Mubadalah.id – Tiga hari menjelang puasa, Nayla dan mbak-mbak pondok kembali sibuk beres-beres persiapan liburan. Baju-baju dilipat dan dimasukkan ke dalam kardus, kitab dan buku catatan ditata dalam lemari santri, serta ro’an bersama supaya ketika pondok ditinggalkan sudah dalam keadaan bersih. Hal terebut menjadi kebiasaan santri sehari sebelum jatah liburan pondok tiba.
Santri yang hanya mondok dan tidak berkuliah biasanya pulang sampai waktu pertengahan lebaran, mereka memilih untuk ramadan dan lebaran bersama keluarga di rumah. Bagi santri yang mondok sembari kuliah biasanya memilih untuk tetap di pondok dan akan pulang ketika lebaran tiba.
Setelah bersalam-salaman dan berbagi senyuman tanda mereka kan berpisah untuk sementara waktu lorong pondok dan tiap-tiap kamar kembali sepi tanpa suara. Hanya tertinggal satu kamar yang berisi santri mahasiswa serta abdi ndalem yang jumlahnya hanya delapan santri. Nayla yang menyadari hari ini harus ke kampus, ia berpamitan ke mbak abdi ndalem barangkali nanti abah atau ibu nyai mencari Nayla.
Khusus santri yang notabene mahasiswa, pondok ini memberikan keluangan waktu para santri untuk keluar khusus kepentingan kuliahnya di kampus. Berjalan menuju kampus yang hanya berjarak 500 meter bagi Nayla sudah menjadi kebiasaan setiap harinya. Hari ini, Nayla ke kampus karena ada janji untuk bertemu dengan seniornya di organisasi.
“Punten mas, lama ya menunggu?” tanya Nayla yang mendapati seniornya lebih dahulu sampai di kantin kampus.
“Oh ndak Nay, ini tadi sembari ngerjai bab tiga, sehat ?”
“Alhamdulillah mas.” Jawab Nayla dengan senyum.
“Oh ya, proposalnya masih kurang beberapa bagian. Kebetulan kemarin diskusi bareng anak-anak. Sebentar lagi Ramadan, jadi perlu mengadakan kegiatan di sela-sela waktu Ramadan, rasanya sudah rindu sekali dengan bulan suci ini Nay.”
“Eh mas, yakin nggak mas jika kita merindukan Bulan Ramadhan ?” tanya Nayla menatap Ilham penuh penasaran.
“Iya yakin Nay, sangat merindukan.” Jawab Ilham dengan wajah meyakinkan, ditambah senyum.
“Mas tentu selama ini sering puasa senin kamis ya?”
“Iya Nay, senang sekali rasanya.”
“Benar Mas Ilham senang?”
“Iya, tapi bentar, kok kamu tanya seperti itu, kenapa?”
“Nggak Mas, hehe. Menurut Mas, mengapa orang Islam diwajibkan untuk menjalankan puasa Ramadan.”
“Supaya umat manusia bertaqwa Nay.”
“Punten, bukankah itu tujuannya ya Mas?”
Nayla selaalu menaruh hormat kepada Ilham, bagaimanapun Ilham adalah seniornya yang harus tetap mengedepankan adab. Namun Ilham juga tidak pernah merasa dibawah Nayla ketika mereka diskusi. Ilham menganggap bahwa laki-laki dan perempuan tidak ada yang berhak merasa paling pintar dan merendahkan lawan bicara, semuanya sama-sama boleh berpendapat dan harus saling menghormati.
“Kalau itu tujuan, lalu mengapa mesti diwajibkan ya Nay.”
“Emm, Mas. Sesuatu biasanya diwajibkan karena manusia itu tidak suka mengerjakannya. Contohnya tidak perlu jauh-jauh, tugas kuliah diwajibkan karena kita tidak suka mengerjakannya kan?”
“Iya bener juga Nay, lalu kaitannya dengan puasa?” Ilham megernyitkan dahi pertanda semakin penasaran pada jawaban Nayla.
“Kalau manusia suka menjalankan puasa untuk apa puasa diwajibkan.”
“Tapi sering kali aku mendengar puasa Ramadan itu wajib, dan memang seperti itu, wajib berpuasa.”
“Njih Mas, tapi aku selalu bertanya benarkah kita suka puasa sejatinya?”
“Insya Allah iya Nay.”
“Hehe, andaikan puasa Ramadan itu tidak diwajibkan, apalagi hanya sebulan sekali, tentu manusia biasa puasa dalam kurun lama karena memang manusia sudah suka berpuasa.”
