Mubadalah.id – Sebelum membincang tentang aborsi korban perkosaan, ini adalah beberapa fakta tentang perkosaan. Yakni tindakan menyakiti orang lain secara seksual, yang berdampak pada fisik, psikis, dan masa depan. Perkosaan merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual. Perempuan yang menjadi korban perkosaan mengalami situasi dan kondisi yang sangat berat, secara fisik maupun psikis. Apalagi disertai kehamilan. Dia akan membenci kehamilannya, tidak menghendaki janin yang berada di rahimnya, sehingga selama kehamilan, bahkan setelah melahirkannya, akan terus membenci diri dan bayinya terus selama kehidupan mereka berdua.
Perempuan hamil korban perkosaan mengalami trauma psikologis dan merasa tidak berharga lagi di mata masyarakat. Hal ini dapat mendorongnya untuk melakukan aborsi ilegal yang bisa membahayakan nyawa korban itu sendiri. Yakni melalui cara-cara di luar medis, oleh tenaga non-medis yang tidak kompeten dan pada usia kandungan yang tidak memenuhi syarat medis. Dalam situasi seperti ini, perempuan yang hamil akibat perkosaan berbeda dengan perempuan biasa yang hamil dari hubungan yang suka sama suka. Di luar atau di dalam pernikahan.
Perkosaan adalah Haram
Perempuan adalah manusia dan setiap manusia adalah mulia di mata Allah Swt (Qs al-Isra’, 17: 70). Perkosaan adalah tindakan yang menyakiti fisik dan psikis perempuan, serta mengancam jiwa dan masa depannya. Ia merupakan salah satu bentuk kezaliman yang nyata terhadap perempuan. Hukum perkosaan adalah haram, sesuai dengan larangan menyakiti (QS. Al-Ahzab, 33: 58 dan Musnad Ahmad, no. 2287), membahayakan dan menzalimi orang lain (Sahih Bukhari, no. 2482 dan Sunan Ibn Majah, no. 2430). Perkosaan adalah tindakan yang menjerumuskan orang dalam bahaya dan kehancuran yang Islam haramkan. (QS. Al-Baqarah, 2: 195).
Laki-laki pemerkosa adalah pelaku kezaliman dan penista kemanusiaan perempuan. Mereka harus kita hukum dengan berat, dan kita mintai pertanggung-jawaban atas tindakannya. Sedangkan perempuan korban perkosaan adalah sasaran yang dipaksa, sehingga tidak boleh kita olok-olok (QS al-Hujuran, 49: 11) atau kita salahkan. (QS. Al-An’am, 6: 119).
Sebaliknya, ia harus dimaafkan (Sunan Ibn Majah, no. 2121), bahkan berhak atas ampunan, dukungan dan kasih sayang (QS. An-Nur, 24: 33). Secara nyata, perempuan korban perkosaan telah mengalami kezaliman dan pelemahan secara berlipat, baik secara fisik, psikis maupun sosial. Ia patut kita sebut dalam kategori mustadh’afin yang harus didukung dan ditolong (QS. an-Nisa, 4: 75), serta kita fasilitasi untuk bisa keluar dari kezaliman yang ia alami. (QS. Ibrahim, 14: 1).
Wajib Menolong Korban Perkosaan
Berbeda dari laki-laki pemerkosa atau diperkosa. Dampak buruk dan berbahaya secara psikis dan sosial bagi perempuan korban perkosaan adalah kehamilan yang pasti tidak ia kehendaki. Kehamilan ini mengancam fisik, psikis, moral, dan harga diri perempuan, termasuk keluarganya dan masyarakatnya secara berkelanjutan.
Lebih khusus, kehamilan ini melanggar hak reproduksi perempuan, membuatnya mengalami trauma psikologis, merasa tidak berharga di mata keluarga dan masyarakat, mengalami kesakitan fisik, dan bisa bertindak membahayakan dirinya. Dampak buruk dari kehamilan ini adalah jelas dan nyata perempuan korban perkosaan alami.
Islam sebagai agama kasih sayang (QS. Al-Anbiya, 21: 107), yang mendukung penuh kelompok mustadh’afin (QS. An-Nisa, 4: 75 dan Sunan Abu Dawud, no. 2594). Memerintahkan untuk selalu berbuat baik pada perempuan (Sunan Ibn Majah, no. 1924), dengan meringankan beban kehidupan dan memudahkan urusan-urusanya (Sahih Muslim, no. 7028), maka menolong perempuan korban perkosaan dari bahaya kehamilan adalah niscaya.
