Mubadalah.id – Kiai Sahal Mahfudh wafat pada Januari 2014 M atau Rabi’ul Awwal 1435 H. Ada banyak pengalaman dan pengetahuan berharga, yang saya dengar dan lihat langsung dari penuturan serta keseharian beliau. Terhitung sejak menikah pada Januri tahun 2004 hingga beliau wafat di tahun 2014. Sehingga terdapat kurang lebih 10 tahun kesempatan yang saya dapatkan untuk ngangsu kaweruh kepada beliau. Baik melalui kesaksian terhadap keseharian beliau, maupun dari jawaban beliau mengenai persoalan-persoalan yang saya tanyakan.
Dari sepuluh tahun tersebut, terbilang empat tahun pertama, adalah waktu yang paling intens bagi saya dalam mengikuti keseharian beliau. Hal ini karena pada empat tahun pertama ini, saya masih serumah dengan beliau. Dan di saat bersamaan, Nyai Nafisah sedang dalam puncak kesibukannya sebagai anggota DPD RI, sebagai aktifis organisasi sosial kemasyarakatan, disamping sebagai guru sekaligus pengasuh pesantren.
Sebagai anggota DPD RI, praktis nyai Nafisah harus membagi waktunya 4 hari di Jakarta, dan 3 hari dengan berbagai kesibukan lainnya di wilayah Pati dan sekitarnya. Sedangkan Kiai Sahal, sebagai Rois ‘Am dan Ketua MUI, hanya memiliki agenda sebulan sekali ke Jakarta. Selebihnya, pengurus pusatlah yang akan bertandang ke Kajen, apabila ada persolan mendesak yang harus diputuskan oleh Kiai Sahal.
Pada tahun-tahun tersebut, kebetulan, di antara anggota keluarga, sayalah yang paling banyak berada di rumah. Selain mengajar TPQ di sore hari, dan mengajar kitab di pesantren putri, maka aktifitas wajib saya setiap hari adalah menemani Kiai Sahal dahar. Beliau yang selalu istiqomah dalam segala hal, memiliki kebiasaan dahar pada pukul 6.30, pukul 10.30 dan ba’da maghrib. Inilah saat-saat istimewa saya, untuk banyak bertanya atau mendengarkan penuturan beliau.
Selain pada saat dahar, waktu menunggu sholat isya adalah saat terbaik untuk menanyakan banyak hal kepada beliau. Biasanya, waktu-waktu tsb beliau habiskan dengan duduk di kursi di ruang tengah. Membaca koran atau menyimak berita terkini.
Ada banyak hal istimewa yang saya temui dalam relasi Kiai Sahal dan Nyai Nafisah sebagai sepasang suami-istri. Meski Kiai Sahal adalah pucuk pimpinan di dua organisasi besar di Indonesia (PBNU dan MUI), namun beliau tidak serta merta menjadikan alasan kesibukannya untuk membuat sang istri hanya sibuk di wilayah domestik. Upaya untuk saling mendukung dan saling menguatkan tampak terlihat dari bagaimana dukungan dan kesempatan yang diberikan Kiai Sahal kepada Nyai Nafisah.
Bahkan, dengan berbagai kesibukan beliau berdua, Kiai Sahal selalu menyempatkan diri untuk menunjukkan perhatiannya kepada sang istri dengan cara (yang menurut saya) cukup romantis. Hampir setiap Kamis siang, pada saat tiba jadwal Nyai Nafisah pulang kembali ke Kajen, seusai 4 hari beraktifitas di Jakarta, Kiai Sahal selalu tampak menunggu sang istri di ruang tamu depan. Dengan wajah sumringah, sesuai waktu yang telah dijadwalkan, Kiai Sahal akan duduk di kursi di ruang tamu dengan menghadap ke halaman, menunggu sang istri datang. Sering pula, saya bersama anak sulung saya, menemani beliau sambil berbincang sekedarnya.
Pada momen-momen tersebut, terus terang membuat saya merasa terbawa suasana. Karenanya, pernah suatu kali saya beranikah diri untuk bertanya pada yai: “pripun bah.. rasane ditinggal ibuk teng Jakarta setiap minggu ngeten niki?”
“Yo ora kepenak”. Jawab yai lugas.
Kemudian beliau menambahkan, “ndek biyen ibumu yo.. sering tak tinggali sibuk. Ibumu yo.. sabar.” Dan jawaban beliau waktu itu, sungguh terdengar sebagai jawaban yang luar biasa bagi saya. Bahkan hingga saat ini.
Jawaban ini, menunjukkan bagaimana Kiai Sahal memiliki visi kesetaraan dalam melihat perempuan/laki-laki atau suami/istri sebagai sesama manusia yang memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan fungsi domestik dan fungsi publiknya. Pada saat Kiai Sahal dalam kesibukannya, maka Nyai Nafisah memberikan dukungan sepenuh jiwa. Demikian pula saat Nyai Nafisah melaksanakan fungsinya di ranah domestik atapun publik, maka Kiai Sahal adalah orang pertama yang meberikan dukungannya.
Pada akhirnya, meski Kiai Sahal tidak tercatat sebagai aktivis perempuan, namun visi terdepan beliau dalam persoalan perempuan dapat jelas terbaca dari laku keseharian beliau. Baik terkait keputusan-keputusan besar dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam sikap keseharian dalam memberikan dukungan terhadap kiprah sang belahan jiwa, baik di bidang pendidikan, sosial, maupun politik. Wallahu A’lam. Kagem Kiai Sahal dan orang-orang tercinta yang telah mendahului kita, AlFatihah. (bersambung)