Mubadalah.id – Kita tentu sering mendengar kalimat woman supporting woman dari teman perempuan yang ada di media sosial ataupun yang kita jumpai di dunia nyata. Kalimat woman supporting woman ini memang seperti mantra yang mampu mengikat hubungan sesama perempuan untuk saling mendukung bagaimanapun kondisi dan situasi yang sedang dialami. Gerakan saling dukung antar sesama perempuan bisa kita lihat dari beragam aktivitas yang dilakukan oleh para perempuan, entah diranah publik maupun diranah domestik.
Belakangan ini, entah mengapa bermunculan fenomena yang menggeser pemahaman tentang woman supporting woman. Jangan-jangan ada banyak persepsi tentang woman supporting woman. Nyatanya, meski jargon saling dukung sesama perempuan kerap didengar dan digaungkan, tetap masih banyak para perempuan yang saling menjatuhkan, ada banyak perempuan yang tidak senang terhadap pencapaian perempuan yang lain, merasa tersaingi sehingga (diam-diam) ingin menjatuhkan atau justru merasa dirinya lebih unggul dari yang lain.
Sebenarnya apa itu woman supporting woman? Pentingkah untuk kita memahami dan mempraktikkan gerakan woman supporting woman? Kenapa? Untuk apa dan siapa?
Mbak Kalis Mardiasih, seorang aktivis gender, pernah menjelaskan tentang pemaknaan woman supporting woman. Katanya, “woman supporting woman adalah sebuah kesadaran bahwa perempuan sebagai kelompok rentan mesti saling mendukung kelompok rentan lainnya. Kesadaran ini memiliki kepercayaan, bahwa pengalaman tubuh dan pengalaman sosial perempuan lebih mudah dipahami oleh sesama perempuan.”
Lalu, kenapa masih merebak fenomena saling menjatuhkan sesama perempuan?
Saat ada kasus poligami, misalnya. Kita sering melihat komentar yang tidak mendukung keputusan sang istri untuk menerima istri kedua. Lantas, apakah itu artinya tidak mendukung keputusan sesama perempuan? Atau saat kita disuguhkan berita tentang artis perempuan yang tidak bisa memasak.
Lantas kita sebagai netizen merasa berhak untuk melabeli dia sebagai perempuan yang tidak memiliki keterampilan dalam mengurus rumah tangga atau justru menganggap dia sebagai perempuan yang tidak dapat diandalkan. Sebagai sesama perempuan, jangan-jangan tanpa disadari, kita merasa dengan memberikan label “perempuan yang tidak bisa diandalkan di dalam urusan rumah tangga” lantas kita merasa jauh lebih baik dari pada perempuan sang artis tadi.
Sebenarnya, bagaimana woman supporting woman ini bisa kita lakukan?
Kembali pada pernyataan mbak Kalis Mardiasih, bahwa perempuan yang merupakan kelompok rentan sudah sepatutnya saling mendukung antar sesama perempuan. Sebab, perempuanlah yang bisa memahami kondisi sesama perempuan dengan beragam pengalaman biologisnya (mentruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui), juga pengalaman sosialnya (stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, violence, serta double burden).
Pengalaman biologis dan sosial ini lebih bisa dirasakan oleh sesama perempuan. Perempuan mengalami ketidaknyamanan ketika ditanya kapan nikah di usia yang terbilang masih sangat muda, kapan hamil saat baru selesai resepsi pernikahan, bahkan hanya karena dia perempuan kemudian mendapat banyak stigma negatif. Berpendidikan tinggi dianggap sia-sia karena hanya akan berkutik di dapur, kasur dan sumur. Pulang malam dianggap perempuan tidak baik. Dandan yang mencolok dianggap genit dan penggoda.
Kiranya, kita perlu belajar lagi tentang solidaritas sesama perempuan. Bagaimana membangun sudut pandang yang peduli terhadap sesama perempuan dengan kondisinya masing-masing. Sehingga kita tidak mudah melecehkan, memberi stigma negatif atau menjatuhkan sesama perempuan.
Kita (perempuan) sama-sama melawan sistem patriarkis yang menganggap perempuan adalah manusia kelas kedua sehingga suaranya, kondisinya, tidak penting untuk diperhatikan. Kultur masyarakat yang menindas inilah yang perlu untuk dilawan bersama. Sebab, perempuan satu dan lainnya senasib sepenanggungan.
Bukankah lebih menyenangkan jika kita dapat tumbuh bersama dengan perempuan lainnya. Berbagi pengetahuan dan sharing pengalaman tanpa perlu merasa tidak nyaman karena menganggap perempuan lain adalah kompetitor dalam hidup. Memang, kondisi masa lalu mengajarkan sesama perempuan untuk saling berkompetisi.
Bahkan media televisi, khususnya sinetron, mendidik para perempuan untuk saling mencurigai, menyalahkan dan menjatuhkan. Perempuan yang tidak memiliki kuasa dianggap tidak layak untuk dihormati sebagai perempuan oleh perempuan lainnya. Padahal, bagiamanapuan situasinya, perempuan yang satu dan perempuan lainnya penting untuk memiliki kesadaran bahwa solidaritas sesama perempuanlah yang mampu untuk membangkitkan sesama perempuan.
Woman supporting woman ingin mengajarkan kepada kita semua, bahwa perempuan bisa berdaya, bertumbuh dan belajar secara kolektif. Kita (perempuan) bisa saling mendukung, berkolaborasi dan bekerja sama untuk menguatkan dan menuju kesuksesan bersama.
Tantangannya memang tidak mudah, tapi tidak ada yang tidak mungkin. Mari kita sama-sama mencoba untuk menguatkan kembali solidaritas kita terhadap sesama perempuan. Kita perempuan dan kita bisa untuk menuju perempuan saling berdaya. Tetap semangat para perempuan hebat dimanapun berada. Aku perempuan, kamu perempuan, dan kita bangga menjadi perempuan yang saling support sesama perempuan. []