Mubadalah.id – Dalam Islam, wali yang adalah orang yang bertanggung jawab melangsungkan ucapan akad nikah.
Lazimnya, akad nikah berlangsung antara dua laki-laki calon mempelai laki-laki dan wali dari keluarga calon mempelai perempuan.
Wali dari pihak perempuan ini bisa saja mewakilkan pengucapan akad nikah tersebut kepada tokoh agama atau pejabat pemerintah dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang keduanya selalu laki-laki.
Lalu, dalam Islam bolehkah perempuan menjadi wali dalam akad nikah?. Bukankah perempuan diperbolehkan, dan sudah banyak terjadi, melangsungkan semua akad-akad ekonomi, sosial, dan politik?. Mengapa perempuan tidak boleh dan tidak ada yang menjadi wali dalam pernikahan?.
Maka dalam hal ini, setidaknya ada dua pembahasan:
Pertama, perempuan yang menjadi wali nikah bagi dirinya sendiri. Sehingga ia bisa melangsungkan sendiri akad nikahnya, sebagaimana calon mempelai laki-laki, tanpa perlu wali dari keluarganya yang laki-laki.
Dalam kondisi ini, termasuk juga perempuan yang mewakilkan ucapan akad nikah untuk dirinya sendiri kepada orang lain, baik tokoh agama, keluarga, maupun pejabat pemerintah.
Kedua, perempuan yang menjadi wali nikah untuk orang lain, yang bertanggung jawab melangsungkan atau mengucapkan akad nikah untuk kepentingan orang tersebut yang di bawah perwaliannya.
Pandangan Ulama Fikih
Mayoritas ulama fikih, terutama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, melarang perempuan menjadi wali nikah, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Akad nikah yang dilangsungkan oleh perempuan adalah tidak sah.
Sementara Mazhab Hanafi memperbolehkan perempuan yang sudah dewasa dan mampu berpikir secara baik untuk melangsungkan akad nikah bagi hidupnya sendiri.
Sekalipun yang lebih baik adalah mewakilkan kepada walinya, atau akad nikah yang dilangsungkan perempuan untuk dirinya sendiri adalah sah.
Mayoritas ulama fikih dan ulama Mazhab Hanafi memiliki argumentasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung pandangan mereka masing-masing.
Ayat-ayat ini secara umum tidak eksplisit memihak salah satu pandangan. Namun, ayatayat ini menjadi sangat logis untuk menjadi dasar bagi dua pandangan yang berseberangan tersebut.
Masing-masing pandangan juga mengajukan argumentasi dari teks-teks Hadis yang mereka anggap relevan dan mendukung. []