Mubadalah.id – Pada 30 Mei hingga 1 Juni 2024 Fahmina Institute bekerja sama dengan INFID menyelenggarakan kegiatan Training for Youth Leaders Tolerance and Peace. Kegiatan ini diikuti oleh empat puluh anak muda yang berasal dari ragam komunitas di Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning).
Seperti dari Sanggar Galih Pawentar, Jamaah Muslim Ahmadiyah Indonesia, Pemuda Katolik, Komunitas gereja, GUSDURian Cirebon, IPPNU, Mubadalah.id, dan lain sebagainya.
Dalam pembukannnya Ibu Aditiana Dewi Eridani, atau biasa dipanggil Ibu Dani menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu ruang untuk mempertemukan anak muda di Ciayumajakuning dengan berbagai komunitas serta keyakinan yang berbeda. Harapannya supaya lebih banyak anak muda yang peduli pada isu-isu toleransi.
Sebab sebagaimana yang terdapat dalam laporan Indeks HAM 2023 oleh INFID dan Setara Institute bahwa sepanjang Januari – Juni 2023 ada 155 kasus pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Jumlah ini mengalami peningkatan dari periode tahun sebelumnya.
Di sisi lain, perluasan tren intoleransi beragama juga telah merambah ke ranah media digital. Banyak pihak yang memanfaatkan peluang ini untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan mis/disinformasi berbasis agama. Sehingga anak muda generasi saat ini banyak yang mudah terpapar ujaran kebencian. Karena mereka memang pengguna aktif media digital.
Maka dari itu, menurut Ibu Dani tidak heran jika dari hasil riset yang dilakukan oleh INFID bersama LD UI (2021) menunjukan bahwa masih ada sejumlah 39% Generasi Milenial dan 48% Generasi Z yang setuju bahwa pendirian tempat ibadah harus memperoleh persetujuan dari kelompok mayoritas.
Alhasil ketika ada kasus pelarangan rumah ibadah bagi teman-teman selain Islam, kelompok ini akan merasa biasa-biasa saja dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB).
Tujuan Kegiatan Training for Youth Leaders Tolerance and Peace
Berangkat dari realitas tersebut, Fahmina Institute dan INFID merasa bahwa memang perlu menargetkan orang muda untuk menguatkan kepemimpinan dan peran sebagai agen perdamaian. Termasuk anak-anak muda di wilayah Ciayumajakuning.
Sebab dari hasil riset Knowledge Hub (K-Hub), selama dua dekade wilayah Cirebon ternyata mengalami peningkatan kejadian kekerasan yang berbasis agama, contohnya perusakan terhadap tempat ibadah kelompok minoritas, tindakan sweeping di lokasi-lokasi tertentu, penutupan tempat ibadah kelompok tertentu, dan peristiwa serupa lainnya.
Oleh sebab itu, Fahmina dan INFID ingin mendorong anak-anak muda di Ciayumajakuning untuk memanfaatkan seni dan budaya untuk terlibat secara bermakna dalam menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dan mempromosikan narasi-narasi perdamaian. Baik lewat konten digital media ataupun media lainnya, sesuai dengan ruang khidmahnya masing- masing.
Metode Feel untuk Memahami dan Merasakan Masalah KBB
Selama kegiatan “Training for Youth Leaders Tolerance and Peace” aku merasa bahagia, karena pelatihan ini berbeda dengan pelatihan-pelatihan isu toleransi yang lain. Kegiatan ini dikemas menggunakan metode pembelajaran yang asik dan tidak menoton.
Di awal sesi fasilitator mengajak kita untuk merasakan masalah tentang KBB dengan menggunakan metode feel. Tujuan sesi ini adalah untuk memahami dan merasakan masalah KBB yang terjadi di Indonesia, termasuk di Ciayumajakuning.
Dalam sesi memahami dan merasakan masalah KBB ini kita diajak untuk berkelompok dan memainkan satu peran sesuai dengan kartu yang dibagikan fasilitator. Dalam game bermain peran ini, setiap kelompok diberi satu kasus KBB, lalu masing-masing dari kita meresponnya sesuai dengan peran yang harus kita mainkan.
Ada yang berperan memperjuangkan perdamaian, seperti aktivis perdamaian misalnya. Tetapi juga ada yang malah menambah ricuh, seperti tokoh-tokoh masyarakat yang tidak punya perspektif toleransi.
