Mubadalah.id – Tidak secara spesifik bicara tentang ulama perempuan, buku Feminisme Kritis: Gender dan Kapitalisme dalam Pemikiran Nancy Fraser, di dalam sub babnya menyinggung soal kiprah mereka dengan term feminisme Islam. Meski istilah feminisme Islam sendiri kandung perdebatan akibat perbedaan pengalaman traumatik perempuan di bawah rezim fundamentalisme Islam Timur Tengah. Namun bagi perempuan muslim progresif Indonesia gerakan ini diakui Amin, kian dapat diperhitungkan visibilitasnya telah sejak lama, sekitar awal 1990-an.
Amin bahkan mencirikan mereka sebagai feminisme Islam faksi moderat (versus faksi konservatif) yang lebih terbuka dengan reinterpretasi agama. Nilai-nilai yang dibawa agenda pembangunan, dan juga instrumen-instrumen internasional perlindungan terhadap perempuan.
Menurut Amin gerakan ini juga mampu kritis dengan agenda pembangunan itu sendiri khususnya era Orde Baru, yang berkelindan dengan berbagai program gender dan pembangunan. Daya jangkau mereka sangat luas. Bahkan dengan kemampuan penggunaan bahasa agama, gagasan mereka relatif lebih bisa diterima di kalangan umat Islam sendiri.
Amin mengakui pula, ini kian menambah bobot legitimasi karena sejumlah aktivisnya juga adalah para tokoh agama, laki-laki dan perempuan, menulis buku-buku yang otoritatif, dan aktif dalam kerja-kerja pendidikan publik.
Feminisme Islam dalam Pandangan Nancy Fraser
Namun demikian, feminisme Islam dalam pandangan Fraser sebagaimana Amin ungkapkan, sebagai bagian dari ekspresi publik tanding yang terus berjuang dengan mengangkat perspektif pengalaman-pengalaman perempuan, bisa saja terjebak dan masuk dalam permainan neoliberalisme. Ini karena melihat dari kecenderungannya yang terfokus pada perdebatan kultural. Di mana aktivisnya ia nilai sibuk menghalau konservatisme keagamaan, tetapi terlupa dengan masalah-masalah struktural yang mendera kaum perempuan.
Tanpa kita sadari gerakan feminisme Islam bisa terseret ke dalam apa yang kita sebut sebagai logika tata kelola neoliberal di bidang keagamaan mengenai “muslim yang baik” versus “muslim yang buruk”. Memang tentu saja reformasi keagamaan sangat kita butuhkan. Sebab dengan itu perempuan dapat berpartisipasi di ruang publik. Namun memisahkan reformasi keagamaan dengan reformasi ekonomi politik dinilai akan tidak bisa mengangkat derajat perempuan. Termasuk perempuan muslim sendiri dari badai ketimpangan sosial.
Tapi mungkin kekhawatiran Fraser tidak akan sepenuhnya terjadi dalam gerakan feminisme Islam di Indonesia. Tesis demikian mungkin benar, hanya dalam satu sudut saja. Namun dalam gerakan yang sesungguhnya feminisme Islam justru telah terus berupaya merangkul berbagai ragam perbedaan yang berseberangan sekalipun. Termasuk dalam persoalan konservatisme keagamaan.
Gerakan Feminisme Islam Indonesia
Pada kenyataannya gerakan feminisme Islam Indonesia telah menawarkan ruang-ruang perjumpaan. Bahkan ‘meminta’ menyisakan ruang-ruang dialektika, bagi setiap perbedaan pandangan. Gerakan feminisme Islam yang telah bersepakat mengokohkan eksistensi ‘keulamaan perempuannya. Melalui Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI I dan II), kedepan akan makin merangkul setiap yang rentan, untuk duduk bersama dengan setara. Yakni membangun dialog konstruktif yang lebih resiprokal, timbal-balik (mubadalah), terus-menerus, demi tujuan-tujuan agung mencapai keadilan, kemaslahan kehidupan yang hakiki.
Hal ini sesungguhnya telah lama disuarakan dan diupayakan banyak kalangan feminis muslim Indonesia, dan diharapkan akan semakin terjadi hari-hari ini dan kian banyak dilakukan ke depan; Termasuk identifikasi setiap yang berlawanan, merangkul setiap yang rentan dan menempatkannya dalam pergaulan sosial arus utama. Memfasilitasi dialog konstruktif yang timbal-balik, terus-menerus, serta menjadikannya evaluasi bersama setiap pertemuan kongres keulamaan perempuan berlangsung.
Maka hal itu berarti dalam kongres kelak kepesertaan akan makin tak terbatas, dan tak bisa kita batasi. Karena harapannya akan semakin melibatkan setiap yang berseberangan dan rentan. Bukan saja mereka yang telah menjadi korban dan atau sekaligus pelaku gagasan-gagasan ‘konservatisme’ keagamaan.
Ruh Agama dalam Feminisme Islam
Elemen-elemen gerakan feminisme Islam di Indonesia sesungguhnya telah berupaya dan akan terus mencoba ‘hidup bersama’ di dalam ruang publik. Mengartikulasikan apa yang jadi keyakinan sebagai keadilan, sambil terus mengusahakan bersama berbagai bentuk kesejahteraan. Dengan begitu kekhawatiran Fraser, tak akan terejawantahkan dalam pengalaman feminisme Islam Indonesia. Yakni berupa terjebak dalam perangkap neoliberal.
Bahkan lebih dari itu, sebagaimana yang Fraser cita-citakan sendiri sebagai ideal, ruh agama yang melekat pada gerakan feminisme Islam akan ikut terlibat dalam perjuangan lintas batas. Karena agama yang dimaksud bukan lagi politik identitas dalam pengertian yang sempit. Melainkan segala yang bersumber dari tradisi dan wahyu, yang memiliki segala kekuatan intuisi moral kebaikan.
Demikianlah. Amin Mudzakkir, sesungguhnya dalam bukunya banyak lagi mengungkapkan soal ketimpangan sosial dan usaha perjuangannya akibat gelombang kebijakan ekonomi politik ‘pasca-sosialis’. Membahas banyak persoalan gerakan perempuan dengan pisau analisa tajam. Bahkan hingga bahas polemik/ krisis kepengasuhan yang banyak kita hadapi. Bahkan tak jarang jadi bumerang bagi gerakan perempuan akibat kapitalisme akut yang mendera baik kaum laki-laki maupun perempuan sekaligus. []