Mubadalah.id – Menemukan toleransi di jagat media sosial itu langka sekali. Jauh lebih langka dibandingkan dunia nyata. Kita semua bisa merasakannya. Berkali-kali, pintu dan jendela dunia baru yang kita sebut gadget ini diketuk seolah tanpa henti oleh notifikasi-notifikasi entah dari mana.
Normalisasi KDRT, konflik Desa Wadas, pencemaran nama baik, penistaan agama, sikap intoleransi, persoalan Toa, dan seterusnya, termasuk yang meramaikan telinga publik akhir ini. Para netizen datang berkomentar tanpa diundang. Mulai dari pujian, pembelaan, caki-maki, sampai sikap sok bijak, atau mungkin benar-benar bijak.
Urusan selain caci-maki, jubah agama ini masih tersenyum menanggapinya. Namun, terkait cacian dan hujatan sepertinya semua elemen masyarakat harus turun tangan, mengambil tempat untuk mengedukasi masyarakat. Terutama, bagi mereka-yang secara kultural-sudah mujma’ ‘alaih (disepakati) dan dipercaya sebagai orang yang menggawangi moralitas anak bangsa. Sebut saja para kiai, ibu nyai, guru-guru, para ustaz, dan yang semakna.
Coba kita intip satu saja, berapakah persentase para netizen di media sosial yang sempat mencaci ustazah Oki dan kemudian acung tangan meminta maaf di media sosial? Atau, barangkali pertanyaannya bukan ‘berapakah’, tapi ‘adakah’.
Dari sini kita bisa tahu, toleransi di jagat media sosial itu amat lah langka. Faktor singkatnya, mungkin kita belum benar-benar menganggap media sosial sebagai dunia baru yang bisa serius. Kita masih melihatnya sebagai sarang hiburan dalam bentuk tulisan, gambar dan video. Tanpa ada sangkut pautnya dengan hati, pikiran, psikis, mental dan yang lain.
Faktor ini, hemat saya berawal dari asumsi, bagaimana bila para oknum pencaci itu berada di tempat yang sama dengan orang yang dicacinya saat konflik masih gerah? Rasanya, mereka akan lebih menahan diri dari melempar caci. Sebab, ia tak hanya merasakan keberadaan objek, tapi juga keberadaan dirinya sebagai subjek.
Para pengguna media sosial yang belum dewasa secara moral dan intelektual, akan merasa bahwa dirinya berkomentar dari tempat yang jauh. Komentarnya tak terkait dengan apapun. Ia tetap saja bisa mengupas mangga dengan tenang setelah berkomentar.
Syekh Ibrahim Muhammad Mahmud al-Hariri, seorang doktor yang sekaligus sebagai dosen tetap Fakultas Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab di Universitas Raja Saud Riyadh, Arab Saudi ini dalam al-Madkhal ila al-Qawa’id al-Fiqhiyah al-Kulliyah (hal. 137) menulis sebuah kaidah fikih yang berbunyi:
الكتاب كالخطاب
“Tulisan itu berada di posisi yang sama dengan ucapan.”
Pada dasarnya, kaidah ini dalam pelbagai buku kaidah fikih, berlaku untuk transaksi sosial saja. Wajar bila contoh-contohnya seputar jual-beli dengan media surat-menyurat. Namun, jika lebih dalam kita mengkaji alasan legalisasi transaksi dengan media tulis-dalam hal ini adalah al-jazmu bil qashdi (penegasan bahwa kita serius), bukan sedang berseloroh-maka kaidah di atas berlaku juga bagi interaksi sosial secara umum.
Contoh sederhana, jika seseorang berkirim surat kepada kawannya yang berbadan gemuk, dan dia menulis, ‘Assalamualaikum Gentong’, yakinlah muka si kawan memerah padam. Demikian pula ketika menulis ‘Assalamualaikum Tripleks’ kepada temannya yang kerempeng. Itu bermakna bahwa tulisan memiliki dampak yang sama dengan ucapan. Bahkan, di waktu tertentu bisa menoreh bekas lebih dalam.
Jika baginda Nabi bersabda Salamatul insan fi hifdhzi al-lisan (keselamatan umat tergantung apakah mereka menjaga lisan atau tidak), maka mesti ditanamkan juga budaya Salamatul ummah fi hifdhzi al-kitabah (keselamatan umat tergantung apakah mereka menjaga tulisan atau tidak).
Bahkan, budaya berkomentar dengan keyboard ini memberi peluang lebih mudah untuk mengejawantahkan Hadist riwayat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Muslim sejati itu adalah mereka yang tangan dan lisannya menjadi tempat aman bagi muslim yang lain, dan orang hijrah yang sebenarnya yaitu ketika menghindar dari setiap yang dilarang Allah.” (Shahih al-Bukhari (hal. 18) karya imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, seorang muhaddist besar yang lahir di kota Bukhara-satu kota di Negara Uzbekistan-pada tahun 194 H, dan wafat pada 256 H).
