Mubadalah.id – Sahira yang cantik. Berkulit coklat cerah dengan rambut berwarna coklat tua keriting. Panjang dan terurai indah. Matanya besar dengan bola mata yang hitam pekat seperti malam yang memikat.
Sahira anak design. Dia kuliah sambil bekerja sampingan sebagai desainer grafis dan kadang-kadang branding agency. Hari-harinya bergelut dengan berbagai macam design yang sekiranya eksis untuk dikonsumsi jaman sekarang.
Taj Sahira namanya. Dengan pesona dan kemahirannya itu, siapa pula yang tak tertarik. Sahir, pria berumur 22 tahun dengan nama asli Sahir Akram itu menyukai Sahira sejak gadis itu ikut andil dalam sebuah Seminar Hukum Tata Negara.
Sahir kakak kelas Sahira di kampus, dengan jurusan Hukum, mencari orang yang bisa design grafis untuk baliho dalam acara seminar nanti. Meski beberapa kawannya ada yang bisa membuat design, Sahir yang ambisius mencari orang dengan selera design tinggi, eksis, dan menarik. Temannya menunjuk Sahira. Jadilah Sahira orang yang membuat design baliho oleh organisasi yang diikuti Sahir. Dan yang menakjubkan, Sahira tidak menggunakan baliho untuk backgroundnya, melainkan kayu yang diukir dan dilukis dengan sangat indah nan menawan. Terlihat mewah dan estetik.
Semenjak bertemu di seminar itu, Sahir dan Sahira semakin dekat. Hubungan mereka pun menjadi gosip dan rahasia umum di sekiar kampus. Saudara sepupu Sahir, Guntara, mengetahui hubungan itu dan sesekali dia menguntit seperti apa sosok Sahira. Setelah mengetahui bahwa Sahira tak berkerudung dan merupakan anak pejabat daerah, seketika Guntara tak menyukai hubungan keduanya.
“Dia gak sekufu sama kamu,” komentar Guntara.
“Tidak harus sekufu.” Sahir mengelak. Menjawab santai sambil menenggak air mineralnya.
“Percuma dilanjutkan. Abahmu tak akan setuju dengan hubungan kalian. Abah jelas-jelas akan mencari gadis yang berjilbab, pintar mengaji, dan yang terpenting anak rumahan. Bukan seperti Sahira itu. Dia akan diandalkan apa untuk madrasahmu? Pada akhirnya semua orang akan bisa mendesign kalau dia mau belajar dan prosesnya juga singkat. Sedangkan belajar mengaji apalagi agama, itu butuh waktu yang lama dan Sahira belum tentu termasuk kriteria itu,” jelas Guntara panjang lebar.
“Sudahlah. Kamu gak tau apa-apa tentang dia.” Sahir sedang malas mendebat sepupunya itu. Sepupu yang menjurus pada hukum syariah. Maklum dia tak menerima hubungannya dengan Sahira
“Memang aku tak tahu. Tapi semuanya, kan bisa dilihat dari latar belakang pendidikannya. Sejak SMP dia mengenyam pendidikan formal yang berbasis umum. Bukan agama.”
Namun Sahir tak mau mendengarkan. Tak tahu saja Guntara itu bahwa Sahira adalah gadis yang taat. Sekilas saja penampilannya menafikan kehambaannya. Namun setelah lama dia dekat dengan Sahira, tahulah dia bahwa Sahira sosok yang tak pernah meninggalkan shalat dan selalu melaksanakannya secara tepat waktu.
Pernah Sahir berkunjung ke rumah Sahira. Ada mushala di sana. Tempat yang bersih dan nyaman. Di samping mushala itu terdapat lemari dengan kitab kuning berjejer serta buku-buku agama.
“Dulu Papah juga mesantren, kok. 10 tahun. Setelah lulus S-1, Papah banting setir dengan masuk ke politik dan jurusan hukum di S-2. Meski Papah terjun di bidang politik hukum negara, Papah paham mengenai hukum-hukum syariat agama,” kata Sahira kala itu.
Sahir bertanya mengapa Papahnya tak fokus saja pada bidang keagamaannya
“Orang memang suka lihat penampilannya, ya, heheee… Kata Papah, orang-orang di hukum negara terkadang butuh salah satu dari mereka, orang yang juga paham hukum agama. Karena kadang-kadang juga, undang-undang yang ditetapkan itu perlu dasar dan perlu dilandasi hukum agama supaya bisa pas dengan prinsip agama, yaitu kemaslahatan bagi rakyat.”
“Contohnya?”
