Mubadalah.id – Jika merujuk buku Parenting With Love, yang ditulis oleh Maria Ulfah Anshor, tentang pola pendidikan yang adil bagi anak, maka dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan nonseksis (tidak membedakan jenis kelamin) harus ditanamkan sejak anak masih di dalam kandungan.
Konsep pendidikan nonseksis ini, kata Maria, dikenal dengan model pendidikan yang berperspektif gender. Yakni pendidikan yang mendasarkan semua aktivitasnya dengan menanamkan pemahaman bahwa gender feminin dan maskulin memiliki nilai yang sama pentingnya dalam kehidupan sosial bagi perkembangan anak.
“Konsep pendidikan nonseksis harus dimulai sejak anak-anak masih kecil, bahkan sejak bayi maupun dalam masa kehamilan,” tulisnya.
Tiga Konsep Pendidikan Nonseksis
Berikut tiga konsep pendidikan nonseksis yang perlu dilakukan oleh orangtua.
Pertama, orangtua hendaknya tidak bersikap diskriminatif dalam memperlakukan anak laki-laki dan perempuan.
Mulailah dari hal-hal kecil yang kita mampu, misalnya, pilihan warna, mainan, dan sebagainya, tidak disosialisasikan secara stereotype.
Selama ini, anak-anak sejak lahir sudah dikonstruksikan dengan pilihan-pilihan yang stereotype, misalnya, pemilihan warna untuk anak perempuan berbeda dengan warna anak laki-laki, gambar-gambar atau motifmotif selimut, seprai yang menghiasi tempat tidur mereka berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, meskipun bisa juga karena faktor selera orangtua.
Motif-motif binatang biasanya untuk anak laki-laki dan corak bunga atau tumbuh-tumbuhan untuk anak perempuan.
Begitu juga dalam jenis mainan, ada stereotype mainan anak laki-laki dan perempuan, padahal anak-anak belum tentu menyukai jenis mainan yang dipersepsikan dengan stereotype yang diberikan oleh orangtuanya.
Akan tetapi, karena dikondisikan dan masyarakat di sekitarnya juga turut melanggengkan, dengan sendirinya mereka mengikuti konsep gender yang berlaku di lingkungannya.
Kedua, setelah anak mulai mengenal lingkungannya, berikan kebebasan kepada anak perempuan dan laki-laki untuk tumbuh dan mengeksploitasi rasa kepenasarannya.
Hentikan kebiasaan menyosialisasikan nilai-nilai stereotype bahwa perempuan harus dengan kepribadian yang feminin (lemah lembut, halus, penyayang, cengeng, dan sebagainya), sedangkan laki-laki dengan kepribadian maskulin (berani, tegas, kekar, kuat, tidak boleh menangis, dan sebagainya).
Kepribadian feminin dan maskulin tersebut ada pada setiap orang, sehingga kedua sifat tersebut harus ditumbuhkan sejak dini pada semua anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga, pendidikan dengan pendekatan nonseksis selain dimulai dari keluarga, harus disosialisasikan kepada masyarakat, termasuk guru-guru di sekolah, agar mereka menghargai bahwa semua peran berlaku untuk semua jenis kelamin.
Pekerjaan domestik maupun pekerjaan publik dapat dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Sekolah-sekolah hendaknya memasukkan kurikulum dan perlakuan yang nonseksis terhadap anak didiknya.
Saat ini, banyak sekolah yang masih memberikan pilihan kegiatan ekstrakurikuler, seperti keterampilan, olahraga, dan sebagainya tidak berdasarkan pada bakat dan potensi anak, melainkan berdasarkan pada jenis kelamin.
Dengan pendekatan pendidikan nonseksis yang dimulai dari lingkungan di dalam rumah, masyarakat, dan sekolah secara terpadu diharapkan akan terjadi perubahan struktur dalam masyarakat.
Ketiga institusi konsep pendidikan nonseksis ini sangat menanamkan nilai-nilai adil gender kepada anak-anak sejak dini, sehingga mempercepat mereka tumbuh dengan proses kesadaran dan keadilan gender. (Rul)