Mubadalah.id – Tren The Nuruls sedang menjadi buah bibir di kalangan warga media sosial twitter, instagram, hingga tiktok dalam melabeli suatu kelompok perempuan. Istilah The Nurul’s mencuat sejak seorang content creator tiktok Halda Rianta, adik Arafah Arianti mengulasnya bersama host Deddy Corbuzier dan Vidi Aldiano di PodHub perihal tempat nongkrong hits ala anak Depok. Lalu apa sebenarnya The Nurul’s? bagaimana cara menyikapinya?
Sekilas tentang Kata ‘Nurul’
Secara bahasa istilah The Nurul’s dari kata Nurul, merupakan nama seseorang yang berasal dari kosa kata bahasa Arab. Yakni Nur (نور) yang berarti cahaya. Sedangkan ‘ul’ adalah huruf dari potongan kalimat setelah kata ‘nur’, yang menjadi satu kalimat jika dituliskan menggunakan latin.
Hakikatnya, kata ‘nur’ sendiri dalam bahasa Arab tidak hanya identik dengan perempuan, tetapi juga laki-laki. Namun mayoritas masyarakat non-arab terutama Indonesia menyematkannya kepada anak perempuan.
Seperti contoh nama perempuan yang berkembang Nurul Ilmi (نُورُ الْعِلْمِ) yang bermakna cahaya ilmu. Atau nama anak laki-laki yakni Nurul Yaqin (نُوْرُ الْيَقِيْنْ) yang berarti cahaya keyakinan.
Stereotip yang Berkembang
The Nurul’s, istilah kontroversial tentang gaya hidup perempuan berhijab era sekarang yang memunculkan stigma negatif bagi perempuan. Bahkan istilah ini sempat menjadi multitafsir pada masing-masing media sosial seperti twitter, instagram, threads, youtube, hingga tiktok.
Pasalnya definisi The Nurul’s menurut netijen Indonesia pada sebagian platfrom (salah satunya tiktok) sudah mengalami rebranding atau pergeseran makna. Apalagi setelah informasi viral yang disampaikan content creator tiktok pada youtube Deddy Corbuzier tersebut.
Mereka menghighlight The Nurul’s pada aspek fashion dan lifestylenya. Lebih detailnya, menurut popbela.com, netijen memberi label positif The Nurul’s sebagai perempuan frugal/minimalist lifestyle yang memajukan UMKM. Alasan mendasarnya karena mereka sering jajan seblak, mie gacoan, anak per-kopi-an dan pengendara scoopy.
Melansir dari kompasiana.com, mulanya sebagian warga sosial media (lebih spesifiknya di twitter) melabeli The Nurul’s dengan pandangan sebelah mata bahkan melontarkan stigma negatif. Perempuan yang cenderung misoginis (sindrom kebencian terhadap perempuan), homophobia, pick me bahkan sok agamis adalah beberapa statementnya.
Merangkum beberapa versi, stigma lain The Nurul’s mengarah pada perempuan berhijab atau muslimah kelas ekonomi menengah, yang kurang mencerminkan bahkan kontras dengan religiusitasnya. Seperti pada beberapa kasus mereka yang menganggap soju adalah halal, berjoget-joget di tempat umum, menggunakan vape, minum-minum, dan lain sebagainya.
Menyikapi Fenomena The Nurul’s
Setali tiga uang dengan fenomena Pick Me Girl, memandang fenomena ini juga memerlukan adanya kacamata sosial. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya kelas sosial dan internalized mysogyny sesama perempuan.
Prinsip mubadalah atau kesalingan yang diusung oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir juga bisa kita terapkan dalam rangka membangun relasi sosial secara umum, lebih spesifik lagi kepada sesama perempuan. Karena selain agar tidak membuat sekat antar perempuan, Girl Power juga akan membantu untuk mengantisipasi berkembangnya stereotip buruk masyarakat terhadap perempuan.
Adakalanya beberapa kritikan yang berkembang dalam fenomena ini pun bersifat subjektif dan tidak bisa disamaratakan. Perlu juga bagi kita kehati-hatian dalam memberikan informasi, agar tidak membuat statement general yang kemudian tidak mencerminkan realitas pada kelompok individu yang lain.
Melansir dari tirto.id yang merekomendasikan netijen untuk memberi kritik yang konstruktif dan tidak menghakimi hal-hal kecil. Sebagaimana yang kita ketahui, dunia digital memang selalu menyajikan penghakiman dari banyak orang karena perbedaan kelompok dan gaya hidup. []