“Contoh kecilnya, ya di pengadilan. Negara mengharuskan pengajuan cerai itu dari pihak laki-laki dan permohonan cerai dari pihak perempuan. Sedangkan dalam agama, yang menceraikan pihak laki-laki sedangkan perempuan hanya boleh mengajukan saja kepada suami, lalu tergantung suami mau menceraikan atau tidak. Kemudian hukum negara itu ditelusuri bagaimana supaya bisa selaras dengan hukum agama.
Hukum agama memperbolehkan dengan dasar adil dan maslahat. Adil bagi kedua pihak, yaitu suami dan istri, serta maslahat bagi keduanya, maksudnya, tidak ada pihak yang dirugikan. Sebab kalau hanya suami yang berkuasa dalam perceraian, niscaya si istri direnggut haknya untuk meminta cerai sementara dia tidak tahan atau tidak sanggup lagi berada se-lingkungan dengan suami.
Apalagi, kalau suaminya tidak mau menceraikan. Karena itu, negara menetapkan bahwasanya perceraian boleh diajukan oleh kedua belah pihak, lalu diproses dalam pengadilan. Jadi meski hukum negara berbeda atau undang-undang tidak sesuai dengan fikih, yang penting ada landasan hukum syariatnya.”
“Cerdas kamu. Tapi bukannya hukum negara tidak harus berdasar hukum agama, ya? Karena kadang banyak sekali hukum agama yang nggak sesuai sama keadaan negara.”
“Memang. Tapi kan tetap harus berlandaskan hukum agama. Sekecil-kecilnya prinsip agama, lah. Seperti pancasila. Secara sarat makna, kan, pancasila itu ber-ruhkan maqashidus syariah. Hifdzud din, hifdzun nafs, hifdzun nasl, hifdzun aql, hifdzul maal. Bukan begitu, ustadz?”
Semakin terpukau saja Sahir dengan Sahira. Meski tidak fokus pada pendidikan agama, pengetahuannya tentang syariat lumayan luas. Dan entah kenapa, Sahir seperti melihat dirinya sendiri yang mengucapkan kalimat itu.
Lain waktu, dengan berhati-hati Sahir bertanya mengapa Sahira tak berjilbab.
“Memang kenapa? Penampilan, kan tidak menjamin kepribadian seseorang. Kalau yang kamu tanyakan berkaitan dengan agama, sejatinya agama, kan tidak mewajibkan berjilbab. Banyak penafsiran-penafsiran yang membela perempuan tak berjilbab, bukan? Atau kalau seandainya kamu bertanya dengan berkaitan pada adat budaya pesantren atau madrasah, seperti kamu ini jawabannya, ya itu, kan konstruksi yang melekat sehingga ketika berbeda dengan pandangan masyarakat hal demikian dianggap asing.
Kecuali ada satu orang yang berani merubah dogma itu. Masalahnya itu saja, sih, tidak ada yang berani, dan sedikit sekali yang menerima perubahan. Terakhir kalau yang kamu tanyakan berkaitan dengan prinsip aku, prinsip aku, sih, ya aku cuma pengen ngasih tau orang kalau aku ciptaan Tuhan dengan rambut sebagai mahkota yang cantik. Hahaaa.”
Sahir mendengus. Sudah serius-serius dia mendengarkan, Sahira malah becanda. Garing pula.
Sahira masih terkekeh. Dia menyeruput sedikit coca-cola dinginnya. Minuman kesukaannya.
“Enggak. Aku selalu berharap, ketika orang ngeliat aku, mereka menyebut, ‘Subhanallaaah, masya Allah, Allahu Akbar.’ Atau sedikitnya, ingat Tuhan, lah. Alasan lain karena aku suka sama tren fashion simple yang gak berjilbab dan gak ngeribetin. Bukannya jilbab itu budaya Arab, ya? Yang diadopsi hukum?” Sahira bertanya balik. Tetapi pertanyaannya tak dijawab.
Memang, selama ini, Sahir melihat Sahira sebagai sosok yang berpenampilan sederhana namun elegan. Celana jeans, kaos dengan balutan rompi denim, juga syal yang melilit di lehernya. Paling sederhananya hanya celana jeans dengan blus yang begitu menawan di tubuhnya yang ramping berisi. Atau pernah juga rok dengan kemeja berwarna cerah yang dimasukan ke dalam.
“Tuh, kan. Dia pake gamis aja gak betah. Sedangkan kalau nanti dia jadi istri kamu, dia harus pake gamis setiap hari.” Guntara tak bosan dengan kritikannya.
“Husss. Diamlah kamu ini. Semuanya butuh proses. Penampilan boleh saja kurang, yang penting otaknya itu cemerlang.” Sahir tersenyum mengejek.
“Hah. Pembelaan.” (Bersambung)