Dengan memberi komentar baik dan santun di jagat Medsos, kita langsung mengambil dua peran sekaligus (secara tekstual dan kontekstual). Karena saat itu kita berhasil menjaga tangan dan lisan dengan tidak melayangkan komentar yang menyakitkan.
Jika sempat berkomentar yang menyakitkan, menusukkan ciutan tajam, lalu apakah sebagai pelaku akan diam saja? Tetap akan mengupas mangga dengan tenang, dan menyantap soto babat tanpa beban? Setop! Kita harus sadar bahwa itu sebuah kesalahan, bukan kesalehan. Karena salah, maka harus tobat.
Kesalahan sekecil apapun tidak boleh diremehkan. Dalam Riyadhu al-Shalihin (hal. 73, bab ‘Bayanu Katsrati Thuruq al-Khair’), salah sebuah karya populer imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (lahir di daerah Nawa, satu kota di Negeri Suriah pada 618-667 H.), terdapat Hadist riwayat Abu Dzar yang berbunyi:
لا تحقرنّ من المعروف شيئا ولو أن تلقى أخاك بوجه طليق
“Jangan sekali pun meremehkan hal baik (sekecil apapun), walau sekadar menampakkan raut muka ceria di hadapan sesama.”
Ketika perkara baik-sekecil apapun-tidak boleh diremehkan dengan alasan ‘mungkin itulah sebab mendapat rida Allah’ (sababul wushul ila mardhatillah)-sebagaimana kata imam Muhammad Ali bin Muhammad bin Allan (seorang ulama ahli tafsir dan hadist yang lahir di tanah Makkah pada 996-1057 H) dalam karyanya Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadh as-Shalihin (juz 2, hal. 356)-maka demikian pula hal buruk. Sekecil apapun tak boleh diremehkan. Sebab, bukan mustahil seseorang disirami murka (sukhtullah) karena meremehkannya.
Apalagi terkait dosa sosial yang tidak remeh. Proses pengampunannya lebih berat daripada dosa individual. Ia harus memenuhi empat syarat tobat sebagaimana keterangan imam an-Nawawi dalam Riyadhu al-Shalihin (hal. 33), di antaranya;
Pertama, melepas diri dari laku maksiat (al-qal’u ‘an al-ma’shiyah). Dalam konteks ini, si pelaku tidak lagi kembali menebar caci di media sosial. Tak hanya kepada oknum yang pernah dicacinya, tapi kepada siapa saja. Harus mulai bijaksana, lebih menahan jari dari yang sebelumnya bebas ekspresi.
Kedua, menyimpan sesal mendalam atas apa yang telah dilakukan (an-nadm ‘ala fi’liha). Poin kedua ini adalah bagian terpenting dari tobat nashuha. Mengingat, ia sebagai energi terkuat untuk menjalani ketentuan yang lain. Dalam al-Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shagir (juz 1, hal. 374) karya Abdurrauf al-Manawi (ulama kharismatik yang lahir, besar dan wafat di tanah Kairo, Mesir, ia hidup dari tahun 952-1031 H), disebutkan:
وفي الحزن على السيئة إشعار بالندم الذي هو أعظم أركان التوبة
“Ratapan kesediah karena satu kesalahan merupakan ekspresi sebuah penyesalan yang mana menjadi rukun tobat terpenting.”
Ketiga, bertekad untuk tidak kembali lagi selamanya (al-‘azmu ‘ala ‘adamil ‘audi ilaiha abad(an)). Berarti, pelaku ujaran kebencian di Medsos harus punya tekad kuat seperti ini. Tak perlu merasa berat. Ini hanya tentang tekad. Artinya, sebagai syarat penerimaan tobat saat ini, agama tidak memberatkan kita dengan syarat tarku al-ma’shiyah abad(an) (menjauhi maksiat selamanya). Melainkan, cukup dengan tekad. Tapi ingat, bukan tekad sambel, apalagi saos.
Keempat, mendapat maaf atau bebas dari hak saudaranya (al-bara‘atu min haqqi shahibiha). Bila dosa sosialnya terkait finansial, maka harus lunas lebih dahulu. Jika berupa qishash, tentu harus menerima pembalasan atau sudah dimaafkan. Kalau berupa caci maki, ketentuannya sama; antara dibalas dengan makian setimpal atau dimaafkan.
Syarat keempat inilah yang jarang sekali kita temukan di jagat media sosial. Saya sendiri masih gelap terkait faktor terbesarnya apa. Entah khawatir reputasi akunnya tercemar, diserang netizen, atau motif lain.
Ala kulli hal, kita harus mulai sama-sama berbenah diri, lebih dewasa dan bermoral dalam bermedia sosial. Harus mampu menciptakan dunia toleransi baru dengan cara membumikan budaya saling maaf di jagat media sosial. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []