Mubadalah.id – Berbicara tentang toleransi Nabi dalam agama Islam, maka kita tidak bisa lepas dari kisah hidup Nabi Muhammad saw. Sepanjang hidupnya, beliau tinggal dalam komunitas majemuk. Baik di Mekah maupun Madinah, Nabi saw. selalu hidup berdampingan dengan komunitas yang homogen suku, kabilah hingga agama.
Bahkan, dalam membawa risalah agama Islam, beliau selalu mendapatkan siksaan dan perundungan dengan berbagai macam bentuknya dari mereka yang berbeda dengan beliau. Mulai cibiran hingga percobaan pembunuhan.
Namun sebagai manusia mulia, manusia pilihan yang mendapatkan tanggung jawab besar untuk membawa agama yang fitrah, beliau mampu melewati semua tantangan itu dengan baik. Alih-alih menaruh dendam, beliau justru menampilkan sikap penuh toleransi. Dan inilah wajah toleransi Nabi kita.
Memaafkan, tidak menyakiti hingga menaruh belas kasih kepada mereka yang bersikap keji kepada beliau. Mulai dari kehidupan sehari-hari hingga pada momentum tertentu beliau tetap konsisten bersikap toleran. Bahkan dalam peperangan, beliau sering kali tetap menampilkan sikap toleran.
Dari semua konfrontasi dengan kafir yang terjadi, banyak terdapat kisah di mana Nabi saw. menampilkan toleransi tingkat tinggi. Sikap toleransi Nabi saw. memilih untuk menghormati nyawa dan kehidupan lawannya meski dalam kondisi unggul. Terdapat pula kisah ketika Nabi saw. menganjurkan, alih-alih melarang para muslim saat itu untuk belajar kepada musuh mereka.
Berikut penulis sajikan tiga kisah fenomenal sikap toleransi Nabi saw. dalam peperangan melawan orang kafir.
Tawanan Perang Badar
Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Saat itu, dengan jumlah pasukan hanya 313 orang, Nabi saw. dan orang muslim berhasil mengalahkan 950 pasukan Quraisy. 70 orang mati dan 70 orang lagi menjadi tawanan orang muslim.
Perang dengan kemenangan pihak muslim tersebut tidak membuat Nabi saw. sewenang-wenang. Justru beliau menampilkan sejumlah sikap toleransi Nabi yang layak menjadi teladan oleh umatnya. Pertama, beliau memerintahkan agar semua mayat yang ada, baik muslim maupun musyrik untuk dikuburkan. Alih-alih membiarkan mayat lawan, beliau tetap memberikan penghormatan terakhir kepada mereka yang semasa hidupnya melawan dan menyakiti.
Kedua, terkait dengan tawanan perang Badar, Nabi saw. tidak mengambil keputusan secara sepihak. Beliau melakukan musyawarah dengan para sahabat apa yang sekiranya layak dilakukan. Saat itu, Umar bin Khattab menyarankan agar mereka dibunuh saja. Karena andai mereka dilepaskan, kelak akan ada kemungkinan mereka akan kembali melawan Nabi saw.
Sementara Abu Bakar, justru menyarakan sikap yang lebih lunak. Beliau menyarankan Nabi saw. untuk mengambil tebusan dari mereka. Mendengar pendapat ini, Nabi saw. setuju dan melaksanakan hal tersebut. Tawanan yang mampu, diminta untuk membayar harga kebebasan sejumlah 1000-4000 dirham.
Sementara untuk mereka yang tidak memiliki harta dan kebetulan memiliki keahlian baca tulis, Nabi saw. memberikan tebusan yang sangat solutif. Beliau memberikan 10 anak Madinah untuk diajari membaca dan menulis. Jasa itulah yang kemudian menjadi penebus kebebasan oleh Nabi saw.
Mustafa bin Hasani menyebutkan bahwa pilihan toleransi Nabi saw, untuk mengambil tebusan dari pada membunuh tawanan, adalah satu sikap yang sesuai dengan nilai dakwah serta misi besar Nabi saw. membawa akhlak yang mulia.
Karena dengan begitu, secara tidak langsung Islam sudah dicitrakan dengan lemah lembut, pemaaf serta solutif. Selain itu, besar harapan mereka agar membiarkan hidup. Hingga pada saatnya nanti akan masuk Islam atau setidaknya melahirkan anak-anak yang beragama Islam. Subhanallah.
Kisah Du’tsur
Pada tahun ketiga Hijriyah, terjadi konflik antara umat Islam dengan masyarakat Yahudi Bani Ghathafan. Mereka bermaksud untuk menyerang Madinah yang notabene adalah basis Islam terbesar. Nabi saw. dan sejumlah sahabat pun bersiap untuk menghadang mereka.
Singkat cerita, di tengah perjalanan terjadi hujan hingga membasahi baju yang Nabi pakai. sembari menunggu pakaiannya kering, Nabi saw. beristirahat di bawah pohon. Sementara umat muslim istirahat di lain tempat.
Nabi saw. terlihat oleh seorang laki-laki yang bernama Du’tsur. Dengan garang, dia menghunuskan pedang kepada Nabi saw. sembari berkata: “sekarang, siapa yang akan melindungimu, wahai Muhammad?” Nabi saw. pun menjawab: “Allah swt.” secara ajaib, Du’tsur tiba-tiba gemetar ketakutan. Hingga pedang yang dihunusnya terjatuh ke tanah.
Nabi pun mengambilnya dan mengarahkan pedang tersebut kepada Du’tsur. “Sekarang, siapa yang akan melindungimu?” Du’tsur menjawab: “tidak ada!” Nabi saw. lalu memaafkan dan melepas pedang tersebut.du’tsur tersungkur dan menyatakan keimanannya.
Dengan sifat pemaaf dan toleransi Nabi saw., beliau mampu mengubah mereka yang benar-benar membencinya menjadi berbalik mencintai sepenuh hati. Mereka yang sebelumnya berhati gelap dan membenci Islam, tak terduga mendapat hidayah dan mencintai Islam sepenuh hati.
Buntut dari peristiwa tersebut, Du’tsur menjadi perantara kaumnya masuk Islam. Perang dengan Bani Ghathafan pun urung terjadi, berkat kelembutan dan sikap toleran yang Nabi saw. teladankan.
Kisah Zaid bin Tsabit
Sejak tahun-tahun awal hijrah ke Madinah, konfrontasi dan konflik kepentingan dengan kaum Yahudi sering terjadi. Pada tahun keempat Hijriyah Nabi saw. pun mengambil tindakan dengan menyuruh sekretarisnya, Zaid bin Tsabit untuk belajar baca tulis abjad yang umat Yahudi gunakan. Perintah ini bertujuan agar antara umat Islam dan Yahudi tercipta korespondensi positif sehingga dapat mengurangi konflik.
Tindakan ini juga menjawab banyak pertanyan yang kerap terlontarkan oleh radikalis. Tentang bagaimana hukum belajar ilmu, guru maupun wilayah non muslim. Jika yang menjadi tujuan adalah ilmu itu sendiri, terlebih untuk meminimalisir sekat-sekat bias antar agama atau golongan, kenapa tidak? Sebagaimana perilaku Nabi saw. menyuruh Zaid belajar tulisan dan abjad Yahudi. Allahu a’lam. []