Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Ali al-Syahud dalam kitab al-Wajiz fi Huquq al-Awlad fi al-Islam tentang hak anak dalam Islam, maka ia menghimpunnya menjadi dua puluh lima kategori hak anak.
Salah satu kategori dari hak anak itu, seperti hak untuk dilahirkan dari kedua orang tua yang shalih dan shalihah, dan hak ketika sudah cukup umur. Kemudian hak untuk dinikahkan dengan calon suami yang shalih atau istri yang shalihah.
Di antara rentang keduanya ada 23 hak lain, seperti hak dari kedua orang tuanya dalam hubungan intim yang syariat dan sesuai sunnah.
Kemudian hak perlindungan kehidupan saat janin, hak menyabut dengan gembira saat lahir, hak penyambutan sesuai sunnah, dan hak menerima secara ridha kepada Allah Swt atas jenis kelamin anak tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan.
Lalu, hak menyusui selam 2 tahun, hak asuh oleh ibu, hak perawatan dan perhatian pada usia 6 tahun pertama. Hak nafkah dari rizki yang halal, hak untuk dapat pendidikan agama seperti shalat, berpuasa dan bersedekah.
Serta, hak untuk mendapat pendidikan bagaimana adab keluar masuk rumah, hak mendapatkan keadilan. Hak memiliki sahabat sebaya yang shalih, mendapatkan hak fasilitas permainan yang bermanfaat, dan hak memperoleh tanggungan nafkah sampai usia dewasa.
Hingga, hak kasih sayang, hak pendidikan secara umum, hak mendapatkan pendidikan dari kedua orang tua. Hak untuk mendapatkan teladan-teladan agung dalam Islam, adab-adab relasi sosial, dan tentang hukum-hukum terkait remaja dan orang dewasa.
Pandangan Muhammad Sa’d Abd al-Ma’bud
Sementara itu, hukum-hukum yang terkait perbuatan-perbuatan orang dewasa terhadap anak ini, bagi penulis kontemporer seperti Muhammad Sa’d Abd al-Ma’bud menyebutkan bahwa ia mengekspresikan sebagai hak-hak anak dalam Islam.
Hukum-hukum ini juga seringkali menjadi tradisi fikih klasik, tanpa ada reinterpretasi untuk memastikan kebutuhan anak terpenuhi. Dan tidak juga dengan mengaitkan dengan kerangka maqashid al-syari’ah.
Sehingga, bisa dikatakan, pembahasan hak anak dalam fikih kontemporer hanya merupakan dampak saja dari pembahasan mengenai tanggungjawab orang dewasa terhadapnya. Dengan pendekatan ini, hak anak bukan menjadi pembahasan yang utama. (Rul)