Mubadalah.id – Banyak masalah sosial yang terkait dengan perkawinan. Seperti perkawinan anak, perdagangan manusia, penyalahgunaan obat terlarang, kenakalan remaja, dan pergaulan bebas. Semua itu akarnya berasal dari keluarga. Bagaimana cara membangun ketahanan keluarga?
Demikian yang disampaikan Muhammad Adib Machrus, Kasubdit Bina KUA dan Keluarga Sakinah/Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI kepada penulis beberapa waktu lalu di Jakarta.
Untuk melakukan pencegahan dan sebagai solusi, ada dua misi Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang telah digagas Kementerian Agama. Pertama, menjaga relasi antar pasangan. Kedua, membangun ketahanan keluarga.
Adib menegaskan, jika point pertama gagal, maka yang kedua tidak akan mungkin tercapai. Lalu, bila yang pertama sukses, poin kedua belum tentu bisa berhasil. Tetapi kesuksesan poin kedua sangat dipengaruhi oleh poin pertama.
Kedua misi Bimwin itu menurut Adib dilatarbelakangi atas tren peningkatan perceraian. Satu sisi bercerai merupakan jalan keluar dari persoalan rumah tangga yang pelik. Namun di sisi lain, meskipun diperbolehkan agama tetap menjadi perbuatan yang dibenci Allah.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa orang bisa mengambil keputusan cerai? Terlebih banyak kasus KDRT yang menimpa suami istri, dengan kekejaman, modus, dan jenis kekerasan yang beragam. Bahkan intensitasnya pun semakin bertambah.
Lebih lanjut Adib menuturkan dulu hubungan seksual dianggap sakral dan suci. Sekarang menjadi lebih mudah atau terbuka, dan tidak ada penghormatan atas kesucian itu. Berapa banyak istri yang babak belur karena menolak hubungan seksual? Padahal kesehatan reproduksi perempuan lebih kompleks. Ada menstruasi, kehamilan, dan nifas. Kerap kali istri mengalami KDRT karena hal ini.
Maka melalui Bimwin, diharapkan ada strategi bagaimana suami istri bisa keluar dari masa-masa sulit. Terlebih, suami istri itu awalnya merupakan individu yang berbeda, tetapi dipaksa bergaul dan hidup bersama menjalani biduk rumah tangga dengan sukarela. Secara bijak, Adib mengatakan, “dunia ini tidak didesain untuk bisa memenuhi semua keinginanmu.”
Hal penting lainnya dari bimbingan perkawinan, dijelaskan Adib bahwa substansi atau materi pembelajaran yang lebih komprehensif. Kedua, wawasan dan ketrampilan apa yang dibutuhkan oleh calon pengantin nanti akan dipenuhi. Termasuk diantaranya mengelola emosi dan keuangan keluarga.
Secara garis besar, calon pengantin (catin) akan melihat dirinya dan pasangan menjalin relasi yang sehat untuk berlatih ketrampilan hidup yang sehat pula. Pada akhirnya, melalui proses Bimwin diharapkan akan mampu mendidik generasi masa depan yang unggul lebih berkualitas.
Sementara itu, berkaitan dengan materi kesalingan yang dimasukkan dalam Bimwin, Adib menambahkan bahwa kesalingan yang dimaksud dipraktekkan dalam hal positif seperti bekerjasama, saling membantu, berbagi dan menggantikan peran. Artinya kesalingan dalam kerangka kebaikan, bukan sebaliknya untuk saling membenci, menyakiti, menipu dan hal negatif lainnya.
Melalui program Bimwin ini, Adib yakin masalah sosial yang kerap kali terjadi di masyarakat, berangsur-angsur akan bisa teratasi. Tentu jika sejak sebelum perkawinan catin dibekali dengan pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan hidup yang memadai.
Sehingga tujuan dari perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, bisa diwujudkan dengan nyata.[]