Mubadalah.id – Di banyak konten media sosial, nasihat ini sering terdengar: “Lebih baik nikah daripada zina.” Ungkapan ini tampak sederhana, bahkan seolah Islami. Tapi, jika kita telisik lebih dalam dengan perspektif Mubadalah, ungkapan ini ternyata bermasalah.
Ia bisa membentuk mental model yang sempit tentang pernikahan: seolah nikah hanyalah solusi biologis untuk menghindari zina. Bukan relasi yang agung, beradab, dan penuh tanggung jawab, serta untuk kepentingan amanah rumah tangga yang besar.
Perspektif Mubadalah mengingatkan kita bahwa setiap relasi, termasuk pernikahan, harus berbasis kemitraan yang adil dan saling menumbuhkan. Karena itu, kita perlu membongkar mental model keliru di balik ungkapan populer tersebut. Berikut lima alasan, mengapa ungkapan “lebih baik nikah daripada zina” bisa membentuk mental model yang keliru dan bisa berdampak buruk bagi relasi perkawinan dan kehidupan berumah tangga.
-
Nikah Bukan Sekadar Seks, Tapi Relasi yang Bertanggung Jawab
Ungkapan “lebih baik nikah daripada zina” mereduksi makna pernikahan seolah hanya soal seks yang halal. Padahal, pernikahan adalah komitmen membangun rumah tangga, kemitraan, dan kehidupan bersama yang sehat. Seks halal memang penting dan bisa menjadi pemantik, tetapi porsinya sangat singkat dibanding waktu panjang kebersamaan suami-istri yang kita isi dengan relasi fisik dan psikis.
Dalam perspektif Mubadalah, pernikahan adalah ikatan amanah yang menghadirkan keadilan, kasih sayang, dan perlindungan. Jika menikah hanya untuk melampiaskan hasrat atau menghindari dosa, tanggung jawab membangun relasi bisa terabaikan, dan lahirlah pernikahan yang rapuh, toksik, bahkan saling menyakiti.
Dengan kata lain, nikah dan zina berada di ranah berbeda. Zina hanyalah tindakan seksual sesaat, sedangkan nikah adalah proyek kemanusiaan yang besar. Nikah adalah ibadah sepanjang hidup, bukan sekadar pelampiasan sesaat.
-
Nikah Bukan Pelarian dari Zina
Banyak orang menikah dengan mentalitas pelarian: “Daripada jatuh ke zina, mending nikah saja.” Pola pikir ini menggeser tujuan pernikahan dari membangun kemitraan menjadi sekadar menutup lubang dosa.
Padahal, pernikahan yang lahir dari ketakutan semata, tanpa kesiapan berelasi, justru rentan melahirkan masalah baru: pertengkaran, penelantaran emosional, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Perspektif Mubadalah menegaskan, pernikahan harus diawali dengan kesiapan relasi sehat, bukan sekadar ketakutan pada zina.
Jika seseorang menikah hanya untuk menghindari zina tanpa kesiapan relasi, pernikahan itu hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Ia mungkin terhindar dari zina yang haram, tetapi terjebak dalam relasi yang menyakiti dan melahirkan berbagai keburukan.
Menyakiti adalah haram, dan menimbulkan keburukan juga haram. Menghindari satu keharaman tidak bisa dengan cara yang berpotensi melahirkan keharaman lain. Dalam kaidah Mubadalah: keburukan zina tidak bisa dihindari dengan membangun pernikahan yang toksik, jahat, dan menyakitkan. Karena berbuat jahat, dengan atau dalam pernikahan, adalah juga haram dalam pandangan semua ulama.
-
Zina Adalah Lemahnya Disiplin Diri, Sementara Nikah Menuntut Disiplin Relasi
Menyamakan nikah sebagai solusi anti-zina membuat kita lupa bahwa sumber masalah zina adalah lemahnya pengendalian diri. Zina lahir dari nafsu yang tak terkelola, bukan dari status pernikahan. Orang yang lemah dalam disiplin seksual tetap bisa berzina, sekalipun sudah menikah.
