Mubadalah.id – Pada peritiwa penangkapan seorang terdakwa terorisme, publik acapkali fokus pada sosok pelaku, darimana doktrin yang ia dapat, dan jaringan-jaringannya yang turut serta. Namun publik seringkali lupa untuk mengkaji, meminta pendapat, dan mengetahui keberadaan istrinya. Padahal istri memiliki posisi dan peran dalam aktivitas suami yang terlibat terorisme.
Dengan kata lain, istri menjadi sosok penting dalam kehidupan para pelaku teroris. Melalui pernikahan dengan pelaku teroris, istri memiliki kepentingan ketika suaminya tertangkap, tertuduh, dan menjadi tersangka kasus terorisme. Hal tersebut dikarenakan suami menjadi sosok tunggal sebagai panutan sekaligus pemimpin dalam keluarga mereka. Apabila pemimpin tersebut meninggalkan anggota keluarga, memberikan dampak besar dalam keberlangsungan kehidupan istri dan anak-anaknya.
Kira-kira bagaimana relasi suami istri menurut istri eks narapidana terorisme?
Dari penelitian Fitria Sari, dkk (2018), ditemukan fakta bahwa ada masa tertentu yang membuat para istri eks pidana terorisme merasa gelisah dengan kondisi perekenomian rumah tangganya. Salah satu penyebabnya yaitu keterbatasan pekerjaan dari suami. Pada akhirnya para istrilah yang menyambung perekonomian keluarga, baik ketika suami berada di penjara maupun setelah keluar penjara.
Menitipkan kue-kue ke toko kelontong, menjahit baju, menjadi buruh cuci baju adalah beberapa pekerjaan yang mereka lakukan. Di samping pekerjaan rumah tangga lainnya seperti antar jemput anak sekolah, mengurus rumah, memasak, dan menyiapkan semua kebutuhan rumah tangga. Dalam prosesnya, mereka mengaku selalu mendapatkan upaya penenangan dan penghiburan dari sang suami untuk sabar dengan keterbatasan ekonomi.
Keterbatasan ekonomi inilah yang pada akhirnya mengantarkan pada keputusan untuk menggunakan pengatur jarak kehamilan (kontrasepsi kalender). Mereka juga memiliki pendapat pengecualian bahwa apabila ada kondisi-kondisi tertentu dari sisi kesehatan dan medis yang mengharuskan menggunakan alat kontrasepsi, maka hal itu dapat menjadi pertimbangan untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Aktivitas dan pekerjaan yang dilakukan oleh istri di luar rumah tidak boleh disembunyikan dari suami. Istri harus tetap meminta izin suami ketika akan bepergian, baik untuk bekerja maupun untuk hal lainnya. Namun istri tidak wajib mengetahui kondisi dan aktivitas yang dijalani suaminya selama ini.
Hal ini sejalan dengan adanya ideologi esktrimis, bahwa suami wajib mengetahui urusan dan kegiatan sang istri karena ia bertanggung jawab atas dosa yang diperbuat oleh istri. Para istri meyakini bahwa apapun beban yang mereka rasakan saat ini sama sekali tak merubah posisi suami sebagai kepala rumah tangga.
Double burden (peran ganda) yang dijalani oleh istri eks narapidana teroris ini bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilakukan. Ia harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, harus merawat kebutuhan rumah, dan di saat yang sama harus menahan beban psikis dan mental akibat judgment dari masyarakat sekitar atas tindakan yang dilakukan suami.
Beban kerja berat yang harus dijalankan istri hanya karena ia seorang perempuan jelas tidak mencerminkan keadilan gender. Peran ganda ini telah membelenggu perempuan, dan memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Sehingga tujuan untuk mensejajarkan peran laki-laki dan perempuan baik dalam ranah domestik maupun publik semakin jauh panggang dari api.
Relasi suami istri yang dibangun oleh istri eks narapidana terorisme ini memperkuat budaya patriarkis, yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Hal ini diperparah dengan narasi ekstrimis yang menuntut kesalihan istri namun mengenyampingkan tanggungjawab suami.
Perempuan wajib dan harus menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu dengan segala konsekuensinya dan tanpa mengenal negosiasi. Namun diberlakukan pengecualian bagi laki-laki yang tidak mampu memberi nafkah lahir yang layak. Padahal nafkah adalah kewajiban laki-laki yang menyebabkan ke qowwam-annya berlaku. Keterbatasan nafkah dianggap sebagai cobaan dari yang Maha kuasa, dan ditenangkan dengan kecukupan yang akan mereka peroleh di akhirat jika mereka bersabar.
Imajinasi surga menjadi jawaban pamungkas tentang perjuangan yang dirasakan oleh sang istri. Imajinasi tentang surga tidak secara tiba-tiba lahir, melainkan juga diiringi oleh ideologi tentang ketaatan serta kepatuhan kepada suami. Penerimaan kondisi apapun merupakan bentuk kesalehan istri. Logika yang tidak bisa dijawab secara pergulatan dan relasi dari dalam diri istri berusaha diarahkan kepada doktrin keagamaan yang kemudian terinternalisasi.
Melalui doktrin ideologi tersebut, muncul sebuah mekanisme kontrol kepada perempuan tentang imajinasi surga. Dapat dikatakan bahwa tidak ada penyangkalan tentang posisi suami dan imajinasi tentang surga (male senter). Sang istri yang patuh dan tunduk kepada suami juga tidak perlu mendapatkan perhitungan dan penyiksaan di akhirat.
Kepatuhan ini disebabkan karena dorongan narasi ekstremis bahwa semakin taat dan semakin sabar istri kepada keadaan suami menandakan tingkat keimanan istri. Maka meskipun tak mendapat nafkah lahiriah secara layak, bahkan harus menanggung kewajiban yang nyatanya menjadi tanggungjawab suami, tak menyurutkan kewajiban istri untuk tetap menaati suami.
Subordinasi dan peran ganda yang berat pada istri eks narapidana terorisme ini seharusnya menjadi bahan counter narasi ekstremisme supaya tidak semakin melemahkan perempuan. Kontra narasi ekstrimisme ini bisa dilakukan dengan memperbanyak kajian tafsir inklusif yang memanusiakan manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulai.
Kemuliaan manusia ini tidak dilihat dari jenis kelamin, suku, warna kulit, maupun bahasanya. Namun kemuliaan manusia ditentukan oleh ketaatan-Nya kepada Tuhan. Pun surga tak hanya diisi oleh istri-istri yang mentaati suami, namun juga diisi para suami yang wajib mengayomi, menghargai, memenuhi kewajibannya terhadap istri.
Masifikasi kajian relasi laki-laki dan perempuan melalui pendekatan historis-sosiologis juga perlu segera dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai motif dan aspek historis dari narasi-narasi ekstrimis. Sehingga tak lagi menomorduakan perempuan dengan berlindung dibawah teks-teks ekstrimis yang tekstual. []