Mubadalah.id – Beberapa dalil yang dapat menjadi dasar dalam tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw, di antaranya seperti ayat al-Qur’an yang menyatakan :
“Jika kalian mencintai Tuhan, ikutilah aku. Tuhan akan mencintaimu, dan Dia menghapus dosa-dosamu”
Dari ayat tersebut artinya kita dapat memahaminya sebagai “Mencintai Tuhan adalah mencintai Nabi” atau sebaliknya “Mencintai Nabi adalah mencintai Tuan”.
Al-Qur’an kembali menyebutkan :
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya menghormati Nabi. Duhai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabimu dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (al-Ahzab ayat 56).
Di tempat lain al-Qur’an juga memberikan kesakiannya atas Muhammad sebagai pribadi yang agung. Ayat ini sering disampaikan orang:
”Sesungguhnya di dalam keseluruhan diri Rasul Muhammad adalah teladan terbaik, bagi mereka yang merindukan Tuhan dan hari akhir” (al-Ahzab ayat 21).
Paling tidak beberapa ayat di atas ini memberi inspirasi kuat di dada masyarakat muslim untuk mencari cara bagaimana memberikan penghormatan atas Nabi.
Lalu, bagaimana cara mengingat kelahiran (Maulid) Nabi, bagaimana cara menghormat dan memuliakan utusan Tuhan yang terakhir ini. Ini tentu pada akhirnya diarahkan untuk mengikut jejak langkah Nabi.
Al-Qur’an menyatakan:
“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (an-Nisa ayat 80)
Awal Peringatan Maulid Nabi
Pertanyaan utamanya adalah siapakah di antara kaum muslimin yang mengawali peringatan atas kelahiran Nabi ini.
Ada sejumlah informasi mengenai hal ini. Antara lain Imam al-Suyuthi. Ia menginformasikan kepada kita bahwa penguasa Irbil, sebuah kota yang terletak di negara Irak bagian utara.
Raja al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukibri, adalah orang pertama yang menyelenggarakan peringatan kelahiran Nabi secara megah dan besar-besaran.
Perayaan ini dihadiri oleh para pejabat kerajaan, para ulama dari berbagai disiplin ilmu dan para kaum sufi.
Kehadiran para ulama dan kaum sufi ini dipandang bahwa mereka menganggap perayaan atau peringatan tersebut sah adanya, tak melanggar aturan agama.
Mereka menganggap perayaan ini adalah sesuatu yang baik, meski tak pernah dilakukan oleh Nabi atau para sahabatnya, karena itu adalah sebuah cara belaka, tak lebih. []
Sumber tulisan : Buku Merayakan Hari-hari Indah Bersama Nabi Muhammad karya KH. Husein Muhammad.