Mubadalah.id – Ketika membaca judul artikel ini, sudahkah kalian berimajinasi dan membayangkan hidup yang berkualitas ? atau berpikir apakah bisa menemukan identitas diri dengan imajinasi? Nah tulisan ini akan sedikit menyemai hal tersebut.
Selayaknya manusia, imajinasi bergumul dengannya ketika berada dalam ruang kosong dan hampa. Contoh saja, ketika akan tidur mengkhayalkan ketiban uang saat bangun nanti, ketika BAB kreatifitas fikiran lebih imajiner dan banyak ide-ide baru muncul, juga ketika melamun mengkhayalkan masa depan yang cerah.
Hal itu menggambarkan bahwa imajinasi memiliki posisi sangat dekat dengan kita, bahkan berpotensi menentukan identitas manusia seutuhnya.
Sementara itu, tepat era digital ini, banyak orang berlarian dari kenyataan hidup menuju dunia imajinasi. Media sosial, game online, film, dan novel menjadi pelarian dari tekanan hidup sehari-hari. Namun, muncul pertanyaan mendasar: bisakah seseorang hidup hanya dengan berimajinasi? Dan bagaimana Islam memandang hal ini?
Imajinasi, Oase Yang Tak Bisa Terlupakan
Paradoks kontemporer menunjukkan dua kutub ekstrem: satu kelompok tekun belajar agama namun mengabaikan aspek imajinal, sementara yang lain menekankan imajinasi tapi melupakan dasar spiritualnya. Atmosfer modern yang amat sempit ini memaksa keterbatasan daya pikir yang imajiner karena informasi melesat secara heterogen, menciptakan cognitive overload yang menghambat kontemplasi mendalam.
Dalam konteks Islam, imajinasi ini memiliki peran krusial ketika pewahyuan Al-Qur’an. Misalnya, gagasan besar Nabi untuk “mengubah dunia manusia” merupakan bagian dari daya kreativitas yang wujud melalui (imajinasi kenabian) yang begitu luar biasa.
Teori filosof Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina menekankan pentingnya imajinasi (khayal) Nabi sebagai jembatan antara alam inderawi dan dunia spiritual yang gaib. Bagi sang sufi terkemuka, Ibn Al-Arabi, secara mikro kosmos (manusia) imajinasi merupakan alam yang menjembatani antara ranah spiritual dan fisik manusia. Dengan kata lain, imajinasi mengkombinasi antara daya fikir dan tindakan manusia yang seimbang.
Islam memiliki konsep dasar imajinasi yang kerap kita dengar dengan istilah Takhayul atau ‘alam khayali. Namun tidak semudah menyobek kertas memahaminya. Maka perlu saya tekankan, makna khayali tersebut lebih dekat dengan arti “imajinasi” ketimbang kata “khayal” meskipun keduanya serapan dari kosa kata Arab. Alhasil, khayali yang termaksud adalah alam imajinal, bukan alam fantasi.
Lebih jauh, Al-Qur’an juga menjadi sumber imajinasi bagi seluruh manusia. Bagi penganutnya, Al-Qur’an pedoman wajib untuk hidup. Sedangkan bagi non-muslim, Al-Qur’an menjadi ancaman serius bagi kalangan yang sensitif dan beranggapan bahwa ia adalah ciptaan Nabi (manusia).
Namun, hal demikian terbantahkan dengan hadirnya Musaylamah Al-Kadzab (Nabi palsu) serta karya-karya non-muslim yang berusaha menandingi Al-Qur’an, seperti Finnegans Wake. Alih-alih menandingi Al-Qur’an, tabir terbuka lebar dan mengungkap kebenaran bahwa karya-karya tersebut terinspirasi serta terimajinasi dari indahnya kosakata Al-Qur’an.
Maka saat ini dapat saya asumsikan bahwa imajinasi merupakan ranahnya agama dan menjadi kekuatan utama manusia dalam menjalani hidup dan bekal untuk meneruskan peradaban manusia.
Identitas Manusia vis a vis Simbol Hidup
Nabi Adam ketika diciptakan untuk menjadi khalifah fil ardh wajib baginya mengenal identitas ciptaan Allah Swt yang ada dalam perut bumi. Melalui surat Al-Baqarah ayat 31, Allah Swt mengajarkan Adam agar mengenal nama-nama benda yang ada di bumi dengan simbol-simbol tertentu.
Mengapa kok simbol? karena simbol merupakan mediator paling sederhana untuk menciptakan makna. Para pakar Hermeneutika sepakat bahwasannya manusia hidup tidak akan lepas dari simbol. Pun bagi filsuf jerman, Ernst Cassirer, ia menyebut manusia merupakan “animal symbolicum” makhluk yang mendefinisikan dirinya melalui kemampuan menciptakan dan memahami simbol.
Relasi antara Imajinasi dengan identitas manusia terjalin erat ketika membicarakan hal-hal krusial secara kolektif. Terlebih Gen Z, yang terkenal generasi cemas itu, suka bermalas-malasan jika berjuang secara personal, namun melenting ketika berkelompok.
Identitas manusia, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang given atau alamiah, melainkan konstruksi yang terus-menerus terbangun melalui interaksi dengan simbol-simbol hidup. Setiap aspek kehidupan manusia dari bahasa, ritual keseharian, hingga cara berpakaian adalah manifestasi dari proses simbolisasi yang mendalam.
Kesalingan antara Imajinasi dan identitas demi keseimbangan peradaban yakni. Alam imajiner membuat manusia mampu menciptakan realitas simbolik: seperti hukum, negara, uang, Tuhan, bangsa hal-hal yang tidak ada secara biologis, tapi hidup dan diimani secara sosial.
Sementara Identitas manusia berperan memelihara dan mereproduksi imajinasi kolektif. Oleh karena itu, peradaban manusia adalah hasil dari imajinasi kolektif yang menjadi identitas bersama; keduanya saling menghidupi dan menciptakan tatanan sosial yang kompleks. []