Sebaliknya, pernikahan bukan sekadar soal seks halal, melainkan soal disiplin berelasi: belajar memahami pasangan, mengelola konflik, menjaga komitmen, dan memenuhi hak satu sama lain. Dalam relasi yang sehat dan membahagiakan inilah, hubungan intim suami-istri, seperti disampaikan Nabi Saw, menjadi berpahala.
Karena itu, pernikahan menuntut komitmen kuat (mitsaq ghaliz) dari kedua belah pihak, termasuk disiplin seksual dan kemampuan membangun relasi yang sehat. Menikah hanya untuk menyalurkan nafsu, tanpa mengasah kedewasaan relasi, berisiko tergelincir pada pengkhianatan atau kekerasan. Maka, nikah bukan vaksin otomatis anti-zina, melainkan ibadah sepanjang kehidupan yang menempa kedewasaan dan kemuliaan diri dalam berelas.
-
Al-Qur’an Mengajarkan Menjaga Diri Jika Belum Mampu Menikah
Al-Qur’an memberikan panduan etis yang jelas dalam Surah An-Nur ayat 33:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحٗا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
“Dan hendaklah orang-orang yang belum mampu menikah menjaga kesucian dirinya, hingga Allah memberi kemampuan dengan karunia-Nya…”
Pernikahan bukan jalan pintas; bahkan, Al-Qur’an memerintahkan disiplin menahan diri (isti’faf) terlebih dahulu bagi mereka yang belum siap menikah, meski godaan zina mungkin datang menghampiri. Artinya, ayat ini menegaskan bahwa kemampuan menikah, terutama untuk bisa berelasi secara sehat, adalah syarat untuk menikah, bukan sekadar keinginan menghindari dosa.
Karena itu, menunda pernikahan sambil mengasah kedewasaan diri adalah pilihan Qur’ani yang lebih sehat dibanding menikah saat belum matang, ketika sama sekali belum memiliki kesiapan mental untuk berelasi secara sehat, saling membantu, dan membahagiakan.
-
Hadis Mengajarkan Puasa sebagai Latihan Mengendalikan Nafsu
Rasulullah Saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan dua hal penting:
- Tidak semua orang harus langsung menikah untuk menghindari zina.
- Mengendalikan diri melalui puasa adalah solusi spiritual dan psikologis yang diajarkan Nabi Saw bagi mereka yang belum mampu menikah, sekalipun menghadapi godaan berzina.
Pesan ini menguatkan prinsip Mubadalah: manusia tetap bisa hidup suci dan bermartabat jika mampu mengendalikan diri, misalnya dengan berpuasa atau cara-cara pengendalian diri lainnya, sekalipun tidak atau belum menikah.
Mengubah Mental Model Pernikahan
Menikah tentu saja sangat jauh lebih baik dari zina, karena yang kedua itu haram mutlak. Tetapi membandingkan keduanya itu tidak aple to aple. Kita tidak bisa membandingkan, misalnya, bersedekah itu lebih baik daripada membunuh kan?
Ungkapan “lebih baik nikah daripada zina” memang sederhana dan bisa menjadi motivasi. Tetapi, ia bisa menggeser fokus pernikahan dari tanggung jawab menjadi pelarian. Dalam mental model Mubadalah, pernikahan harus kita maknai sebagai:
- Relasi kemitraan yang adil dan penuh kasih.
- Proses tumbuh bersama, bukan sekadar penyaluran nafsu.
- Pilihan sadar yang lahir dari kesiapan berelasi, bukan dari ketakutan pada dosa.
Dengan mental model ini, kita bisa menghindari pernikahan tanpa kesiapan mental relasi, yang bisa melahirkan luka baru. Mental Mubadalah ini juga bisa menumbuhkan generasi yang menikah dengan kesadaran penuh, saling menumbuhkan, dan menghadirkan rahmat bagi keluarga dan masyarakat.
Mungkin kita perlu menyebarkan ungkapan pengganti, seperti:
- “Disiplin diri secara seksual adalah cara ampuh menghindari zina” dan
- “Nikah yang baik itu yang relasinya sehat, mulailah belajar relasi sehat sejak kecil”.
Itulah pesan moral Mubadalah: pernikahan jalan cinta, media memadu kasih dan sayang, serta menumbuhkan kerjasama, kemitraan, saling menolong, bahagia dan membahagiakan. []