Mubadalah.id – Kasus kekerasan seksual masih menjadi topik yang kencang dibicarakan. Ia kini bahkan mulai merambat pada sektor-sektor pendidikan. Korbannya tetap saja kebanyakan adalah perempuan. Di Bandung, seorang ustad memperkosa dua belas santriwatinya bahkan hingga hamil dan melahirkan. Sementara anak-anaknya tersebut dijadikan kedok untuk mencari keuntungan, dijadikan alat funding dengan disebut sebagai anak yatim piatu yang sedang ia asuh.
Di Jombang yang bahkan hingga saat ini belum terselesaikan, seorang anak kiai mengklaim bahwa ia memiliki kemampuan metafakta untuk melakukan sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap santriwati ataupun alumninya. Dikabarkan aset kekayaannya sangat tinggi. Memiliki pabrik rokok ekspor, beberapa bisnis di wilayah Jombang dan juga memiliki keluarga yang bekerja di lembaga penegak hukum.
Di Kota Malang yang beberapa bulan terakhir ramai diperbincangkan. Mahasiswi diperkosa kemudian diminta untuk menggugurkan kandungannya oleh mantan pacarnya yang sedang aktif pendidikan kepolisian. Dikabarkan ayah dari mantan pacarnya pun merupakan anggota DPRD. Korban memutuskan bunuh diri tidak kuat karena selalu disalah-salahkan oleh orang lain bahkan oleh orang tua pelaku dan kerabatnya sendiri.
Di Palembang, kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus. Pelakunya adalah dua dosen dan korban tiga mahasiswi. Pun terjadi di salah satu kampus di Jakarta yang mana pelaku adalah dosen dengan modus membagikan chat mesum, mengatakan ‘I Love U’ pada seorang mahasiswi yang meminta bimbingan bahkan mengajak menikah korban hingga memaksa agar bisa datang ke rumah korban.
Dari kasus-kasus tersebut terlihat bahwa terjadinya kasus kekerasan seksual tidak serta merta terjadi hanya karena perihal rendahnya moral, rasa berkuasa atau relasi kuasa memiliki peran, menjadikan pelaku merasa berhak dalam melakukan kasus kekerasan seksual bahkan tidak merasa bersalah untuk melakukan tindak kekerasan seksual.
Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa ketimpangan relasi kuasa merupakan penyebab utama terjadinya kasus kekerasan seksual. Relasi kuasa menjadi alat penindasan, ia ditentukan oleh hubungan hierarkis. Posisi antar individu yang lebih rendah atau lebih tinggi. Relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban. Pelaku merupakan pihak yang memiliki kuasa dalam suatu relasi dengan korban.
Memiliki kekuasaan berarti memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku atau sikap orang lain sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang memiliki kuasa tersebut. Dengan memiliki kekuasaan, otomatis yang bersangkutan memiliki pengaruh termasuk terhadap orang-orang yang ia jadikan korban kasus kekerasan seksual.
Menurut Foucault, kuasa dijalankan melalui serangkaian regulasi tertentu yang saling mempengaruhi. Kuasa menjalankan perannya melalui serangkaian aturan-aturan dan sistem-sistem tertentu sehingga menghasilkan semacam rantai kekuasaan.
Secara garis besar, terdapat dua faktor terjadinya kasus kekerasan seksual. Yakni faktor penyebab dan faktor pemicu. Faktor penyebabnya ialah ketimpangan relasi kuasa. Sementara faktor pemicunya bisa bermacam-macam. Bisa karena perekonomian, pendidikan yang rendah, bisa juga karena pemahaman agama yang berbeda dan lain hal.
Faktor pemicu lebih sering dijadikan sebagai landasan dalam melakukan tindak kekerasan. Seperti, seseorang melakukan eksploitasi untuk meraup keuntungan, human trafficking, dengan alasan untuk menunjang perekonomian. Atau lain contoh seperti tokoh agama yang posisinya selalu disakralkan maka dianggap apapun yang dilakukan adalah hal baik walau sebenarnya mengandung kemudlaratan, menggunakan dalil-dalil keagamaan sebagai legitimasi apa yang ia lakukan.
Maka, andaikata tidak ada ketimpangan dalam kehidupan masyarakat kita, akan sangat kecil kemungkinan terjadinya kasus kekerasan seksual. Sebaliknya, walaupun faktor pemicu tidak ada tetapi faktor penyebab masih ada, maka kekerasan sangat mungkin tetap akan terjadi.
Relasi kuasa memposisikan antar satu orang dengan orang lainnya menjadi dua ordinat, yakni ada pihak yang menempati posisi super-ordinat dan ada pihak yang menempati posisi sub-ordinat. Tentulah posisi keduanya tidak sama. Pihak sub-ordinat menempati posisi di bawah super-ordinat.
