Mubadalah.id – Kecaman, tangis, ucapan duka-cita dan rasa prihatin memenuhi media sosial saya akhir November 2020 lalu. Kembali negeri ini kepayahan dalam masalah kemanusiaan. Berita pembunuhan satu keluarga di Sigi – Poso membangkitkan ingatan banyak orang tentang konflik Poso.
Hari itu menjadi hari yang sibuk bagi Lian Gogali dan rekan-rekan di Institut Mosintuwu, Lembaga yang didirikan Lian. Melalui media sosialnya mereka tak henti-hentinya meluruskan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi saat itu. Belum sembuh luka akibat konflik Poso di awal 2000-an. Hidup penuh ketakutan kembali mengancam mereka.
Tiba-tiba saya teringat perjalanan saya ke Poso melalui Palu pada maret 2019. Palu saat itu masih menampakkan wajahnya yang muram. Gempa berkekuatan 7.4 SR enam bulan sebelumnya telah merenggut jutaan asa setiap yang makhluk yang berdenyut di sana.
Sepanjang perjalanan di tepi pantai Talise, gundukan puing-puing masih menjadi pemandangan utama. Semua runtuh, kecuali hanya satu pohon yang masih berdiri tegak seolah menolak untuk turut tumbang.
Untuk menuju Poso, butuh hampir 8 hingga 10 jam perjalanan darat dari Palu. Perjalanan yang memabukkan karena supir membawa mobil yang saya tumpangi berlari kencang. Kelokan, jalan berlubang, jembatan, tak membuat supir melambatkan lajunya.
Dengan penuh percaya diri ditemani lagu-lagu khas Sulawesi dengan volume super kencang, supir unjuk gigi. Ia tak peduli para penumpang bahkan sudah menumpahkan jackpot berkali-kali.
Saya mengenal Poso melalui media yang mengabarkan tentang konflik Poso. Berita yang sebenarnya tidak sepenuhnya dapat dipertanggung-jawabkan. Di Poso saya belajar dan mendengar langsung tentang konflik Poso dari kak Lian Gogali dan para perempuan penyintas konflik.
Kak Lian menuturkan kekecewaannya pada media yang lebih suka mencatat jumlah korban dari kelompok muslim ataupun Kristen. Angka-angka korban yang tewas seolah menjadi panduan apakah konflik tersebut termasuk konflik besar dan serius atau hanya konflik kecil dan dapat diabaikan.
Media seringkali luput menceritakan pengalaman perempuan dan anak, padahal mereka lah kelompok yang paling rentan dan paling terdampak konflik. Potret perempuan dan anak sangat buram, cerita pilu mereka dianggap tidak penting dan tidak mewakili suatu kejadian.
Konflik Poso mengundang banyak sekali orang asing, peneliti, komunitas, LSM untuk berdatangan menginjak tanah Poso. Sayangnya, mereka datang terkadang hanya untuk melengkapi catatan. Bukan untuk benar-benar mendengarkan korban.
Kedatangan mereka seringnya tak mengubah apapun. Korban konflik mengalami teror traumatis, luka yang tak kunjung sembuh, dan hidup yang dihantui ketakutan. Seorang perempuan penyintas Konflik Poso mengajukan pertanyaan sederhana “Setelah mereka menulis tentang kami semua, lalu apa yang akan kami dapatkan”?.
Pertanyaan ini mengusik kak Lian Gogali, Ia tak ingin menggarami luka mereka. Dengan dayanya, Ia mendirikan Institut Mosintuwu pada tahun 2009. Sebuah Lembaga yang bertujuan untuk perempuan berdaulat atas hak-hak sosial, politik, ekonomi dan budaya. Lembaga ini lahir dari kesadaran penuh sang pendiri untuk menjadi bahu, telinga, juga mata setiap perempuan dan anak di Poso.
Sebagai sebuah kejadian yang menyebabkan hilangnya kehidupan, konflik Poso tidak cukup sekedar diceritakan melalui media. Upaya rekonsiliasi, melupakan dan memaafkan masa lalu, membingkai masa depan, bukanlah sesuatu yang mudah. Menata ulang kehidupan, berusaha percaya, membunuh kebencian, mapan melangkah harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan bersama-sama.
Di tengah-tengah merapikan hati yang sudah koyak tersebut, satu kejadian seperti peristiwa Sigi November lalu, mampu menggoyahkan pertahanan diri yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Yang dilakukan Lian Gogali bersama Institut Mosintuwu tak sekedar menghapus air mata para perempuan penyintas konflik, juga tak hanya membuat mereka sekedar bersuara. Tetapi melahirkan manusia baru yang lebih hidup, yang berani dan kritis. Manusia yang percaya bahwa perdamaian itu mutlak.
Kiprah Lian Gogali membuat namanya tak pernah redup. Sejak 2012 ia diganjar banyak penghargaan nasional maupun internasional. Penghargaan yang mengukuhkan dirinya sebagai perempuan pemelihara perdamaian. Yang paling buncit, belum genap sebulan, ia menerima penghargaan Gusdurian Award kategori penggerak. Sebuah penghargaan yang benar-benar pantas ia terima.
Konflik Poso bukan hanya sekedar peristiwa di masa silam. Ia adalah awalan bagaimana hidup dan kehidupan harus diperlakukan, karena semua tempat berpotensi memiliki konflik. Sayangnya agama sering dijadikan kambing hitam, padahal nafsu manusialah yang membuat segalanya menjadi runyam dan brutal. Setiap individu menuntut hak untuk hidup dalam rasa aman. Maka layaklah jika seharusnya setiap individu juga merasa berkewajiban memelihara perdamaian.
Kala itu hampir satu minggu saya berada di Mosintuwu, di tepi danau Poso yang berwarna biru jernih. Udara segar dengan bunga-bunga liar berwarna-warni tumbuh di sepanjang jalan. Masjid dan gereja berdampingan. Anjing-anjing berlarian kesana kemari dengan ekor yang bergoyang tak henti-henti. Sesekali saya lupa bahwa kota ini pernah begitu berdarah. []