Mubadalah.id – Siapa yang tak kenal semat gelar Pulau 1000 Mesjid? Setiap kali menyebut atau mendengarnya, tentu yang terlintas adalah Pulau Lombok, NTB, sebuah pulau di bagian timur Indonesia. Pulau yang beraneka ragam budaya dan bahasa ini dipersatukan oleh suku yang dikenal dengan Suku Sasak. Suku yang sudah ditemukan di Lombok sejak 4000 tahun sebelum Masehi, yang menyimpan budaya dan adat yang berlainan dengan suku-suku lain. Termasuk budaya nikahnya.
Orang-orang yang belum mengenal, mungkin akan mengekspresikan raut muka tak biasa ketika mengetahui salah satu tradisi nikah Sasak, seperti kawin curi, misalnya. Saat banyak suku menggunakan tradisi lamaran, masyarakat Suku Sasak malah mencuri wanita yang hendak dinikahi. Bahkan, di beberapa daerah, ada tak sudi bila putrinya dilamar. Mereka merasa hina dan terlecehkan. Inilah salah satu contoh kelainan budaya Sasak. Syukurnya, tradisi yang satu ini masih berdamai dengan prinsip-prinsip besar agama (muwafiq li maqashid as-syari’ah).
Namun, yang fatal, yaitu ketika dihadapkan dengan tradisi yang menabrak prinsip besar agama. Beberapa di antaranya pernah saya ulas dalam sajian khusus di media Mubadalah.id. Seperti kebebasan ‘mencuri’ sepupu jalur ayah (pruse), nikah paksa bagi yang melanggar batas adat, keharusan memberi pisuke (sejumlah uang) kepada keluarga istri, dan maskawin yang tak ramah kantong.
Konstruk budaya yang mukhalif (tak berdamai dengan agama) ini perlu kita luruskan. Dan, itulah salah satu motif lahirnya Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB. Yaitu untuk mengadvokasi diskriminasi beberapa budaya Sasak terhadap perempuan khususnya, dan kemanusiaan secara umum.
Komunitas ini juga bergerak untuk mengedukasi masyarakat tanpa pandang bulu, dan memberi pemahaman lebih dalam bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta dan kasih-sayang, agama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Mereka memiliki posisi yang setara dengan laki-laki di hadapan Tuhan.
Lingkar Ngaji Lesehan, secara usia masih seumur jagung, belum genap tiga bulan jika dihitung dari sekarang. Ia resmi berdiri pada 12 November 2021 di tangan lima pemuda yang dirundung kegelisahan yang sama terkait budaya yang semakin kejam kepada perempuan dan kemanusiaan.
Rutinitas Lingkar Ngaji Lesehan
Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan saat ini (setiap hari ahad siang) fokus mengkaji dua buku berbahasa Arab; (1) kitab Manbaussa’adah karya kiai Faqihuddin Abdul Kodir, pengusung konsep mubadalah (asas kesalingan) dalam membangun relasi, baik keluarga maupun sosial dan penulis buku Qira’ah Mubadalah.
(2) Kitab al-Busyra fi Manaqib Sayyidah Khadijah al-Kubra, karya Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Hemat kami, kombinasi dua buku ini Isya Allah mampu melahirkan ‘laki-laki baru’ laiknya baginda Nabi di tengah gelap jahiliah dahulu, serta menciptakan kembali perempuan-perempuan tangguh laiknya Sayyidah Khadijah, ummul mukminin.
Misi Besar Lingkar Ngaji Lesehan
Komuniats yang baru seumur jagung ini, mengantongi misi-misi yang tak receh. Misi yang sudah dirumuskan oleh tim kajian dalam komunitas tersebut mendapat apresiasi baik dari teman-teman She Builds Peace, dan Aman Indonesia dalam acara zoom meeting Dana Hibah, sebagai bentuk dukungan langsung terhadap 50 komunitas terpilih di seluruh Indonesia, yang menyuarakan isu-isu perempuan dan kemanusiaan, lingkungan, dan seterusnya. Di antara misi besar komunitas Lingkar Ngaji Lesehan, yaitu;
Pertama, menciptakan masyarakat yang cerdas dalam berbudaya. Sehingga, masyarakat Sasak dapat mengerti norma adat dan norma agama secara proporsional. Mengingat, banyak tokoh agama yang ‘mensyariatkan’ budaya secara tak ‘bertanggung jawab’.
Kedua, melahirkan ‘laki-laki baru’ dan perempuan-perempuan tangguh dengan bekal pengetahuan dan moralitas yang tinggi.
Ketiga, membumikan norma-norma adat yang syar’i (muafiq li maqhashid as-syari’ah) dan tentunya juga norma-norma agama yang ramah budaya. []