Pihak sub-ordinat seakan-akan dijadikan harus menerima perlakuan apapun dari pihak super-ordinat, termasuk ketika terjadi paksaan untuk menjadi objek dalam kasus kekerasan seksual. Sedangkan pihak super-ordinat memiliki kuasa penuh dalam bertindak terhadap kelompok sub-ordinat yang mana posisi sub-ordinat jauh lebih rendah daripada super-ordinat.
Konstruksi Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual
Menurut Michel Foucault, kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Kuasa dan pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat. Kuasa memproduksi pengetahuan dan pengetahuan memiliki kuasa.
Pengetahuan merupakan wacana yang beroperasi dalam jaringan kekuasaan. Dengan begitu, kuasa tersebut tidak tampak mata namun ia melebur bekerja dalam sistem kelompok masyarakat tersebut. Melalui pengetahuan, aktivitas kehidupan diatur dengan aturan-aturan tertentu.
Dalam hal ini, pengetahuan berfungsi sebagai kontrol dalam sosial masyarakat membentuk pengetahuan untuk mengatur bagaimana “seharusnya” masyarakat bertindak dan bertingkah laku. Pengetahuan tersebut bisa diwujudkan dengan cerita, konsep kepercayaan dan sebagainya yang secara terus menerus dimashurkan.
Diperkuat oleh pendapat Gramsci, bahwa terdapat dua cara untuk mempertahankan kekuasaan, yakni dominasi dan hegemoni. Dominasi adalah proses kekuasaan secara langsung melalui fisik. Sementara hegemoni merupakan proses kekuasaan yang bekerja dengan produksi wacana (non fisik). Cara hegemoni ini ditempuh salah satunya dengan produksi wacana sebagai usaha untuk mempertahankan kekuasaan.
Seperti, pernyataan bahwa laki-laki dengan sosok maskulinitasnya adalah figur yang kuat sementara perempuan dengan feminitasnya adalah figur yang lemah. Hal ini jika terus menerus dilanggengkan maka akan membentuk suatu paradigma kepercayaan bahwasanya laki-laki memanglah sosok yang selalu kuat dan perempuan selalu lemah. Dengan begitu masyarakat memiliki pengetahuan laki-laki kuat dan perempuan lemah.
Pengetahuan tersebut memiliki kuasa yang memproduksi aturan-aturan seperti: perempuan tidak boleh keluar rumah apalagi di malam hari karena malam hari adalah terkesan rawan dan perempuan adalah sosok yang lemah, apabila perempuan keluar rumah dan terjadi sesuatu pada dirinya, ia dianggap tidak bisa melawan karena frame pengetahuan yang dibangun sejak awal adalah sosok perempuan lemah. Kemudian aturan ini mengkontrol perempuan agar selalu berdiam diri di rumah.
Pengetahuan tersebut akhirnya memiliki kuasa bagi sosok laki-laki. Laki-laki yang sejak awal dikenal sebagai sosok yang kuat, maka ketika bertemu perempuan dengan mudahnya ia melakukan tindak kekerasan dan akan menggunakan dalih bahwa hal tersebut adalah kesalahan perempuan sebagai sosok yang lemah.
Relasi Kuasa Menjadikan Adanya Tindak Kekerasan
Tindak kekerasan sering digunakan sebagai cara untuk mempertahankan dan memaksakan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Tindak kekerasan terhadap perempuan terjadi karena rendahnya pola pikir masyarakat tentang kesetaraan atau persamaan derajat laki-laki maupun perempuan yang terjalin dalam interaksi antar sesama.
Faktor yang mempengaruhi yakni faktor sosial budaya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor sosial budaya yang salah kaprah tersebut menimbulkan adanya ketimpangan relasi kuasa yang menyebabkan terjadinya subordinasi bagi perempuan. Hal tersebut dinormalisasi dengan memproduksi sistem kontrol yang sistematis. Kontrol yang dibentuk melalui hierarki sehingga kontrol dilakukan pada semua orang dan oleh semua orang.
Bentuk kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan tak lain merupakan bentuk ekspresi dari maskulinitasnya dalam relasi dengan perempuan. Watak maskulinitas menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan merupakan bentuk kemampuan dalam mendominasi dan mengendalikan orang lain.
Ketidak-adilan gender pun menjadi faktor dominan terjadinya ketimpangan relasi kuasa. Hal ini terjadi dalam segala hal, seperti peranan laki-laki lebih dominan daripada peranan perempuan dalam lingkup keluarga maupun lingkup masyarakat.
Menurut Foucault, kuasa dalam masa modern mengalami pola normalisasi, tidak lagi bekerja melalui penindasan dan kekuatan fisik saja, kuasa dijalankan dengan membuat kesepakatan yang dijalankan secara sukarela. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya kasus kekerasan seksual namun belum ada regulasi yang spesifik untuk mengaturnya. Dan kita berharap banyak pada UU TPKS yang baru saja disahkan itu. []