Mubadalah.id – Menurut Press Release yang disampaikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Indonesia saat ini menempati peringkat ke 7 dunia dan ke 2 ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Hal ini tentunya berdampak terhadap angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kedalaman Kemiskinan. Pada tahun 2018 di Indonesia, 1 dari 9 anak perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. (kemenpppa, 2019)
Mengingkat banyaknya dampak negatif yang disebabkan oleh perkawinan anak, pemerintah telah mengambil beberapa langkah strategis dan praktis untuk menguranginya. Di tingkat hulu, pemerintah sudah menunjukkan komitmennya untuk mencegah perkawinan anak. Salah satunya adalah dengan diaturnya batas usia perkawinan yaitu 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Melalui Undang-undang No 16 tahun 2019 tentang perkawinan, perubahan atas Undang-undang No 1 tahun 1974 menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menekan angka perkawinan anak.
Di tingkat hilir, kesadaran pemerintah Desa tentang dampak negatif perkawinan anak juga mulai tampak di berbagai wilayah. Seperti yang terjadi di wilayah Madura. Pemerintahan Desa di beberapa kabupaten di Madura secara aktif melakukan sosialisasi tentang batasan usia perkawinan melalui kegiatan-kegiatan Desa. (Raudhatun, 2020).
Kabupaten Rembang juga mengambil langkah koordinasi PUSPAGA dalam mencegah perkawinan anak, dan di Pamekasan pihak pemerintah bekerjasama dengan pesantren-pesantren untuk menambah satu tahun masa pembelajaran untuk menyelesaikan kitab tentang keluarga dan untuk menunggu usia santri sampai 19 tahun. Dan di wilayah Ponorogo, Bupati telah mengintruksikan Pemerintah Desa untuk segera Menyusun Perdes tentang pencegahan perkawinan anak.
Naiknya usia perkawinan hanya menambah angkat permohonan dispensasi
Ada satu hal yang luput dari kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti maupun stakeholder. Yaitu kajian mengenai permohonan dispensasi perkawinan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama. Jika salah satu atau kedua mempelai belum memenuhi syarat batas usia, maka tetap memiliki peluang untuk menikah diusia anak dengan mengajukan memohon dispensasi perkawinan terlebih dahulu. Longgarnya aturan permohonan dispensasi perkawinan ini menafikan upaya pemerintah dari hulu maupun hilir untuk menekan angka perkawinan anak. Hal ini terbukti dari melonjaknya permohonan dispensasi perkawinan pada Pengadilan Agama, pasca dinaikkannya usia minimum perkawinan.
Negara bersepakat untuk menekan angka perkawinan anak. Salah satunya dengan dinaikkannya batas usia perkawinan anak menjadi 19 tahun. Begitupula dalam UU no 35 tahun 2014 juga melibatkan orang tua sebagai aktor utama mencegah perkawinan anak. Di tingkat daerah bermunculan Surat Edaran maupun Instruksi Gubernur di tingkat Kabupaten/Kota bahkan dalam bentuk Peraturan Desa. (Bappenas, 2019)
Permasalahan muncul di Lembaga Pengadilan Agama, seketat apapun peraturan dan regulasi yang dikeluarkan di tingkat nasional maupun daerah, Pengadilan Agama justru memiliki mekanisme Dispensasi Perkawinan yang sangat longgar. Kenaikan usia minimum perkawinan justru berdampak pada kenaikan angka permohonan dispensasi perkawinan, bukan menekan angka perkawinan anak.
Salah satunya di wilayah Ponorogo, permohonan dispensasi perkawinan mengalami kenaikan yang signifikan. Sebanyak 165 pasangan muda mudi mengajukan dispensasi perkawinan di tahun 2020, angka ini naik 50% dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 78 pasangan. Begitupula dengan dengan Pengadilan Agama Lewoleba Nusa Tenggara Barat, terjadi kenaikan permohonan dispensasi perkawinan mencapai 50%.
Dan di Pengadilan Agama Tarakan Kalimantan Utara terjadi kenaikan angka permohonan dispensasi sebanyak 60%.Menurut Bappenas, tercatat ada 13.783 kasus permohonan dispensasi di peradilan agama dan 190 kasus di pengadilan umum (AIPJ2 2019). Pengabulan dispensasi perkawinan mencapai 99% kasus. (Unicef, 2020)
Pengadilan Agama Perlu Menyusun Variable Kebutuhan
Hakim pada Pengadilan Agama tidak memiliki standar acuan, dan variable pertimbangan untuk menolak permohonan dispensasi perkawinan. Alasan utama hakim mengabulkan 99% permohonan dispensasi perkawinan adalah untuk menghindari mudarat (kerugian atau bahaya). (Unicef, 2020)
Permasalahan hak anak, kesiapan mental dan finansial, kesehatan reproduksi dan kesiapan perempuan dalam menjalankan organ reproduksinya nyaris hilang dalam kajian di meja hijau. Namun lupa bahwa setelah permohonan tersebut dikabulkan mudarat yang lebih luas dan komplek akan menghampiri pasangan anak tersebut. Mudarat bagi pasangan suami istri, bagi anak yang dilahirkan, bagi lingkungan dan masyarakat.
Maka untuk menekan dan menghindari mudarat yang lebih besar, perlu segera disusun variable kebutuhan yang mengukur keadaan kedua pasangan muda mudi, pola asuh orang tua, keadaan ekonomi pendukung, kesehatan reproduksi, dan variable lainnya yang dianggap perlu untuk dijadikan acuan. Sehingga mampu membuka wawasan dan pertimbangan hakim di wilayah pengadilan Agama dalam menetapkan permohonan dispensasi selain pertimbangan mudarat.
Kampanye yang masif sekalipun tentang pencegahan perkawinan anak-anak, akan tidak maksimal jika ada celah hukum yang memberikan lampu hijau bagi pelakunya. Melarang, namun membuka peluang untuk diberi izin. Dengan adanya varibale tersebut, diharapkan dapat membuka wawasan dan pertimbangan hakim di wilayah pengadilan Agama dalam menetapkan permohonan dispensasi perkawinan yang tidak hanya terbatas pada klausul “niat baik” saja secara agama.
Keadaan sosial, psikologis, dan ekonomi pemohon dispensasi harus menjadi dasar hakim juga. Karena permasalahan yang dihadapi oleh pasangan pelaku perkawinan anak akan lebih banyak ditemui setelah pasangan tersebut menikah. Seperti KDRT, permasalahan perekonomian, dan lain sebagainya. []