Mubaadalahnews.com,- Berbagai elemen aktivis Cirebon bersama Woman Crisis Center (WCC) Mawar Balqis mendesak DPR-RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Desakan untuk mensahkan RUU PKS, pasalnya saat ini pembahasan RUU tersebut terhenti di Komisi VIII DPR RI. Padahal telah diajukan sejak tahun 2016 lalu.
Hal itu dinilai penting mengingat saat ini kekerasan (seksual) terhadap perempuan dan anak di Indonesia (khususnya Cirebon) masuk katagori darurat.
“RUU tersebut menjadi kebutuhan saat ini di mana dari sekian banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Manager Program WCC Mawar Balqis, Saadah saat berkunjung ke kantor Redaksi HU. Fajar Cirebon, bersama sejumlah komunitas pegiat anti kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti Aisyiyah, Teater Awal, ISIF, Cherbon Feminist, Fahira dan KPA, Jumat (30/11) malam.
Dijelaskan Saadah, WCC Mawar Balqis sendiri merupakan lembaga yang bekerja dalam bidang pendampingan, advokasi, serta pemberdayaan perempuan dan anak korban kekerasan.
“Kami bahkan memiliki data riil, berapa kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak yang kami dampingi. Tercatat hingga Oktober 2018 saja, ada 60 kasus yang 24 di antaranya adalah kekerasan seksual,” jelasnya.
Menurut Saadah, UU yang telah ada di Indonesia saat ini (termasuk KDRT) belum mengatur secara komprehensif mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak. UU sebelumnya hanya mengatur tentang perkosaan dan pencabulan.
“Bahkan definisi perkosaan sendiri saat ini masih diperdebatkan, sehingga pernah ada kasus perkosaan masuk pasal pencabulan. Ini kan tidak bisa meng-cover, padahal trauma yang dialami oleh korban sama,” terangnya.
Dalam RUU ini juga, lanjut Saadah, mengatur kewajiban negara untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Misalnya saja dengan mewajibkan aparatur negara untuk membuat program pencegahan, perlindungan hingga pemulihan terhadap korban.
“Di RUU ini juga disebutkan, jika ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, maka pelaku wajib memberikan nominal (uang) kepada korban. Dan yang menghitung kerugian yang dialami korban adalah jaksa,” katanya.
Kemudian juga, jika ada masyarakat atau pemerintah yang mengetahui adanya kasus kekerasan (seksual) terhadap perempuan dan anak dan mereka mengabaikannya, maka mereka akan terkena pidana.
“Pada intinya, RUU ini mengajak seluruh pihak untuk terlibat dalam upaya-upaya penanganan dan pencegahan kasus kekerasan (seksual) terhadap perempuan dan anak. Jadi jika ada masyarakat yang mengetahui di lingkungannya ada kasus semacam itu, maka jangan takut untuk melapor,” jelasnya.
WCC Mawar Balqis menemukan fakta, mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak-anak hingga remaja.
Para pelaku kekerasan terhadap perempuan kebanyakan dilakukan oleh orang terdekat. Seperti ayah, paman, pengasuh, dan tetangga korban. Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan terjadi karena minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi, khususnya pada kalangan remaja.
Demikian penjelasan terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semoga bermanfaat.
Sumber berita, klik di sini.