Setelah itu, fasilitator juga menanyangkan satu video yang menunjukan tentang pembakaran rumah-rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah, salah satunya di Manis Lor Kuningan. Dari video ini tidak sedikit peserta yang menangis karena rasa merasa kasihan pada Jemaat Ahmadiyah.
Itu lah nilai yang sebetulnya ingin dicapai dari sesi ini. Dengan ikut merasakan pengalaman yang dirasakan oleh kelompok minoritas, kita bisa jadi paham bahwa sikap toleransi itu masih harus terus diperjuangkan.
Di sisi lain, rasa empati pada teman-teman yang berbeda keyakinan juga harus terus diupayakan, supaya kita tidak mudah curiga, menyalahkan dan melakukan kekerasan pada mereka. Justru sebaliknya dengan empati, kita bisa lebih bisa merasakan kesulitan-kesulitan apa yang menjadi masalah mereka dalam memperjuangkan KBB.
Menurutku metode feel ini merupakan nilai yang paling esensial dalam menumbuhkan rasa toleransi dan empati pada orang yang berbeda keyakinan. Sebab, kita tidak mungkin bisa menghargai, menghormati apalagi menyayangi orang yang berbeda, jika feel ini tidak ada dalam diri kita.
Metode Image, Do dan Share
Untuk melengkapi pemahaman kita tentang pentingnya toleransi dan perdamaian. Fasilitator juga mengenalkan kita tiga metode lain, yaitu Image, Do dan Share. Ketiga metode ini sebetulnya saling berkaitan juga dengan metode feel. Dimana setelah merasakan masalah KBB, kita juga harus memahami identitas diri sendiri dan identitas orang lain atau disebut image.
Metode image ini bertujuan untuk memahami bahwa identitas itu tidak tunggal, melainkan beragam. Setiap orang punya perebdaan prioritas dalam memandang identitas yang dianggap penting. Bisa jadi menurutku rumah ibadah itu bukan segalanya, karena bisa shalat di mana saja. Tapi bagi agama yang lain rumah ibadah justru adalah kebutuhan yang sangat penting dan tidak bisa ditawar.
Dari sini lah, kita harus terus belajar untuk melihat dan memahami prioritas identitas ornag lain. Dan hal ini tidak bisa kita lakukan jika kita tidak ada feel pada orang yang berbeda.
Lanjut ke metode Do, metode ini sebetulnya untuk menunjukan bahwa dalam setiap perbedaan itu pasti ada konflik. Namun konflik itu sebetulnya tidak selalu negatif, sehingga kita bisa mengelolanya supaya tidak berujung menjadi kekerasan.
Menurutku ini pemahaman yang penting banget, karena selama ini kita selalu merasa bahwa perbedaan keyakinan itu adalah sesuatu yang menegangkan. Sehingga tidak jarang dari perasaan ini, timbul rasa benci dan tidak mau berinteraksi apalagi berdialog dengan teman yang beda agama.
Kelola dengan Sehat dan Kasih Sayang
Padahal perbedaan-perbedaan ini, masih bisa kita kelola menggunakan berbagai metode supaya relasinya jadi sehat dan penuh kasih sayang. Metode mengelola konfliknya bisa dengan cara kolaborasi, berkompromi atau dengan menciptakan ruang dialog yang sehat dan santai. Seperti kegiatan “Training for Youth Leaders Tolerance and Peace” misalnya.
Setelah mampu memahami dan merasakan masalah KBB, memahami identitas diri sendiri dan orang lain. Lalu mengelola konflik karena ada perbedaan, kita juga mendapatkan bekal untuk berkolaborasi menggunakan metode share.
Tujuan metode ini adalah untuk mendorong seluruh peserta “Training for Youth Leaders Tolerance and Peace” untuk saling berkolaborasi menyampaikan nilai-nilai dari metode Feel, Image dan Do. Baik melalui media digital ataupun ruang-ruang yang lainnya.
Itu lah empat metode yang aku palajari dalam kegiatan “Training for Youth Leaders Tolerance and Peace”. Aku rasa semua metode ini bisa kita gunakan dalam upaya memahami dan merasakan berbagai identitas dan kebutuhan orang yang berbeda. Baik berbeda keyakinan, gender, suku, ras dan yang lainnya. []