“Sek Nay, kok jadi begitu, hehe.”
“Coba tanyakan ke hati kita masing-masing Mas, benar tidak jika kita suka melaksanakan puasa, hanya terpaksa atau hanya karena malu dengan sekitarnya?”
“Iya sih Nay, sejujurnya tidak suka, pun terpaksa.”
“Mengapa kalau tidak suka atau terpaksa lantas pura-pura mengatakan rindu Ramadan Mas?” tanya Nayla cengar-cengir.
Sesekali Nayla bertanya dengan mimik cengar-cengir supaya Ilham tidak merasa dipojokkan oleh pertanyaan-pertanyaannya. Bagaimanapun perrcakapan harus memberikan kenyamanan dinamika antar keduanya.
“Gimana lagi ya Nay, aku ikut-ikutan anak sekeliling yang juga merindukan Ramadan?”
“Hehe, padahal Mas Ilham tidak suka berpuasa aslinya kan?”
“Iyaa Nay, wah wah njuk gimana Nay?”
“Abah Yai ngendhika, boleh jadi kadang kita berterus terang kepada Allah SWT jika kita tidak suka sholat atau tidak suka menjalankan ibadah puasa. Nah, tapi kita harus siap dan ikhlas menjalankan sesuaatu yang tidak suka sehingga derajat manusia menjadi tinggi di hadapan Allah. Ketaqwaan manusia akan sampai karena ikhlas menjalankan.”
“Duh, iya juga Nay, astaghfirullah.” Ilham menutup mukanya dengan kedua tangan dan beristighfar, meski setelahnya tetep nyengir di depan Nayla.”
“Kadang kita terlalu banyak pura-pura dan merasa nyaman di dalam zona tersebut Mas.”
“Iya, bener katamu tadi. Terimakasih sudah memberikan pemahaman Nay, like with your brilliant, heheh.”
“Heleh mas.” Nayla terkekeh karena juga tidak terencana akan membahas kaitannya puasa.
“Sudah makan belom? Keliatan lemes gitu.”
“Tahu aja, belum, hehe.”
“Ya sudah sana, pesan makan dulu baru nanti kita lanjut edit proposal.”
“Laa Mas Ilham ndak pesan?”
“Aku sudah tadi sarapan.”
“Owalah Njih Mas..” Nayla kemudian memanggil mbak kantin untuk memesan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.
Nayla melahap makanan yang telah datang sesuai pesanan. Sembari menunggu Nayla selesai makan, Ilham menulis beberapa kalimat dalam lembaran buku hariannya.
“Hari ini benar kata Nayla. Manusia sering lupa bahwasanya ikut-ikutan atau sekedar meramaikan jadi melumpuhkan keikhlasan. Manusia beramai-ramai menyambut Ramadan, sampai ucapan di depan masjid bertuliskan Selamat Datang Ramadan ramai dimana-mana atau 28 hari setelahnya akan ada story instagram atau whatsapp bertulis Yaa Ramadan, Engkau cepat sekali berlalu. Padahal manusia bisa jadi tidak menyukai puasa, enggan menahan segala yang ingin dilahap. Bukan perihal tidak ingin belajar sabar, melainkan belajar bagaimana ikhlas dalam hati untuk meraih taqwa dan ridha Illahi. Wallohu ‘alam.”
Magelang, 07 April 2021.
Rencana pertemuan Nayla dengan Ilham adalah menyelesaikan proposal kewirausahaan mahasisawa yang lolos di tingkat Nasional. Namun tidak terencana jika pembahasannya diawali dengan percakapan nyentrik semacam itu. Nayla dicerdaskan oleh bacaan buku dan beberapa kajian pesantren yang tekun ia ikuti.
Hal tersebut ternyata membuat Ilham diam diam menaruh rasa kagum kepada Nayla. Ilham berpikir bahwasanya perempuan mampu mmiliki kecerdasan sama halnya laki-laki, perempuan juga tidak selalu lemah, perempuan berhak kuat serta dikuatkan itulah yang membuat Ilham jatuh hati kepada Nayla, hanya saja Ilham memilih untuk diam dan menjalankan aktifitas seperti halnya teman organisasi dengan penuh rasa kekeluargaan sekaligus tawa, tidak akan merasakan ataupun membuat sakit hati, seperti halnya kalimat Jalaludin Rumi yang menjadi slogan kehidupan Ilham “Aku memilih mencintaimu dalam diam, karena dalam diam tak akan ada penolakan.” []