Mubadalah.id – Islam mempunyai lima rukun yang wajib diimani. Salah satunya adalah shalat. Shalat adalah perintah tuhan yang dilakukan dalam sehari, umat Islam diwajibkan melaksanakan shalat lima kali: zuhur, asar, magrib, isya dan subuh. Sebaik-baiknya ibadah shalat adalah yang dilakukan di masjid.
Menurut Abbas Arfan pada buku Fikih Ibadah Praktis, definisi salat berjamaah menurut istilah syara’ adalah keterikatan shalatnya makmum dengan shalat nya imam. Shalat berjamaah di masjid, sudah tentu lebih utama daripada shalat sendirian dengan perbandingan dua puluh derajat.
Masjid menjadi tempat yang disucikan agama Islam, sekaligus menjadi tempat Ibadah. Sekalipun masjid menjadi tempat sakral bagi yang memeluk Islam tetapi fungsi masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat shalat dan mengaji. Adakalanya masjid dijadikan sebagai tempat musyawarah masyarakat sekitar sana untuk melakukan aktivitas sosial.
Pada saat menulis ini, saya teringat keutamaan shalat di masjid yang hanya dimiliki laki-laki, sedang perempuan katanya lebih baik di rumah, sebaik-baiknya katanya. Tapi apakah konteks itu adil bagi perempuan? Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini tanpa kita sadari menjadi laki-laki telah mendapatkan banyak kesempatan dibandingkan perempuan.
Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang setara di hadapan Tuhan, tidak ada pembeda kecuali ketaqwaannya. Perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender bertujuan agar laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama, sekalipun tentang aturan shalat. Tetapi bagaimana ketika agama sendiri tidak memberikan kesempatan yang sama terhadap perempuan dalam hal ibadah shalat?
Mengutip kata-kata Quraish Shihab, bahwa “semua persoalan jika dikaitkan dengan agama, maka salah satu hal yang harus diperhatikan adalah mengapa agama itu hadir.” Rasulullah Saw bersabda terkait tempat shalat yang paling tepat untuk perempuan yaitu di rumah masing-masing. Ada hadits yang serupa dari HR Ahmad dari Ummu Salamah ra, bahwa sebaik-baik masjid bagi kaum perempuan adalah rumah mereka.
Pada zaman Nabi ada perempuan bernama Ummu Hisyam binti Al-Harits yang hafal surat Qaf. ia menghafal surat Qaf karena sering mendengarkan Nabi Muhammad SAW membaca surat ini ketika Ummu Hisyam menjadi makmum yang diimami langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Hal ini berdasarkan pernyataan Ummu Hisyam “tidaklah aku menghafal surat qof wal Qurani Al-Majid kecuali dari lisan Nabi. Pada lain kesempatan Rasulullah SAW pernah melarang perempuan bernama Ummu Hamid untuk shalat di masjid, padahal waktu itu Ummu Hamid sangat ingin berjamaah bersama Nabi.
Pada hadits yang lain ditemukan bahwa ada larangan mencegah perempuan shalat berjamaah di masjid. Tetapi setelah dibaca lebih dalam, ternyata teks hadits ini terjadi pada saat pra Islam. Pada waktu pra Islam perempuan banyak dikekang di tempat publik, tidak pernah diberikan tempat untuk berekspresi, menyampaikan pendapat sekalipun.
Buah dari silang pendapat ini memberikan perasaan dilematis kepada perempuan, masyarakat khususnya mempertanyakan mana yang lebih utama, apakah shalat di rumah atau di masjid yang mempunyai pahala 27 derajat?
Sebelum Islam datang, para perempuan diceritakan mendapatkan posisi yang menderita dan tidak memiliki kelayakan serta kemerdekaan. Pada masa Romawi hak perempuan sepenuhnya dikendalikan oleh ayahnya, setelah menikah hak perempuan diberikan kepada sang suami. Kembali pada masa Jahiliyah, orang tua membolehkan membunuh anak perempuannya hidup-hidup, karena merasa anak perempuan tidak berguna pada saat itu.
Bahkan ketika seorang istri pada masa jahiliyah melahirkan anak perempuan, maka orang tua dan keluarga akan menyembunyikan berita (bahagia) harusnya, karena melahirkan anak perempuan pada waktu itu dianggap sebagai bencana. Menurut Al-Qurtubi, di Arab ada beberapa kabilah di mana seorang anak laki-laki biasa menikahi bekas isteri ayahnya. Di kalangan Anshar pun kebiasaan seperti ini berlaku. Nasib isteri pada masa Arab jahiliyah seperti layaknya harta warisan yang bisa diwariskan kapan saja. Perempuan menjadi simbol kehinaan waktu itu.
Pada masa Yunani kuno wanita dipaksa memikul tanpa persetujuan perempuan, dan memang persetujuan itu tidak ditanyakan karena itu dianggap tidak penting. Perempuan Yunani harus selalu menaati segala aturan yang datang dari laki-laki, baik itu saudara laki-laki ataupun ayahnya. Perempuan banyak dijadikan pelacur, selir-selir yang tugasnya merawat tubuh tuannya. Perempuan di Yunani Kuno dijadikan sebagai persembahan oleh Aphrodite (dewi cinta dan kecantikan, yang mengkhianati suaminya dan bermain dengan tiga dewa yang lain).
Jika dipahami saksama tentang zaman pra Islam mungkin saja logis ketika waktu dulu masih banyak aturan yang ketat tentang perempuan, bahkan untuk shalat di masjid sekalipun. Ruang aman untuk perempuan waktu dulu tidak ada. Tetapi jika melihat konteks perempuan hari ini sangatlah berbeda jauh. Disadari atau tidak, perempuan hari ini jauh lebih aman dari pada zaman pra islam. Walaupun tidak dipungkiri bahwa hari ini masih banyak perempuan yang masih mengalami ketidaknyamanan berada di ruang publik.
Dengan demikian, perempuan menginginkan shalat di rumah ataupun di masjid tidak masalah, bukankah ibadah boleh di mana saja tanpa terbatas tempat? Kembali pada kemaslahatan diri perempuan itu sendiri. Meskipun laki-laki mendapatkan keutamaan shalat di masjid bukan berarti ia tak mendapatkan keutamaan jika melakukan shalat di rumah, begitupun juga hal yang sama berlaku untuk perempuan. []