Mubadalah.id – Secara sederhana, visi pesantren didirikan dalam rangka untuk mendidik, melatih, dan menanamkan nilai-nilai luhur (akhlakul karimah) kepada para santri.
Hal itu, bertujuan untuk melatih dan mendidik para santri untuk hidup sederhana, ikhlas, mandiri, bertoleransi, menerima keberagaman dan lain-lain.
Atas dasar seperti di atas, KH. Husein Muhammad seperti dikutip di dalam buku Islam Tradisional yang Terus Bergerak menjelaskan bahwa visi pesantren adalah sebagai kerangka agama dan untuk mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Para kiai pesantren biasa menyebutnya sebagai tafaqquh fiddin (pendalaman agama). Tujuan ini merujuk pada teks suci al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Dalam al-Qur’an, disebutkan:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya : Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah ayat 122).
Sementara, dari hadis yang sering dikutip para kiai adalah bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Barang siapa ingin menjadi baik, maka diberikan kepadanya pengetahuan agama.”
Pada umumnya, pengetahuan agama di sini diartikan sebagai pengetahuan membaca al-Qur’an, ilmu tafsir, fiqh, tauhid, akhlak, dan sejenisnya. Pengetahuan-pengetahuan ini dinyatakan sebagai ilmu-ilmu utama yang wajib dipelajari oleh setiap muslim.
Akan tetapi, lebih dari itu, pesantren memberi makna lebih dalam dari kata tafaqquh fiddin tersebut. Ia bukan sekadar pengetahuan dalam ilmu-ilmu arti eksoterik (ilmu lahir), seperti fiqh, melainkan sampai kepada pengetahuan esoterik (ilmu batin).
Pada masa-masa awal, pesantren yang memfokuskan diri pada pendidikan dan pelatihan membersihkan hati nurani atau jiwa jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan dan pelatihan akal pikiran. (Rul)