Mubadalah.id – Jika merujuk pada beberapa kitab fikih tentang hukum nikah, mungkin bisa disimpulkan bahwa hukum nikah itu terbagi menjadi lima hukum.
Lima hukum nikah ini sangat bergantung pada kondisi setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan.
Adapun lima hukum nikah ini dikutip di dalam buku Parenting With Love, yang ditulis Ibu Hj. Maria Ulfah Anshor. Maria juga merupakan salah seorang anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Berikut 5 hukum nikah menurut ulama perempuan KUPI yang wajib dipahami oleh para salingers.
Pertama, orang yang hasrat seksualnya tidak dapat dikendalikan yang dipastikan akan terjerumus pada perzinaan, sementara dia memiliki kemampuan sesuai dengan persyaratan untuk menikah, hukum nikah baginya adalah wajib dan berdosa jika tidak menikah.
Kedua, orang yang kondisinya mampu menikah secara fisik, psikis, dan ekonomi, tetapi tidak dikhawatirkan jatuh pada perzinaan. Jika ia memiliki keinginan untuk menikah, hukum nikah baginya sunnah, yaitu mendapat pahala jika menikah.
Ketiga, orang yang mampu mengendalikan nafsu seksualnya atau tidak dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan, tetapi kondisinya jika ia menikah dipastikan istrinya atau suaminya akan menderita dan teraniaya, karena tidak mampu secara fisik, psikis, dan ekonomi. Maka, hukum nikah baginya adalah haram, yaitu berdosa jika ia menikah.
Keempat, orang yang karena kondisi hasrat seksualnya dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan jika tidak menikah, tetapi jika ia menikah dikhawatirkan istrinya atau suaminya akan teraniaya karena ia belum mampu menikah. Maka, hukum nikah baginya adalah makruh, yaitu mendapat pahala jika tidak menikah. Baginya wajib mengendalikan nafsu seksualnya.
Kelima, orang yang kondisinya tidak dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan dan mampu menikah secara fisik, psikis, dan ekonomi, tetapi tidak memiliki keinginan untuk menikah. Maka, hukum nikah baginya adalah mubah, tidak memiliki efek pahala maupun dosa.
5 hukum nikah dalam perspektif KUPI itu sebaiknya dapat menjadi acuan bagi para salingers yang akan menikah.
Jangan sampai, terlalu memaksakan diri untuk menikah, akan tetapi tidak mempertimbangkan kemadharatan yang akan datang nanti.
Karena sesungguhnya menikah merupakan merupakan suatu perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). Maka masing-masing pihak, suami dan istri wajib memelihara keutuhan rumah tangganya.
Untuk diketahui, (Rul)