Mubadalah.id – Victim blaming merupakan sikap yang menyudutkan serta menyalahkan korban kekerasan seksual, bahkan korban diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dialami. Istilah victim blaming mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita saat ini. Fenomena tersebut biasanya lebih sering tertuju pada korban kasus kekerasan, pelecehan, dan penyerangan seksual hingga pemerkosaan.
Misalnya, ketika seorang perempuan mengalami tindakan pelecehan seksual. Lalu beberapa orang menganggap atau bahkan menuduh kejadian tersebut ialah merupakan akibat dari kesalahan tindakan perempuan itu sendiri. Bahkan, menuntut korban supaya bertanggungjawab atas kerugian dari kejahatan yang telah dialaminya. Anggapan seperti itu merupakan victim blaming atau anggapan yang menyalahkan korban.
Dewasa ini, bukannya menyudutkan si pelaku, publik justru masih banyak yang mencari-cari kesalahan korban. Hal tersebut tentu membuat korban seolah tidak ada serta menghiraukan perasaan dan nilai kemanusiaan. Sikap victim blaming dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap korban, membuat korban menerima beban ganda dari satu tragedi kejahatan seksual, korban mengalami kekerasan seksual sekaligus penyalahan dari sebagian masyarakat.
Kekerasan Seksual
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang marak terjadi menyebabkan perempuan merasa takut meskipun untuk sekedar keluar rumah. Kekerasan seksual yang marak terjadi dewasa ini tidak cuma berbentuk fisik, bahkan juga dalam bentuk verbal. Kekerasan seksual fisik pada umumnya mengarah pada ajakan seksual, seperti meraba, menyentuh, mencium, hingga memaksa orang lain untuk berhubungan seks tanpa adanya persetujuan dari korban.
Sedangkan kekerasan dalam bentuk verbal, seperti catcalling yang apabila memakluminya akan mengarah pada pelecehan dalam bentuk fisik. Di ruang public, catcalling seringkali dianggap sebagai hal yang sepele, bahkan tidak dianggap sebagai suatu pelecehan. Seperti siulan terhadap perempuan yang lewat atau ucapan-ucapan godaan didepan umum. Catcalling merupakan sebuah pelecehan karena perbuatan tersebut menyebabkan orang lain tidak nyaman.
Bagi korban, kekerasan seksual yang dialaminya tentu akan menjadi beban berat, bahkan menjadi kejadian yang tak akan pernah bisa mereka lupakan selama hidupnya. Hal tersebut dikarenakan sesuatu yang sangat berharga darinya telah terenggut dan dirampas oleh orang tak bertanggung jawab.
Hal-hal seperti di atas akan membuat korban memiliki anggapan bahwa kejadian tersebut merupakan aib baginya. Meskipun kejadian tersebut terjadi di luar atau tanpa persetujuan korban. Jika kondisi seperti ini dibiarkan atau bahkan dianggap hal biasa terjadi di masyarakat, maka akan sangat berbahaya terhadap kesehatan mental korban, seperti trauma atau depresi, bahkan bisa sampai mengarahkan korban bunuh diri.
Menyalahkan Korban
Kurang tegasnya sanksi yang diberikan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Justru sebaliknya, dapat memicu seseorang berbuat pelecehan seenaknya, tanpa rasa takut apabila korban melaporkannya. Bahkan, lebih parah, alih-alih memberikan sanksi serta efek jera bagi pelaku, justru malah menjadi berbalik dengan menyalahkan korban yang sepatutnya mendapatkan perlindungan. Lebih dari itu, korban sering kali diminta bertanggung jawab atas kejahatan yang merugikan mereka.
Orang menyalahkan korban biasanya karena hanya ingin mencari aman. Orang-orang seperti itu tidak ingin hal-hal buruk menimpa mereka. Dalam kasus kekerasan seksual yang disalahkan biasanya justru pihak korban, misalnya perempuan. Jenis pakaian korban yang dikenakan saat kejadian biasanya dijadikan alasan. Selain itu, keluar malam sendirian tanpa teman, hidup dalam lingkungan yang kurang mendukung atau ekslokalisasi, dan alasan lainnya.
Bentuk-bentuk perilaku victim blaming antara lain, tidak percaya terhadap cerita korban, menyalahkan korban, tuduhan sama-sama mau, memaklumi atau menganggap wajar kekerasan yang dialami korban, hingga perlakuan yang tidak sesuai setelah kejadian oleh pihak yang mempunyai otoritas.
Orang-orang yang melakukan victim blaming biasanya malah orang-orang dekat korban sendiri, seperti teman, keluarga, bahkan pihak-pihak lain seperti polisi, hakim, tenaga medis, dan lainnya. Akan tetapi, korban juga kerap kali disalahkan oleh orang yang tidak dikenal, apalagi ketika kasus yang dialaminya menjadi buah bibir.
Perilaku victim blaming seperti di atas tentu akan menjadi beban ganda bagi korban, karena membuat korban kesulitan untuk melawan. Bahkan, korban akan kesulitan ketika hendak melaporkan kejadian yang telah dialaminya, baik kepada orang terdekatnya atau bahkan kepada pihak berwenang yang mempunyai otoritas. Victim blaming justru akan memperkuat pelaku dan menjadikannya bak seorang predator yang tak terkalahkan. Padahal, korban tidak seharusnya mendapat hukuman atas tindakan kejahatan yang bahkan sama sekali tidak di inginkan.
Batasan yang Harus Dipahami
Mengaitkan ‘nafsu binatang’ pelaku dengan pakaian yang dikenakan korban merupakan hal yang salah kaprah. Karena meski sudah menggunakan pakaian yang tertutup, memakai jilbab, cadar, bahkan menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan lawan jenis sekalipun, apabila akal pikiran pelaku sudah tidak waras dan nafsunya meronta-ronta, pelecehan dan kekerasan seksual akan tetap terjadi.
Islam merupakan agama yang sempurna, seperti yang diungkapkan Aridhanyati Arifin, seorang Dosen Informatika Universitas Islam Indonesia (UII) dalam tulisannya bahwa Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kejahatan seksual. Seperti dijelaskan dalam QS An-Nur ayat 33 yang artinya: “…dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kesopanan, memerangi terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan seksual. Seperti menjaga pandangan, menahan nafsu, dan melakukan tindakan kekerasan atau pelecehan lainnya. Bukan malah menjadikan seseorang sebagai objek dalam melampiaskan hawa nafsu belaka.
Untuk itu, penulis hendak mengajak para pembaca untuk mendukung, melindungi, dan memberikan empati terhadap korban kekerasan, dan pelecehan seksual yang berani menyuarakan kejahatan yang dialaminya. Mari sama-sama menghindari perilaku victim blaming, dan lebih peduli dengan menaruh perhatian pada kondisi fisik dan mental korban.
Upaya tersebut bisa dilakukan dari hal-hal kecil, seperti mendengarkan cerita korban, mempercayainya, dan mendukung serta membantu mereka untuk speak up. Dan yang tidak kalah penting, kita jangan pernah menganggap cat calling sebagai hal sepele. Sebab, jika kita anggap wajar, dengan tanpa sadar hal tersebut dapat memperparah kerusakan moral. []