Mubadalah.id – Telah terjadi lagi kasus pemerkosaan. Kali ini pelakunya adalah seorang polisi yang bertugas di Polsek Jailolo Selatan, Polres Halmahera Barat, Maluku Utara yang memerkosa korbannya di Mapolsek Sidangoli, Kabar ini didapatkan dari seorang sahabat, Galang Tarafannur. Saat ini ia pun bertempat tinggal di Maluku Utara, tepatnya di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, berita tersebut dikirimkannya melalui direct message Instagram
Galang mengirimkan sebuah berita online dari portal berita Tandaseru.com dengan headline “Oknum Polisi di Maluku Utara Diduga Setubuhi Remaja di Mapolsek”. Setelah rampung membacanya, kesal dan geram mulai terasa. Ada dua hal yang menjadi sorotan setelah selesai membaca berita pemerkosaan tersebut.
Pertama, mengenai sebuah institusi yang mestinya dapat menjadi ruang aman bagi masyarakat. nyatanya menjadi tempat perbuatan yang keji dan hina seperti pemerkosaan tersebut. Bahkan, pemerkosaan dilakukan oleh aparat keamanan negara yang mestinya dapat menjadi pelindung dan penyelamat, namun nyatanya menjelma menjadi makhluk yang kejam; pelaku pemerkosaan.
Kedua, konten berita yang tak memiliki perspektif korban. Identitas korban terus-menerus dinarasikan bahkan hampir secara detail. Hanya nama korban saja yang belum sempat disebut. Dari headline sudah dapat terlihat bagaimana dalam penulisan kontennya tak menggunakan perspektif korban dengan menyebutkan korban adalah seorang remaja. Kemudian, dalam narasi konten, pewarta menarasikan usia korban, aktivitas korban, dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh korban yang tak mesti ada dalam berita seperti “korban akhirnya menyerah” dan “korban terus menangis” yang dapat menyudutkan korban.
Cukup terlihat dalam berita tersebut, upaya untuk tidak mendeskripsikan atau upaya menutupi identitas pelakunya, misalnya dengan menggunakan kata “oknum”. Lalu, tak ada identitas dan penjelasan lain mengenai pelaku selain di mana tempatnya bertugas, juga belum dijelaskan bagaimana sanksi yang diberikan terhadap pelaku.
Media-media di Indonesia lebih mengutamakan bagiamana pembaca dapat tertarik untuk mengklik berita yang ingin dibaca dengan headline yang sensasional, hal ini dikenal dengan istilah clickbait. Clickbait merupakan judul yang disajikan dengan diksi-diksi popular, cenderung berlebihan, dan sensasional. Pemberitaan yang disampaikan juga cenderung tak melindungi korban dan identitas korban dideskripsikan hampir secara detail yang mestinya tindakan tersebut tak dilakukan karena dapat mengancam korban dan membuat korban merasa diperkosa dan mengalami kekerasan berkali-kali.
Diksi-diksi yang digunakan dalam penyampaian berita mestinya diksi yang bersifat netral. Sora Mills mengikuti Michel Foucault memahami bahwa bahasa atau teks merupakan alat kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah strategi, bukan dalam hal penindasan atau represi tetapi melalui bahasa dan budaya. Strategi ini berupa “normalisasi” nilai-nilai dominan atau dengan melekatkan citra tertentu pada realitas sosial. dari bahasa atau kata tertentu dapat mencitrakan suatu hal menjadi baik atau buruk. Inilah yang mestinya sangat diperhatikan oleh media dalam pemberitaannya mengenai kasus kekerasan seksual.
Dengan menyebut pelaku sebagai “oknum polisi” dibandingkan “seorang polisi”, terlihat bagaimana citra yang ingin tetap dipertahankan bahwa polisi merupakan sebuah institusi yang suci, dan apabila ada yang menodai dengan perbuatan yang melanggar aturan dan tercela mereka adalah oknum.
Upaya tersebut dilakukan untuk menyelamatkan citra institusi, untuk menjelaskan bahwa tidak semua polisi seperti itu, pelaku hanyalah sebagian kecil dari institusi atau bahkan pelaku bukanlah bagian dari institusi tersebut.
Kemudian, konten berita yang disampaikan dengan diksi dan bahasa yang sensasional dan objektivikasi terhadap korban dapat memframing opini masyarakat mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi. Framing media terhadap pemberitaan kasus kekerasan seksual sangat berpengaruh terhadap opini masyarakat, dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Dengan pemberitaan yang tak membahas konteks secara substansial dari suatu kasus dapat menimbulkan pemahaman yang keliru pada pandangan masyarakat. Berita yang cenderung menyudutkan korban secara tak langsung turut serta dalam melanggengkan stigma-stigma negatif yang ada dalam masyarakat, yang mana seolah-olah kekerasan yang terjadi adalah suatu kewajaran karena kesalahan korban.
Seperti narasi yang disampaikan dalam berita tersebut yang bisa saja menstimulasi pemikiran masyarakat, apalagi masyarakat yang masih cenderung patriarki, yaitu narasi “Lantaran sudah kemalaman, keduanya memutuskan menginap di Sidangoli, di penginapan Mari Sayang.” Narasi tersebut dapat melahirkan pemikiran seperti “yaa.. salah sendiri kok pergi malam-malam” atau “ya… makanya kalau pergi itu dengan orang tua” dan pemikiran-pemikiran lainnya yang dapat saja menyudutkan korban.
Perspektif korban dan kepentingan korban masih diabaikan oleh media. Korban kekerasan seksual kerap diobjektivikasi dan menjadi komoditi demi konten semata. Mestinya media dapat memframing opini masyarakat mengenai kekerasan seksual dan mendobrak stigma-stigma negatif yang kerap dilekatkan terhadap korban. []