Pertolongan seperti demikian adalah masuk kategori saling menolong dalam kebaikan yang al-Qur’an perintahkan (QS. Al-Maidah, 5: 2. At-Taubah, 9: 71), perlindungan diri dari segala keburukan (QS. At-Tahrim, 66: 6), wabil khusus wasiat kebaikan pada perempuan yang Nabi Muhammad Saw ingatkan pada saat haji wada’, atau perpisahan (Sunan Ibn Majah, no. 1924).
Membiarkan perempuan korban perkosaan dalam bahaya kehamilan adalah melanggar prinsip-prinsip hukum Islam (maqashid syari’ah). Di antara prinsip yang utama adalah perlindungan agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), organ reproduksi (hifzh an-nasl), akal (hifzh al-‘aql) dan harta kekayaan (hifzh al-mal). Korban perkosaan yang mengalami kehamilan akan sulit mengamalkan hifzh ad-din. Karena akan menyalahkan takdir, menganggap Allah tidak adil, dan ketika tidak ada pertolongan dari umat Islam, ia bisa melihat Islam tidak berpihak bagi dirinya.
Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan
Banyak ulama kontemporer yang membolehkan penghentian kehamilan bagi perempuan korban perkosaan untuk membantunya memulihkan diri dan tidak terancam masa depannya secara fisik, psikis, maupun sosial. Dalam Fatwa Majlis Majlis Ulama Indonesia No. 04 Tahun 2005 membolehkan aborsi pada usia 40 hari kehamilan. Sementara, Majlis Ulama Eropa pada tahun 2008 membolehkan penghentian kehamilan bagi perempuan korban perkosaan selama usia kandungannya belum mencapai 120 hari.
Para ulama al-Azhar Mesir juga membolehkan aborsi ini dengan tiga pandangan berbeda mengenai batas usia kehamilan. Ada yang mengatakan aborsi boleh bagi korban perkosaan dalam usia kandungan berapapun. Tentu harus dengan layanan kesehatan yang aman dan tidak membahayakan perempuan.
Pandangan ini dianut Syekh al-Azhar, Ahmad Sayyid Thantawi dan Abdul Fattah as-Syaikh. Sedangkan pandangan yang kedua adalah yang membolehkan hanya dalam rentang usia kandungan sampai 120 hari. Lalu pandangan ketiga adalah yang membolehkan hanya pada rentang usia kandungan 40 hari (Murad, 2013: 15-17 dan al-Buhairi, 2007).
Pandangan kebolehan ini merujuk pada pertimbangan dasar hukum pentinganya menolong orang, meringankan kesusahan orang lain, kaidah hukum Islam dalam menghilangkan kerusakan (adh-dhararu yuzal), bahwa jiwa ibu yang sudah pasti lebih utama dari jiwa janin yang masih dalam kandungan (al-yaqin la yuzalu bisy-syakk), bahwa bahaya yang lebih besar harus dihilangkan lebih dulu (idza ta’aradhat mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma birtikab akhaffihima), dan bahwa bahaya dan kerusakan itu bisa membolehkan yang dilarang (adh-dharurat tubih al-mahzhurat).
Sementara perbedaan rentang waktu usia janin adalah terkait perbedaan pendapat dalam usia berapa seorang janin sudah dianggap manusia yang memperoleh tiupan jiwa kemanusiaan (ruh) oleh malaikat. Ada yang mengatakan pada usia 40 hari (Sahih Muslim, no. 6896), sehingga setelah itu penghentian kehamilan dianggap pembunuhan janin yang sudah berjiwa (ruh) manusia. Ada yang mengatakan peniupan itu pada usia 120 hari (Sahih Bukhari, no. 7544), sehingga sebelum itu masih sebatas penghentian kehamilan, baru setelahnya dipandang sebagai janin yang berjiwa manusia (ruh).
Yang utama dari ketiga pandangan di atas adalah pentingnya memberi pertolongan bagi jiwa perempuan yang hamil akibat perkosaan. Kebolehan penghentian kehamilan perempuan korban perkosaan ini, dengan syarat aman, bisa menjadi cara untuk menolongnya sebagai tuntutan Islam. Namun, jika aborsi justru akan mengancam jiwanya, maka kehamilan harus dia lanjutkan dengan tetap memberi perlindungan padanya. Memberinya dukungan, dan fasilitas kesehatan yang aman bagi dia dan janinnya. Wallahu a’lam. (bebarengan)