadah bagi penduduknya.
Ritual Karnaval Arak-Arakan dalam Menyambut Bulan Ramadan
Baratan biasanya terlaksana bakda shalat Isya’ yang dimulai dengan berbagai ritual sebelum karnaval arak-arakan. Yaitu tiga hari sebelumnya dengan puasa dan ziarah ke makam Ratu Kalinyamat.
Di samping itu, panitia yang bertugas juga melakukan beberapa ritual meliputi kendi pitu (tujuh) yang berfungsi sebagai banyu panguripan, manaqib harus 7 orang, polo pendem, ayam (pitik tulak), sego jumput pitu, sayur janganan pitu, dan khizib. Kemudian tepat di malam hari sebelum berlangsungnya pesta arak-arakan, warga berkumpul di masjid untuk salat berjamaah kemudian membaca Yasin dan doa bersama.
Selanjutnya ada makan bersama (bancaan) nasi puli. Kata puli berasal dari “afwu lii”, yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang kita tumbuk halus dan kita makan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar. Pemaknaan dari makanan khas tersebut merupakan simbol permohonan ampun kepada Allah dan permohonan maaf kepada sesama manusia, serta berusaha tidak mengulangi kesalahan kembali.
Kegiatan tersebut kita lakukan dengan harapan terciptanya tali silaturrahim di antara masyarakat. Setelah berakhirnya acara doa dan makan nasi puli bersama yakni setelah Isya, para warga berbondong-bondong menuju ke tempat terselenggaranya perayaan tradisi Baratan. Yakni untuk menyaksikan arak-arakan rombongan Ratu Kalinyamat dari Desa Robayan, Desa Kriyan, Desa Bakalan yang terdapat tembok benteng Kerajaan Kalinyamat dan berkahir di pendopo kecamatan.
Dalam iring-iringan tersebut tokoh Ratu Kalinyamat diiringi oleh beberapa barisan arak-arakan. Pada barisan pertama, terdapat berbagai macam barongan untuk melambangkan perwujudan setan atau hal buruk yang diusir Ratu Kalinyamat karena umat muslim hendak melaksanakan Puasa Ramadan.
Menjaga Tradisi dan Warisan Sejarah
Kemudian menyusul sekelompok prajurit laki-laki maupun perempuan, juga para dayang Ratu Kalinyamat yang membawa penerangan berupa lampu lampion. Rombongan lain berperan sebagai santri dengan memakai baju putih-putih lengkap dengan serban, sebagai pengikut Sultan Hadlirin (suami Ratu Kalinyamat).
Ada juga barisan Ibu-Ibu Berkebaya membawa tumpeng Puli yang berbentuk unik yang sebelumnya telah didoakan oleh tokah agama. Kemudian Puli itu mereka bagi-bagikan ke masyarakat. Selebihnya diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti di antaranya sebagai perwakilan dari setiap desa di Kecamatan Kalinyamatan, dan dari kalangan warga yang memakai kostum bertema pakaian adat Jawa atau Arab.
Peserta dari kalangan anak-anak adalah perwakilan dari seluruh SD, SMP, dan SMA se-Kalinyamatan. Mereka semua membawa lampion dan meneriakan yel-yel ritmis pesta Baratan yang sudah ada sejak zaman dulu. “Tong tong jik tong jeder, pak kaji nabuh jeder” dan sebagian melantunkan saalawat Nabi. Penampilan team yang menarik dari segi keunikan bentuk impes atau lampion, kostum yang bagus, dan sesuai tema zaman Jawa Kuno, serta kekompakan tim akan mendapatkan hadiah.
Tradisi Baratan yang telah masyarakat Jepara lestarikan dalam aspek sosial budaya dan agama sesungguhnya memiliki nilai-nilai positif dalam membangun masyarakat. Di antara nilai-nilai tersebut adalah spirit keagamaan, persatuan, dan silaturrahim dalam kegiatan doa dan makan bersama. Serta semangat gotong royong masyarakat dalam membantu sesama.
Masyarakat Jepara juga memperlihatkan rasa hormat yang mendalam terhadap Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan yang berjasa. Sehingga dengan melestarikan tradisi ini, mereka menjaga tradisi dan sejarah yang telah lama ada. Selain itu memperkenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya. Tujuannya agar identitas budaya Jepara tetap terjaga. Wallah a’lam. []