Mubaadalahnews.com,- Kasus yang menimpa mantan guru honerer di Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril (BN) telah menyita perhatian publik. BN merupakan korban pelecehan seksual melalui telepon dengan pelakunya adalah atasannya sendiri. Tapi kemudian BN terancam bui enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA).
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Lalu dimana letak keadilan hukum terhadap korban? Seorang guru yang hanya ingin melindungi diri dari pelecehan seksual, justru terancam mendekam di penjara. Dia terpaksa harus terpisah dengan suaminya dan tiga anaknya selama beberapa bulan.
BN dituduh menyebarkan informasi yang menyangkut tindakan kesusilaan atasannya, dengan menggunakan pasal 27 ayat (1) UU ITE 19 Tahun 2016. Tentu hal ini menjadi catatan merah bagi aktivis gerakan perempuan atas putusan MA yang tidak memihak pada korban.
“Kasus Baiq Nuril ini awalnya adalah kasus ringan. Seperti umumnya perempuan, dia berusaha untuk melindungi diri. Dengan rekaman itu dia ingin menunjukan bahwa dia tidak ada hubungan istimewa dengan atasannya,” kata Ulama Perempuan asal Jombang Jawa Timur, Nyai Hj Umdatul Choirat, Jumat, 16 November 2018.
Baca juga: Komnas Perempuan Sesalkan Putusan MA dalam Kasus Baiq Nuril
Baca juga: Kenapa Korban yang Disalahkan?
Sangat Ironi
Pimpinan Pondok Pesantren Assaidiyyah Tambak Beras Jombang, itu menilai keputusan Pengadilan Negeri (PN) Mataram sebetulnya sudah tepat. Keputusan PN Mataram mengedepankan perlindungan kemanusiaan kepada BN sebagai korban.
Tapi kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi terhadap putusan PN Mataram tersebut. Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada BN dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menurut Ibu Nyai Umdatul Choirat, keputusan itu sangat ironis sehingga mengundang emosi banyak orang. Keputusan itu jauh dari rasa keadilan bahkan seperti ada pemutarbalikkan masalah. Putusan MA tersebut lebih mengutamakan kepentingan pelaku dibanding melindungi korban kekerasan seksual.
“Ada apa ini? Sepertinya itu ada khilaf dalam memahami Undang-undang,” kata dosen Universitas KH. Wahab Hasbulloh Tambak Beras Jombang itu.
Menurutnya, jika menggunakan logika sederhana saja, maka persoalan telepon itu bukan karena kesalahan BN sebagai korban, melainkan atasannya. Sebab jika tidak ada telepon dari atasannya, pasti tidak akan terjadi rekaman.
“BN juga tidak pernah membagi (share) rekaman itu. Orang lain yang membagikannya,” terangnya.[WIN]